(Panjimas.com) – Sebagai praktisi komunikasi, saya benar-benar mati akal dalam memahami tindakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Gubernur DKI ini kok ya hobi banget menggusur paksa permukiman rakyat kecil. Begitu ngototnya menggusur rakyatnya yang sampai dia perlu melibatkan polisi dan tentara. Padahal, sangat mungkin rakyat yang dia gusur itu dulu memilinya ketika menjadi Cawagub-nya Jokowi.
Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menyebutkan, sepanjang 2015 saja, Ahok melakukan tidak kurang 113 penggusuran paksa. Jumlah korban yang terdampak oleh semua penggusuran itu mencapai 8.145 kepala keluarga (KK) dan 6.283 unit usaha. Para korban gusur paksa itu punya kesamaan nasib, tidak ada dialog dan sama sekali tidak memperoleh ganti rugi. Padahal, rata-rata mereka sudah tinggal di lokasi itu selama lebih dari 30 tahun.
Menggusur paksa permukiman rakyat kecil bagi Ahok sepertinya telah menjadi candu. Dia ketagihan. Bayangkan, pada 2016 ini, dia masih akan menggusur sekurangnya 325 lokasi lagi yang bakal kebagian keganasannya.
Mantan Bupati Belitung Timur ini juga tidak peduli walau harus menabrak rambu-rambu hukum. Pada kasus penghuni kampung Bukit Duri, Jakarta Timur, misalnya, Pemprov DKI Jakarta ngotot mengeluarkan surat peringatan kedua (SP) kedua, 7 September 2016 silam. Padahal, saat ini warga Bukit Duri sedang mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) . Jelas tindakan Pemprov DKI Jakarta ini merupakan bentuk penghinaan terhadap pengadilan dan proses hukum.
Sebelumnya Ketua Majelis Hakim yang memeriksa perkara gugatan class action warga Bukit Duri telah memerintahkan Pemprov DKI Jakarta menahan diri. Ahok dan jajarannya diminta tidak menggusur warga Bukit Duri selaku penggugat, hingga proses pemeriksaan perkara ini selesai.
Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, Ahok menegaskan akan lebih gila lagi melakukan penggusuran. Keruan saja, kelakuan yang benar-benar tidak masuk akal membuat teman ahok menjadi khawatir.
“Mereka (Teman Ahok) tanya saya, Bapak akan gusur lebih banyak lagi enggak? Karena ini kan menjelang pilkada. Saya bilang, Saya akan gusur lebih banyak tahun ini sampai tahun depan,” kata Ahok, Januari lalu silam seperti dikutip satu media online.
Keganasan Ahok dalam menggusur benar-benar di luar batas kemanusiaan. Itulah sebabnya pada 2015 LBH Jakarta menyebut periode Ahok penggusuran paling brutal dalam sejarah. Ini sekaligus menjadi lembaran paling hitam dalam sejarah penggusuran, bagaimana pemerintah hadir dalam wajah yang paling menyeramkan.
Gue sama elo!
Kembali ke awal tulisan ini, saya benar-benar mati akal. Ada banyak hal yang membuat akal saya benar-benar menyerah dalam perkara ini. Di antaranya, pertama, sebagai Gubernur bukankah seharusnya dia melindungi dan mengayomi rakyatnya? Dengan menggusur, Ahok bukan saja menghancurkan rumah-rumah tinggal, tapi dia juga melenyapkan pekerjaan dan sumber penghasilan rakyat. Ini benar-benar tidak masuk akal.
Kedua, di tengah demam Pilkada yang tinggal beberapa bulan lagi, dalam logika saya, semestinya dia mendekati dan mengambil hati rakyatnya. Berbagai program sosial dan pemberdayaan dia gelontorkan. Itu seharusnya, paling tidak itulah yang masuk dalam akal saya. Tapi, ini kok malah menghancurkan rumah-rumah penduduk, menumpahkan air mata yang membanjir. Bagaimana bakal maraup suara dalam Pilkada? Yang ada dia justru memanen kebencian dan dendam kesumat rakyatnya. Ini benar-benar di luar akal sehat.
Namun dengan falsafah permainan karambol, maka penggusuran bertubi-tubi dan brutal yang dilakukan Ahok akhirnya jadi masuk akal saya juga. Lewat ratusan penggusuran yang telah dilakukan dan ratusan lain berikutnya itu, sejatinya dia tengah mengirimkan pesan kepada para pengembang, bahwa pejabat telengas ini berada di pihak pengembang. Posisi gue sama elo! Begitu kurang lebih kalau meminjam kata-kata lelaki yang hobi mengumpat dengan kata-kata kotor ini..
Ahok hadir dan menjadi gubernur memang untuk mengamankan kepentingan para pengembang yang selalu lapar lahan. Seiring dengan kian melambungnya harga tanah, pengembang tetap membutuhkan lahan untuk memenuhi syahwat bisnisnya. Sampai di sini kepentingan dua pihak ini bertemu. Sebagai pedagang, tentu mereka ingin memperoleh lahan dengan harga murah. Dengan hanya membiayai penggusuran plus uang sogok kepada penguasa, pengembang bisa memperoleh lahan dengan harga sangat murah. Inilah pengakuan yang dilakukan PT Agung Podomoro pada penggusuran paksa warga Kali Jodo seperti diakui Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.
Di sisi lain, sebagai politisi yang ingin terus mengenggam kekuasaan, Ahok butuh logistik yang amat besar. Dalam sistem demokrasi ugal-ugalan yang berkembang dan dikembangkan saat ini, Pilkada, Pileg, dan Pilpres telah menjadi hajatan yang sangat menguras tenaga dan dana. Pernyataan Ahok bahwa Jokowi tidak mungkin menjadi presiden tanpa bantuan para pengembang menjadi konfirmasi atas fakta tersebut.
Saat Pilkada DKI 2009 silam, pada putaran pertama hanya 1-2 taipan yang menyokong Jokowi, Walikota Solo yang diimpor Jakarta. Namun ketika putaran kedua, banyak konglomerat mulai merapat. Tapi karena Jokowi adalah new kid on the block, dia tidak kenal dengan seorangpun dari para taipan tersebut. Maka di sinilah Ahok sang Cawagub punya peran penting. Dialah yang menghubungkan Jokowi dengan mereka. Dia pula yang mengumpulkan gelontoran duit dari cukong-cukong beretnis Cina itu.
Kalau anda jadi tukang tuang madu ke botol, sudah pasti tangan anda bakal belepotan madu. Paling tidak, selalu saja ada madu yang menempel di sendok yang digunakan untuk menuang. Nah, apa yang dilakukan Ahok telah melampaui pekerjaan tukang tuang madu. Lagi pula, memangnya para taipan tadi dan Jokowi saling melakukan konfirmasi alias cross check tentang besarnya jumlah sumbangan?
Jadi, Ahok sendiri bukannya tidak paham dampak dari penggusuran brutal yang dilakukannya. Tapi, karena kebutuhan gizi yang amat besar, maka dia harus bisa mengirim pesan yang clear kepada para pengembang. Caranya; gusur dulu, gusur lagi, gusur terussss. Selanjutnya, fulus fulus fulusss…. (*)
Jakarta, 13 September 2016
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)