(Panjimas.com) – Bombardir berita soal bom panci ternyata tak begitu saja diterima masyarakat. Di media sosial misalnya, bom panci diolok-olok sebagai bom banci, atau janggalnya ‘teori’ atas bom panci tersebut. Masyarakat tampaknya semakin kritis dan menuntut penjelasan lebih terang ketimbang dan berimbang mengenai wacana terorisme. Persoalan mengenai wacana terorisme sebenarnya bukan saja bermuara di pemerintah, tetapi juga di media massa.
Media yang intens memberitakan seramnya isu terorisme bukan ada begitu saja. Bahkan David L. Altheide (2003) menyebutkan bahwa kecondongan media mengangkat berita yang menakut-nakuti mulai dari soal kriminalitas hingga wabah terinspirasi dari dunia hiburan dan di sisi lain dapat mengalihkan isu dari hal-hal yang mendasar seperti ketimpangan sosial.
Masyarakat berhak untuk kritis terhadap wacana terorisme yang digelontorkan pemerintah dan digaungkan media. Bukan karena kita tak peduli dengan korban-korban terorisme, tetapi justru karena ingin ada lagi korban berjatuhan atas nama ‘terorisme yang dikemas’ ini maka mengritiknya.
Cara media mengemas terorisme sudah memang sudah berlebihan. Bombastis, tendensius bahkan ceroboh. Ini bukan di Indonesia saja, tetapi di mana-mana, termasuk di Amerika maupun Eropa. Kita tentu paham ketika dahulu media mengemas terorisme seperti corong, persis seperti yang diinginkan Presiden Bush, maka dunia seolah tersihir ketika AS beserta koalisinya menyerang Afghanistan kemudian atas nama pre-emptive strike menyerang Irak. Dunia dibohongi bahwa di Irak ada Weapons of Mass Destruction (WMD). Wacana terorisme menurut Susan Moeller, penulis buku Packaging Terorism selalu tentang kuasa. “The Packaging of terrorism by Media or government-or even terrorist themselves-is about power. Power over us.”
Wacana terorisme khsususnya di media tak segamblang apa adanya. Bahkan tak ada definisi terorisme yang disepakati semua pihak. Terorisme itu taktik atau ideologi? (Moeller: 2009) Pemberitaan terorisme dipenuhi kejanggalan. Memakai pihak pelaku aksi kekerasan dengan label terorisme, bahkan memiliki dampak lebih berat. Ia bisa menempel pada siapa saja. Nyatanya berpikiran radikal belum tentu sejalan dengan terorisme. Kita dapat lihat misalnya ketika rezim brutal Suriah, Bashar Assad melabeli para oposisi dengan label teroris. Bahkan label ini diberikan bagi tenaga medis yang menolong kelompok oposisi.
Berbagai kritik dilayangkan pada media ketika mengemas terorisme. Mengapa media, misalnya memakai label teroris padahal pelaku aksi sudah jelas kelompok tertentu? ““Terrorism” and “Terrorist” often have little menacing -they are instead political epithets. When used, they can confuse more than illuminate a political event or environment- especially because politicians and media only rarely explain that “terrorism” is a contested concept and that the language used to make the moral case on terrorism is typically loaded.” (Moeller: 2009)
Mengapa alih-alih menjalankan fungsinya sebagai watch dog, media menjadi corong pemerintah dalam pemberitaan terorisme tanpa melakukan verifikasi atas pernyataan pemerintah? Bandingkan berbedanya pengemasan pemberitaan media soal aksi peledakan di Eropa dengan di Timur Tengah. Aksi peledakan di Eropa pemberitaan bisa jadi dikulik sedemikian rupa, namun aksi serupa di Timur tengah, pemberitaan dikemas dengan mengesankan siklus kekerasan seperti biasa belaka. Atau mengapa media dengan mudahnya menyebut aksi terror jika terkait agama pelaku tetapi gagap menyebut terror pada tindakan negara barat di Timur Tengah dan Afrika? Dan mengapa mereka tak melabeli penjajahan dengan kekejaman oleh Israel di Palestina sebagai terorisme?
