(Panjimas.com) – Dulu, menjelang 10 November 1945, Jenderal Mallaby (komandan tentara Sekutu asal Inggris di Jawa Timur) tewas dalam satu insiden. Mereka datang untuk melucuti tentara Jepang dan mengembalikan Indonesia di bawah penjajahan Belanda.
Akibatnya, Inggris marah besar. Mereka menyebarkan ultimmatum agar seluruh rakyat Surabaya menyerah. Rakyat Surabaya diperintahkan datang menyerahkan seluruh senjata yang dimiliki, dengan membawa bendera dan tangan terangkat ke atas. Kalau tidak, Surabaya akan diserbu dari darat, udara, dan laut. Agar massif dan menjangkau seluruh pelosok Surabaya khususnya, dan Jawa Timur umumnya, ultimatum itu disebarkan lewat pesawat udara.
Namun apa yang terjadi. Rakyat Surabaya dan pemuda yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia melawan. Meletuslah perang dahsyat selama tiga hari. Sekitar 6.000 pejuang gugur. Tentara Inggris sempat berhasil menguasai kota Surabaya. Peristiwa berdarah itu kemudian kita peringati sebagai Hari Pahlawan tiap 10 november 1945.
Kini, hampir 71 tahun kemudian, upaya serupa kembali terjadi. Namun pelakunya bukan Inggris atau tentara asing yang ingin kembali menjajah Indonesia. Pelakunya justru Kapolri Tito Karnavian. Sama, dia juga menerbitkan maklumat dan menyebarkannya lawat helikopter. Bukan main…
Isi maklumat Tito adalah seputar rencana Aksi Superdamai Bela Islam jilid 3, yang in sya Allah akan digelar pada 2 Desember 2017. Tuntutannya masih sama dengan dua aksi sebelumnya, tangkap Ahok si penista al Quran. Cuma kali ini ditambah menjadi Tangkap Ahok Penista al Quran dan Pelindungnya. Bentuk aksinya, gelar sajadah, shalat jumat, dizkir dan doa di sepanjang Thamrin-Sudirman.
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI mengatakan, shalat jumat di jalan protokol tidak bisa dihindari. Pasalnya, aksi digelar sejak Jumat pagi. Saat masuk waktu shalat Jumat, tidak mungkin membawa peserta aksi yang jumlahnya diperkirakan kembali jutaan orang itu ke masjid-masjid di sekitar. Apalagi pengalaman Aksi Bela Islam 2 yang titik kumpulnya di masjid Istiqlal, terbukti tidak mampu menampung jamaah jumat yang ratusan ribu jumlahnya. Akibatnya, untuk keluar menuju pintu gerbang masjid saja dibutuhkann waktu sekitar dua jam. Padahal, selain di Istiqlal, total massa yang ada mencapai 2,3 juta orang.
Tapi pemerintah, khususnya Presiden Jokowi dan Kapolri malah berimajinasi macam-macam. Seolah-olah aksi ini adalah bentuk makar yang ingin menggulingkan pemerintah yang sah. Maksudnya, bakar ya pak? Bakar jagung, bakar ikan, bakar roti…? Mau dong, hehehe…
Pemerintah panik. Selain melarang aksi dengan dalih peraturan dan undang undang ini itu, sejak beberapa hari terakhir Tito juga rajin menebar ancaman. Bahkan tidak berlebihan kalau disebut dia juga memfitnah ummat Islam, dengan menuding aksi bermaksud makar terhadap pemerintah.
Ngomong-ngomong soal selebaran, mosok sih Tito mau kembali ke zaman baheula. Apa iya, harus mencetak begitu banyak maklumat dan menyebarkannya dengan helikopter? Sampahnya itu lho, pasti bakal mengotori jalan-jalan, mencemari kali-kali, genting-genting rumah penduduk, dan seluruh permukaan bumi yang bisa dijangkau. Apa Tito ga kasihan sama petugas kebersihan yang bakal kebagian tambahan kerjaan?
Apa tidak ada cara lain yang lebih beradab untuk menyampaikan pesan? Jangan lupa, sekarang sudah serba canggih. Anda bisa bicara lewat televisi. Sampeyan juga ga perlu bayar iklan. Lha wong berita sangat penting begini kok, pasti wartawan akan berebut meliput. Apalagi buat media-media mainstream yang selama ini memang terbukti sangat tidak berimbang kalau sudah berurusan dengan Islam dan ummat Islam. Mereka pasti dengan suka-cita dan gegap-gempita menyiarkannya dengan gratis tis tis….
