(Panjimas.com) – Ahok adalah entry point yang sangat strategis dan siqnifikan dalam memperjuangkan ekspansi ideologi-ekonomi-politik Tiongkok. Kekuatan kapital Tiongkok melalui pola guangxi (pertemanan) – dalam aspek budaya pebisnis China perantauan di Indonesia – telah menjelma menjadi actor nonstate yang memiliki energi seperti layaknya Negara. Tidaklah berlebihan jika penulis katakan dibalik Ahok adalah Ultrationgkok yang mengusung dan mendukung Ahok untuk kembali menguasai Jakarta dan kemudian menjadi RI 1, minimal RI 2.
Hubungan antara etnis Ultrationgkok dengan negara asalnya (predicate state) sejak tahun 1949 sangat terkait dengan UUD Tiongkok. Pemerintah Tiongkok akan berusaha keras untuk melindungi hak-hak hukum dan kepentingan etnis China perantauan yang tinggal di luar negeri, termasuk di Indonesia. Terlebih lagi bagi Ahok sebagai “lampion” bagi “Kepala Naga.” Hal ini diatur dalam Pasal 58 Program Umum dari Badan Konsultatif yang digunakan sebagai Undang-Undang Dasar Sementara. Pasal tersebut kemudian diperkuat dengan memasukkannnya ke salah satu pasal dari UUD tahun 1954. Pemerintah Tiongkok mendorong kaum China perantauan untuk selalu setia kepada negara leluhurnya.
Simbol Ultrationgkok
Indonesia ‘dihadapmukakan’ pada kenyataan ketergantungan Negara (baca: pemerintah) pada market power Ultrationgkok. Lazim disebut dalam kajian hubungan internasional sebagai ketergantungan Negara–negara ‘pinggiran’ (periphery) terhadap Negara core. Tidak dapat dipungkiri terdapat kekuatan besar yang melindungi Ahok terkait desakan tangkap dan penjarakan Ahok. Hal ini sejalan dengan teori Marx yang berbicara tentang motif ekonomi di balik aturan hukum. Rezim ini telah diikat kuat dengan mengalirnya pinjaman uang yang demikian besar untuk pembangunan infrastruktur, yang notabene mendukung ekspansi “Kepala Naga”. Tinggallah kita sebagai “ekornya”, dan tidak menutup kemungkinan ekor bisa saja dikorbankan demi tegaknya Kepala Naga!
Pihak yang bersekutu dalam pencalonan Ahok akan menjadi “Tiongkok Relasional”. Kelompok ini sudah terlanjur menikmati status ekonomi yang relatif tinggi, dan tentu cenderung memihak kepada Ahok. Disitulah terjadi penguasaan dan penundukkan terselubung, yang pada akhirnya sejarah akan mencatat mereka sebagai Ultapenghianat.
Seorang Jenderal VOC Jaan Pieterzoon Coen pernah mengatakan dengan yakinnya: “Tak perlu mengganggu orang Tionghoa, karena tak ada seorang pun di dunia ini yang lebih berdedikasi ketimbang mereka.” Pernyataan itu kini banyak diikuti oleh mereka yang bodoh, munafik, fasik dengan mengatakan Ahok lebih baik daripada pemimpin muslim. Perbandingan ini jelas tidak berimbang. Mereka yang mendukung Ahok dengan meninggalkan kaum muslim yang berpeluang sebagai Gubernur, dapatlah kita katakan mereka itu sebagai antek-antek Jaan Pieterzoon Coen dan berakidah Ultrationgkok!
Penulis, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.
Pendiri Dewan Strategis Jakarta & Pengurus MUI Pusat