(Panjimas.com) – Polri dalam menjalankan tugas pokoknya telah ditentukan secara jelas dan limitatif dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pembinaan kepada masyarakat adalah salah satu bidang yang sangat penting dalam mewujudkan Kamtibmas. Bahkan dalam hal-hal tertentu pejabat Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (diskresi). Terkait erat dengan bidang Kamtibmas adalah perihal hak-hak dan kewajiban asasi keagamaan yang harus dihormati oleh seluruh warga negara Indonesia. Penghormatan terhadap keyakinan dalam semua aspeknya telah ada lembaga keagamaan sebagai mitra pemerintah dalam rangka implementasi Pasal 29 UUD 1945, salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kita ketahui, bahwa MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim. Sejatinya, Fatwa ini bersifat rekomendasi yang ditujukan bukan hanya kepada pemerintah, tetapi juga kepada seluruh masyarakat untuk menghormati wujud toleransi dan jaminan perlindungan hak-hak asasi keagamaan sebagaimana telah diatur dalam konstitusi.
Indonesia bukanlah menganut paradigma sekularistik, yang memisahkan negara dengan agama secara absolut, bukan pula sebaliknya, paradigma integralistik. Indonesia secara sah menerima paradigma simbiotik, yang menempatkan keduanya dalam posisi yang sama, tidak saling menegasikan, namun saling berkaitan dan membutuhkan. Dengan demikian, keberadaan Fatwa Nomor 56 Tahun 2016 harus ditafsirkan sebagai suatu kebutuhan dan oleh karenanya sangat strategis dalam rangka pemeliharaan Kamtibmas yang dijalankan oleh Polri.
Harus diakui, bahwa Fatwa MUI merupakan perangkat aturan kehidupan masyarakat yang bersifat tidak mengikat dan tidak ada paksaan secara hukum bagi addresatnya untuk mematuhi ketentuan Fatwa tersebut. Namun di sisi lain, melalui pola-pola tertentu, materi muatan yang terkandung dalam Fatwa MUI dapat diserap dan ditransformasikan menjadi dasar bagi penerapan operasional pemeliharaan Kamtibmas. Satu hal yang harus menjadi perhatian pemerintah termasuk Polri, yakni sebuah Fatwa yang dikeluarkannya dipandang sebagai pendapat hukum yang berdasarkan pertimbangan (considered legal opinion), yang tentunya sangat terkait dengan kepentingan tertentu yang menjadi dasar keluarnya suatu Fatwa.
Dalam menerbitkan suatu Fatwa, MUI tidak memerlukan kekuasaan hukum (authority / legalized power) yang diberikan negara, oleh karena itu kekuatan mengikat (binding force) suatu fatwa tidak ditentukan oleh sejauhmana Fatwa dikeluarkan atas penugasan yang diberikan negara, melainkan bagaimana repons masyarakat terhadap Fatwa tersebut.
Dalam sudut pandang hukum, kita mengenal sumber hukum formil yang menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui, dan ditaati, yakni hukum tidak tertulis (custom) yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh rakyat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum. Termasuk dalam cakupan ini adalah hukum agama (baca: Islam), salah satunya adalah Fatwa MUI. Bahkan dalam bidang tertentu, hukum Islam telah menjadi bagian dari sumber hukum materiil – determinan materiil membentuk hukum – dapat ditemui dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bernuansa syariah. Ditinjau secara kelimuan, hal ini mempertegas bahwa adanya pengakuan ilmu pengetahuan hukum terhadap agama sebagai salah satu sumber hukum.
Oleh karena itu, hadirnya Surat Himbauan dari Restro Bekasi Kota bernomor: 4240/XII/2016 tertanggal 15 Desember 2016, ditandatangani Kapolres Kombes Umar Surya Fana, SH, SIK, MH, dengan menjadikan Fatwa MUI Nomor 56/2016 sebagai rujukan – bukan konsideran – adalah sah, baik secara yuridis maupun akademis. Adalah sangat berlebihan dan prematur jika dikatakan Surat Himbauan tersebut bersifat inkonstitusional, tidak proporsional dan menjunjukkan ketidakprofesionalan. Justru dengan adanya Surat Himbauan itu, yang bersangkutan mengupayakan terwujudnya Kamtibmas yang kondusif.
Bahkan dalam acara rapat koordinasi antara pihak Polda Metro Jaya dengan Majelis Ulama Indonesia, Pemprov DKI, dan sejumlah Ormas Keagamaan, tanggal 16 Desember 2017 yang lalu telah tercapai kesepakatan, antara lain disebutkan adanya keterlibatan pihak Polri, Pemda, MUI, atau lembaga-lembaga yang lain untuk mensosialisasikan maksud dari Fatwa tersebut dalam hal memberikan pemahaman kepada para pengelola mall, hotel, usaha hiburan, tempat rekreasi, restoran dan perusahaan agar tidak memaksakan karyawan atau karyawati yang muslim untuk menggunakan atribut non-muslim. Dinilah letak keterpaduan antara pihak-pihak terkait untuk kepentingan pemeliharaan Kamtibmas.
Menjadi jelas kiranya, peran Polri dalam ranah tata laku hubungan keagamaan sangat diperlukan, untuk memastikan adanya jaminan perlindungan hak-hak keagamaan seseorang secara konsisten tanpa adanya tekanan maupun paksaan dari pihak manapun. Adapun rekomendasi MUI bukanlah merupakan tekanan, namun sebatas penegasan atas alas hak konsitusi. MUI tidak bermaksud memposisikan diri dominan dan ‘menang sendiri’, tuduhan ini sangat tidak berdasar. MUI bertekad untuk selalu istiqamah menjaga kerukunan umat beragama dalam bingkai komitmen kebangsaan (ukhuwah wathaniyah). Untuk kepentingan ini MUI tidaklah mungkin ‘sendiri’, sebagaimana pihak lainnya antara lain Polri, oleh karenanya keterpaduan menjadi keniscayaan dan kebutuhan.
Penulis, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
Ahli Hukum Dewan Pimpinan MUI Pusat