(Panjimas.com) – Konon, media sosial atawa Medsos kini menjadi bagian (penting) dari demokrasi. Lewat Medsos orang bisa dengan lebih mudah dan bebas menyampaikan perasaan, pendapat, dan aspirasinya. Dalam konteks demokrasi pula, melalui Medsos dialog dan dialektika terbangun.
Namun di tangan kelompok tertentu, Medsos ternyata bisa berubah fungsi. Ia menjadi alat bagi para teroris yang efektif dan massif. Dan, sayangnya, fenomena itulah yang kini dengan gencar dilakukan para Ahok lovers. Saya menyebut mereka sebagai Teroris Sosial Media alias TSM.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan teror sebagai usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sedangkan yang dimaksud teroris adalah, orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik.
Nah, sampai di sini apa yang dilakukan para Ahokers melalui Medsosnya sudah memenuhi kriteria teror dan teroris. Di dunia maya (Dumay), mereka membabi-buta memberi dukungan kepada gubernur petahana DKI itu. Jika Ahok mengatakan Jakarta di bawah kekuasannya mampu mengubah hujan jadi berkelir (berwarna-warni), niscaya mereka segera mengamini.
Itulah sebabnya setiap postingan yang mendukung atau memuji Ahok, dengan sigap para Teroris Media Sosial ini langsung mem-broadcast ke segala penjuru. Mereka memanfaatkan semua lini komunikasi yang ada di dunia maya.
Beberapa di antara aplikasi media sosial yang sangat kondang adalah, Facebook dengan sekitar 1 miliar pengguna. Twitter, microblogging yangmemiliki setengah miliar pemakai. Lalu ada Google+ yang konon punya 400 juta pengguna. Juga Weibo atau Sina Weibo yang pada didirikan Agustus 2009 dengan 300 juta pengguna.
Aplikasi lainnya, RenRen sering juga disebut Facebook-nya China. Kini penggunanya mencapai 250 juta. Terus, ada LinkedIn dengan 175 juta pelanggan. Dua lainnya Badoo danInstagram, masing-masing punya 100 juta pengguna. Para peselancar Dumay juga mengenal Yelp, Tumblr, Flickr, Orkut, MySpace, Foursquare, dan Pinterest.
Berlimpah fasilitas
Bayangkan, betapa dahsyatnya ‘fasilitas’ yang mereka gunakan di Dumay untuk mem-blastdukungan dan puja-puji bagi juragannya. Eit, tunggu dulu, juragan? Ya iyalah. Mereka menikmati gaji atau honor dan berbagai fasilitas melimpah lain untuk ukuran yang biasa diterima para relawan. Duitnya dari mana? Tentu dari sang juragan. Si juragan punya fulus dari mana? Ohoi, dari para pengembang, khususnya pemangku hajatan reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta. Mana ada ceritanya para anggota TSM ini bekerja sukarela. Mimpi,kaleee…
Fitnahkah ini? Jelas tidak. Silakan saja berselencar lewat Google, misalnya. Anda akan disuguhi aneka berita dan data tentang gerojokan duit dari para taipan pemilik proyek properti di seantero Jakarta dan sekitarnya kepada Ahok dan atau orang-orang kepercayaannya. Salah satu dari mereka adalah Suny Tanuwidjaya. Anak muda keturunan China berkacamata minus ini, di awal mencuat disebut Ahok sebagai anak magang di kantor Gubernur. Namun belakangan terbukti dia adalah Staf Khusus Gubernur. Hayo… kamu ketahuan bohong, yaaa…
Pada saat yang sama, mereka dengan sangat semangat ‘membantai’ orang atau pihak-pihak yang mengkritisi sang gubernur. Saya sengaja menggunakan diksi ‘membantai’ ketimbang ‘mem-bully ’. Pasalnya, apa yang mereka lakukan jauh lebih keji ketimbang mem-bully yang sebetulnya sudah keji.
Lebih keji lagi, bantaian mereka itu sama sekali tidak menyangkut substansi kritik yang disampaikan si korban. Yang dilakukan para Teroris Media Sosial tadi adalah melakukan pembunuhan karakter orang atau pihak yang mengkritik sang majikan.