Lihat pula dampak dari pemberitaan media yang biasanya menampilkan aksi ‘terorisme’ pada kulit semata; mulai dari angka-angka, ekspose berlebihan pada korban, sampai dangkalnya pemberitaan soal terorisme tanpa elaborasi lebih lanjut. Semua hal-hal tadi hanya sebagian dari kritik dari wacana terorisme. (Moeller : 2009).
Susan Moeller dalam Packaging Terrorism (2009) mengingatkan perlunya sikap kritis kita pemberitaan terhadap terorisme. “Journalism -in print, on air, online- always seems so transparent. The words and pictures are out there for us all to see. But we rarely take the time to consider the choices that are made – the language that is selected, the voices that are heard, the images that are used, the stories that are told. Whose stories are these? Why are we hearing those and not another’s Why do we see? And most of all, why does it all matter?”
Kita tentu tak lupa bagaimana rezim orde baru memakai isu Komando Jihad sebagai alat untuk mengokohkan kekuasaan di tahun 70 sampai 80an. Komando jihad ternyata tak lain adalah permainan operasi intelejen Opsus (Operasi Khsusus) di bawah Ali Moertopo. Mereka merekayasa, meradikalisasi sekelompok orang demi tujuan-tujuan politis rezim orde baru untuk mendiskreditkan politik Umat Islam saat itu. Aksi Komando Jihad seringkali muncul menjelang pemilu saat itu. Modus yang dipakai adalah pancing-jaring-tangkap. Hal ini bisa kita baca salah satunya dari disertasi Busyro Muqoddas yang kemudian dibukukan menjadi Hegemoni Rezim Intelejen. (M. Busyro Muqoddas: 2011).
Kritik terhadap wacana terorisme dan penanganannya mutlak diperlukan. Pemantauan kebijakan pemerintah terhadap isu terorisme harus dilakukan justru agar tak menghasilkan lingkaran kekerasan. Kekerasan direspon dengan kekerasan sehingga menghasilkan kekerasan lainnya yang terus berputar.
Jika kita tidak kritis terhadap wacana terorisme, malah menganggap siapa pun yang dilabeli teroris secara sepihak tanpa proses peradilan sah untuk dihabisi, maka kita akan menemukan tindakan sewenang-wenang yang berwujud state terrorism. Richard Jackson dkk, dalam pendahuluan Contemporary State Terrorism: Theory and Practice mengingatkan “Even more disturbing, government directed campaign of counter terrorism in the past few decease have frequently descended into state terrorism by failing to distinguish between the innocent and the guilty, responding highly disproportionately acts of insurgent violence , and aiming to terrify or intimidate the wider population or particular communities into submission.” (Jackson, et al : 2010)
Jangan lupakan Kasus Siyono, seorang kepala keluarga yang tiba-tiba diculik, kemudian kembali kepada keluarga hanya tinggal jasadnya saja pada Maret 2016 kemarin. Siyono, adalah korban dari ekeskusi diluar proses peradilan. Bahkan dijadikan tersangka pun ia belum pernah. Keluarganya, istrinya, anak-anaknya yang masih kecil tiba-tiba diberitahu ayahnya sudah meninggal begitu saja. Masih banyak nama-nama lain selain Siyono.
Sekali lagi, melihat wacana terorisme secara kritis bukan kita tidak peduli, tetapi justru kita tak ingin para korban aksi ‘terror’ menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu yang mendulang keuntungan dan kepentingan di atasnya. Agar tak ada lagi korban-korban dari permainan semacam Komando Jihad buatan penguasa di era Orde Baru, agar tak ada lagi korban seperti anak-anak yang menderita seperti kasus bom gereja di Samarinda, agar tak ada lagi Siyono-Siyono lain di masa mendatang. [RN]
Penulis, Beggy Rizkiyansyah
Pegiat Komunitas Kultura