(Panjimas.com) – Pernyataan Ahok yang menyerang keyakinan umat Islam dengan mengatakan bahwa adanya kebohongan dalam pengutipan Surah Al-Maidah ayat 51 oleh kaum yang disebutnya rasis, bukan hanya menyerang keyakinan umat Islam, namun juga berpotensi menggangu ketertiban umum. Hal ini dapat dilihat pada penyisipan Pasal 156a dalam KUHP dengan menempatkannya pada Bab V tentang “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum”. Penempatan tindak pidana terhadap “agama” dan “kehidupan beragama” dalam Bab V dimaksud dapat diartikan bahwa pada dasarnya “agama” atau “kehidupan beragama” bukan kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum pidana, melainkan “kriminalisasi” atas perbuatannya itu, karena dianggap berpotensi menggangu ketertiban umum.
Perlu diingat, penyampaian yang dilakukan oleh ulama dalam konteks negara demokrasi tidaklah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), justru penyampaian tersebut berkaitan erat dengan dimensi hak asasi yang bersifat mendasar, yakni keyakinan atas ajaran agama dalam konteks negara hukum. Dalam perspektif negara hukum yang menjunjung tinggi HAM, campur tangan negara dalam batas-batas tertentu dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 28-J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, pembatasan dalam mengekspresikan kebebasan beragama dimaksudkan demi melindungi kebebasan mendasar dan kebebasan orang lain. Pernyataan Ahok di muka umum masuk dalam konteks forum eksternum yang berujung pada pelecehan/penghinaan yang sangat serius dan mendasar, sehingga proses peradilan harus dilakukan dan tidak ada alasan klasik “bertentangan dengan HAM.”
Terhadap pernyataan Ahok, tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf dengan dalih bahwa yang dimaksudkan adalah kepada para penyerangnya dan bukan dimaksudkan pada ayat suci al-Qur’an. Terlebih lagi, dia tidak memiliki kualitas (legal standing) dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Ahok dengan sengaja telah membangkitkan rasa permusuhan dan kebencian yang sangat serius dengan menyebutkan pihak-pihak yang mengutip surah al-Maidah ayat 51 sebagai kalangan fasis, tentu tidak lain arah yang dituju adalah ulama. Ulama memiliki kualitas dan berkewajiban menyampaikan perintah agama kepada umat Islam untuk tidak memilih pemimpin kafir karena telah ditentukan secara pasti dalam al-Qur’an. Mengingkari ketentuan al-Qur’an dihukumi “kafir”. Perlu diingat ulama memiliki basis masa yang sangat besar untuk melakukan counter terhadap pernyataan Ahok yang telah menghina ajaran Islam. Apabila aparat penegak hukum – dalam hal ini Polri – tidak melakukan proses penegakan hukum terhadap Ahok, maka wajar jika umat Islam menuntut keadilan dengan “caranya masing-masing”.
Sebuah norma hukum tidak akan berarti sama sekali apabila tidak ada sanksi yang mengikutinya. Karena itu hampir setiap ketentuan yang memuat rumusan pidana selalu diakhiri dengan ancaman pidana. Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam Pasal 156a KUHP adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima Negara Pancasila. Pasal 29 UUD 1945 juga menyebutkan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, Ahok mengejek dan menghina ulama dan al-Qur’an tidak dapat dibiarkan dan wajib dilakukan serangkaian proses peradilan yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan persamaan kedudukan di muka hukum.
Dalam teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang diperlukan agar seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana. Dalam praktik pemidanaan dikenal dua unsure, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur subyektif meliputi kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari pelaku. Keberadaan Pasal 156a KUHP yang memuat delik Agama yang telah diuji konstitusionalitasnya menjadi dasar hukum bagi aparat penegak hukum untuk menegakkannya secara baik dan benar. Oleh karena itu, pernyataan Ahok yang telah memenuhi unsur objektif dan unsur subjektif, wajib untuk dilakukan proses hukum demi tegaknya hukum dan keadilan. [RN]
Penulis, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH