(Panjimas.com) – “Suara rakyat suara tuhan” itulah jargon demokrasi. Sudah menjadi mafhum masyarakat bahwa negeri mereka yang menjunjung tinggi demokrasi begitu perhatian pada suara. Perolehan suara menjadi hal penting bagi partai politik dan politisi yang bernaung dibawahnya. Hingga melakukan berbagai cara untuk mendapatkan suara, janji- janji kampanye, pencitraan, blusukan hingga’serangan fajar’.
Ada suara yang nyaring terdengar ditelinga rakyat indonesia di tanggal 4 November. Nyaring diperdengarkan oleh jutaan kaum Muslim Indonesia. Mereka adalah rakyat pilihan yang datang bukan karena bayaran. Mereka datang dengan keimanan. Menyerukan kebenaran sekalipun mereka harus berkorban.
Sungguh menyakitkan ketika suara menggema itu diredam oleh media sebagai salah satu pilar demokrasi. Media yang harusnya netral tak berpihak ternyata justru menjadi pembungkam suara dan pengarah opini yang digerakan oleh korporasi. Lihatlah secara terang benderang kebohongan dan rendahnya kualitas berita. Dari informasi jumlah suara yang dikerdilkan hingga daya kritis akan esensi aksi mendadak hilang.
Ini adalah sebuah kenyataan demokrasi. Bahwa tidak pernah ada keberpihakan bagi kepentingan kaum Muslimin. Sekalipun diperdengarkan berjuta suara ummat untuk kepentingan Islam, maka akan selalu diredam hingga nyaris tak terdengar.
Penulis, Nina Herlina (Ibu Rumah Tangga)
Tinggal di Kab. Semarang