(Panjimas.com) – Negara Republik Indonesia memiliki tanggungjawab untuk menjaga kepentingan agama dari segala bentuk permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan (penistaan) terhadap agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP.
Tanggungjawab tersebut diimplementasikan melalui instrumen hukum pidana.
Kepentingan agama itu merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi atau tidak tergantung pada politik suatu negara yang memandang hubungan (paradigma) negara dengan agama.
Negara Republik Indonesia menganut paradigma simbiotik, tidak berdasarkan penyatuan agama dengan negara (integralistik) maupun pemisahan antara agama dengan negara (sekularistik).
Paradigma simbiotik, menempatkan agama dan negara dalam hubungan yang sinergis, saling berkontribusi dan tidak berkonfrontasi.
Oleh karenanya, tafsiran tersebut diikuti dengan kebijakan-kebijakan politik yang memberikan tempat terhormat kepada agama (baca: Islam), sehingga menjadi keniscayaan jika kepentingan agama harus dilindungi.
Kemudian keagamaan yang kondusif serta terjaminnya tertib hukum merupakan ‘conditio sine quanon’. Apabila kepentingan agama diabaikan, ketika terjadi penistaan agama, maka dikhawatirkan menjadi ‘starting point’ timbulnya ancaman terhadap Keamanan Nasional.
Ditinjau dari perspektif syariat Islam, perlindungan agama sangat terkait dengan kemashlahatan yang bersifat dharuriyyat (primer), yakni menjaga agama (hifdzud-din), menjaga jiwa (hifdzun-nafs), menjaga keturunan (hifdzun-nasl), menjaga harta (hifdzul-maal) dan menjaga akal (hifdzul-aql).
Secara teori, pengaturan tentang tindak pidana terhadap kepentingan agama lebih cenderung mengacu kepada teori yang memandang agama itu an sich sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi (religionsschutz theorie) atau teori yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi (gefuhlsschutz theorie).
Keamanan Nasional yang tangguh harus mengakomodasi penegakan hukum yang prima terhadap pelaku tindak pidana penistaan agama. Dikatakan demikian oleh karena kepentingan agama termasuk bidang keamanan publik dan bersinggungan dengan pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri).
Dilihat dari aspek hukum pidana terdapat tiga hal yang harus dilindungi yakni: pertama kepentingan individu, kedua kepentingan masyarakat, ketiga kepentingan negara. Ketiga aspek tersebut sangat terkait dan selaras dengan Keamanan Nasional. Menjadi jelas bahwa posisi kepentingan agama berada dalam ruang lingkup Keamanan Nasional.
Kondisi saat ini memperlihatkan tuntutan masyarakat luas dalam Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang fenomenal dan spektakuler itu menuntut terhadap Ahok diterapkannya keadilan hukum dalam seluruh tahapan proses Peradilan Pidana.
Seyogyanya kenyataan ini harus dipahami sebagai strong signal adanya latent conflict (konflik tersembunyi), jika dalam proses bekerjanya hukum terindikasi adanya rekayasa penerapan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat luas.
Sebuah konflik yang tersembunyi akan menjurus kepada konflik terbuka (manifest conflict).
Ketika sebuah konflik sudah menjadi terbuka, biasanya sudah terlambat dan sulit untuk ditanggulangi.
Perlu dicatat, tanda konflik mengalami eskalasi bilamana terjadi perubahan sifat konflik, jumlah pihak, dan tidak kalah penting adalah perluasan isu.
Dengan demikian, kehidupan keagamaan yang kondusif membutuhkan jaminan perlindungan hukum, termasuk penegakan hukum (law enforcement) yang harus memperhatikan rasa keadilan masyarakat luas.
Jaminan itu menjadi penentu berlakunya Keamanan Nasional yang stabil.
Penulis, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
Ahli Hukum Pidana Dewan Pimpinan MUI