Masih soal selebaran, apa iya Tito mau mengulangi cara-cara tentara Sekutu menjelang 10 November 1945 itu. Di zaman yang serba canggih ini, biarlah zionis Israel saja yang menebar pamflet lewat pesawat untuk meneror rakyat Palestina yang tanah dan negerinya mereka rampas. Polri, jangan niru-niru lah.
O iya, ngomong-ngomong soal makar, ternyata Menteri Pertahanan Ryamizard Rycudu malah mempertanyakan dugaan itu. Dia menyatakan, baik dia maupun intelnya tidak pernah mendengar kabar tersebut. Tidak ada laporan yang masuk terkait ancaman makar dalam aksi 2 Desember.
“Kita kalau ngomong yang pasti benar, jangan sampai yang kata orang, fitnah nanti,” kata pensiunan jenderal berbintang empat yang jadi menantu mantan Wapres Try Sutrisno ini.
Entah siapa yang dimaksud “kita” pada kalimat tersebut oleh Rymizard itu. Mungkinkah ucapannya ditujukan kepada Tito, sehingga dia memilih menggunakan diksi “kita”. Maklum, mereka berdua kan sama-sama orang pemerintahan…
Sementara itu, Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Syafruddin justru berbeda pendapat dengan atasannya. Dia mengatakan potensi makar pada demonstrasi besar-besaran 2 Desember 2016 belum kuat. Nah, loh…
Entah dari mana Tito bisa bolak-balik mengatakan Aksi Bela Islam Jilid 3 adalah makar? Kenapa Menhan kok ga dengar? Bahkan anak buahnya pun bisa lebih hati-hati menebar tuduhan yang lumayan serius.
Eh, ternyata Tito mendapat sumber info soal makar ini dari Google. “Isu makar baca saja Google, siapa yang ingin menjatuhkan pemerintah, jatuhkan Pak Jokowi, nah itulah dia. Enggak usah ngomongin ini lagi, baca saja di media, itu ada beberapa pihak yang katakan ‘kita akan duduki DPR’, itu inkonsitusional,’ katanya usai acara Istighotsah Akbar di Masjid Agung Kota Tasikmalaya, Selasa (22/11).
Seorang Kapolri menebar fitnah serius kepada ummat Islam hanya bermodal informasi dari Google? Ngeri kali…
Satu hal yang pasti, dengan terus-menerus mengulang tudingan makar, sejatinya Tito sudah menebar teror kepada publik. Rakyat jadi dipenuhi waswas dan ketakutan. Maklum, yang melempar tuduhan Kapolri, pejabat yang paling berwenang dan bertanggungjawab dalam hal pemeliharaan keamanan.
Itulah sebabnya, anggota Komisi 3 DPR HR Muhammad Syafi’i menyatakan, ucapan Kapolri telah menimbulkan ketakutan. Itu sama saja dengan teroris. Padahal yang demo hanya minta hukum ditegakkan. Berhentilah memfitnah ummat Islam, dan berhentilah memutarbalikkan fakta.
Negeri ini memang sudah jungkir balik. Mei 2015 silam, Jokowi memberi grasi kepada lima tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Padahal mereka jelas-jelas telah melakukan makar. Mereka juga menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Kok dibebaskan! Sementara para kyai, ulama, habaib, dan ummat Islam yang cuma mau shalat Jumat, zikir dan baca doa dituding makar serta dikriminalisasi. Mikir…
Saya jadi ingat cuitan Adhie M Massardi yang beberapa hari ini menjadi viral. Begini bunyinya, “Mereka pada linglung. Mau bilang JAGA AHOK saja harus muter-muter JAGA PANCASILA – JAGA KEBHINNEKAAN – JAGA NKRI (jaga mulutmu…!!)”
Iya tuh. Jokowi, Kapolri, dan para ahokers, mbok yao nggak usah repot-repot roadshow ke sana-sini dan jungkir-balik sambil mengancam, menebar fitnah, dan memutarbalikkan fakta. Ummat Islam cuma minta tegakkan hukum dengan adil. Tangkap dan penjarakan Ahok penista agama dan pelindungnya. Contohnya sudah banyak, lho. Ada Arswendo Atmowiloto, Lia Eden, Musadek, Permadi, dan lain-lainnya. Itu aja kok. Gampang, kan…? [RN]
Jakarta, 23 November 2016
Edward Marthen, pekerja sosial, tinggal di Jakarta