(Panjimas.com) – Salah satu ciri utama masyarakat Islam adalah adanya institusi fatwa yang diisi oleh para tokoh ulama panutan umat.
Perbedaannya, di Negara-negara yang sudah formal berhukum dengan hukum Islam, Institusi fatwanya biasanya mendapat legitimasi yuridis langsung dari Konstitusi negara. Sehingga fatwanya mempunyai kekuatan hukum mengikat dan daya paksa kepada semua warganegara muslim, dan negara berwenang memberi sanksi hukum pada pelanggarnya.
Adapun di negara negara muslim yang belum menjadikan syariat Islam sebagai hukum negara secara formal semisal Indonesia, atau masyarakat muslim di negara mayoritas non muslim, lembaga fatwa dibentuk dan mendapat legitimasi dari konsensus tokoh tokoh umat Islam itu sendiri.
Kedudukan lembaga fatwa seperti MUI di Indonesia, sangatlah penting. Sebab ia adalah penjelmaan dari Ulil Amri Umat Islam Indonesia di dalam urusan Agama Islam.
Sebagai Ulil Amri di bidang hukum agama, MUI berkewajiban memimpin membentengi, dan melindungi umat Islam dari segala upaya yang akan mencelakakan umat. MUI juga berwenang memberi fatwa hukum untuk jadi pegangan dan pedoman keyakinan maupun pengamalan syariat Umat Islam Indonesia.
Dalam konteks inilah, mengapa kaum liberal, sekuler maupun sekte sekte sesat sangat membenci dan memusuhi keberadaan MUI.
Dengan fungsi MUI itu, dan juga lembaga lembaga keulamaan yg lain yang ada pada ormas ormas Islam, maka umat Islam terjaga dan terpagari dari akidah, ideologi, maupun pemikiran keagamaan yang menyimpang dan sesat, sebut saja umpamanya dari ideologi sekuler dan liberal.
Karena MUI dipandang sebagai benteng penghalang yang mengangkangi hasrat nafsu mereka untuk meliberalkan pemikiran kaum muslimin. Sebab itu, sejak gencar gerakan liberal, sekuler dan sekte sekte penyimpang Islam, upaya dan makar untuk membubarkan MUI terus dilakukan. Tapi nampaknya disadari bahwa nafsu untuk membubarkan MUI adalah impian konyol, kalangan itu berubah target untuk melemahkan posisi MUI dan mendelegitimisasi nya dengan cara terus menerus menggugat otoritas MUI, mencari cari kesalahan, hingga mempersoalkan legal standingnya dalam konstitusi.
Apa yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Sipil melalui acara diskusi publik dengan tema “Kedudukan MUI dalam hukum Islam dan Hukum Indonesia”, hanyalah akal akalan yang sia-sia kaum liberal untuk kembali mengoyang dan mendelegitimisasi MUI.
Dalam kebencian mereka tidak dapat berfikir jernih, yang ada hasrat membubarkan MUI, dengan cara itu umat Islam akan mudah untuk dicekoki doktrin doktrin liberal tanpa ada yang membelanya.
Mereka tidak memikirkan dampak lain yang justru bisa lebih besar bahayanya, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi keselamatan nyawa mereka, bahkan bagi keutuhan NKRI.
Kenapa demikian? Sebab jika tidak ada MUI, maka fatwa terhadap faham dan kaum liberal bisa dilakukan dengan cara tidak terkendali. Bisa saja ada lembaga ormas, lembaga gerakan dakwah, dan lain sebagainya, yang memfatwakan bahwa kaum liberal boleh diperangi dan dihukum mati tanpa proses peradilan.
Mungkin mereka beranggapan bisa berlindung dibelakang ketika aparat penegak hukum negara dan para musuh kaum liberal itu diberangus. Jika itu yang mereka fikirkan, maka sama saja sedang mendorong Indonesia terjerumus kepada situasi chaos yang terus menerus dengan mengadu domba umat Islam dengan aparat negara yang jadi tempat berlindung mereka.
Harus diingat oleh mereka bahwa keyakinan akidah untuk membela agama dan menghukum para penista dan perusak ajaran Islam tidak mungkin bisa dihalang halangi oleh aparat keamanan negara.
Pendek kata, upaya melemahkan posisi dan mendelegitimasi MUI dengan cara-cara murahan seperti itu, hakikatnya sedang mendorong munculnya anarkisme umat Islam dalam membela agamanya akibat tidak adanya kepemimpinan ulama yang diwadahi MUI. Sebab itu hendaklah umat Islam Indonesia menyadari apa bahaya dibalik provokasi delegitimasi dan pembubaran MUI. Wallahu A’lam bishshawab. [RN]
Penulis, Dr. KH. Jeje Zainudin, MA
(Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat PERSIS)