Inilah yang menyebabkan saya memilih menggunakan frase Teroris Media Sosial bagi para Ahokers ketimbang buzzer. Menurut saya, ada perbedaan mendasar antara Teroris Media Sosial dan buzzer.
Buzzer diambil dari kata dasar Buzz yang artinya ‘pembicaraan’ atau ‘percakapan’. Dengan demikian, Buzzer adalah orang yang diharapkan bisa membuat sebuah topik/keywords jadi sebuah pembicaraan, bukan saja di dunia online tapi juga in the real world.
Ada aturan tidak tertulis dalam menggunakan buzzer pada saat ini, yaitu berdasarkan jumlah tweet berisikan pesan mereka. Dengan kata lain, mereka dibayar dari jumlah tweet yang diminta oleh pihak yang menyewa mereka. Penghitungan success rate-nya dari jumlah tweet yang di-retweet. Makin besar jumlah retweet, makin besar pula nilai reach-nya.
Sampai di sini, buzzer adalah profesi yang netral. Pihak yang memanfaatkan mereka umumnya perusahaan atau individu yang ingin mengerek brand-nya. Artinya lagi, (sebelumnya) peran mereka justru positif. Berbeda dengan Teroris Medsos, tugas mereka memang untuk membantai. Bisa jadi, para teroris ini adalah buzzer yang menjalankan perintah negatif, yaitu membantai orang atau pihak yang dianggap merugikan sang juragan.
Pembantaian secara brutal
Materi bantaian bisanya menyangkut fisik korban yang dianggap lemah dan atau buruk. Contohnya, ketika Ratna Sarumpaet menyatakan siap ‘pasang badan’ untuk mengusung Rizal Ramli sebagai Cagub DKI, maka para Teroris Sosmed tadi sibuk membantai Ratna pada kalimat “pasang badan” dengan bermacam celotehan yang sama sekali tidak layak dikutip di sini.
Ratna bukanlah orang pertama dan satu-satunya korban para Teroris Sosial Media. Mereka juga tidak peduli latar belakang sang korban, termasuk jika yang bersangutan adalah artis kondang. Iwan Fals, misalnya, pernah jadi korban pembantaian Ahokers karena menulis status di twitternya. Saat itu penyanyi yang menjadi simbol pendobrak kemapanan ini mempertanyakan kabar dari media soal reklamasi Jakarta yang diberitakan belum memiliki izin.
Sebelum Iwan, tokoh lain yang jadi korban adalah Walikota Bandung, Ridwan “Emil” Kamil. Saat itu, Ridwan Kami yang menyampaikan ajakan kepada warga Bandung untuk kerja bakti massal. Dia menggunakan tanda pagar (Taggar) #BeberesBandung.
Entah apa urusannya kerja bakti massal warga Bandung dengan Ahok di Jakarta. Namun faktanya, Emil langsung jadi sasaran pembantaian para Ahokers.
Pembantaian secara brutal para Teroris Medsos kepada mereka yang mengkritisi Ahok, membuat orang berpikir ulang melakukan hal yang sama. Padahal, bisa dipastikan ada banyak orang yang gerah dengan sikap dan kebijakan mantan Bupati Belitung Timur itu. Namun mengingat nasib para pendahulunya yang jadi sasaran pembantaian, mereka pun akhirnya memilih diam.
Dalam jangka panjang, kondisi seperti ini tentu sangat tidak sehat. Ahok dan para pendukungnya seolah-olah melenggang sendiri di dunia maya. Akibatnya, mereka bebas menebar kebohongan dan pencitraan palsu. Celakanya, ulah ini mereka lakukan terus-menerus, lagi dan lagi terus-menerus.
Jadi ingat Adolf Hitler. Diktator yang menyeret Jerman pada kehancuran itu punya mantra, kebohongan yang terus-menerus disuarakan, maka akan (bisa) dianggap sebagai suatu kebenaran. Nah, kebohongan dan pencitraan palsu Ahok yang terus-menerus disuarakan para pendukungnya, kelak bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh publik.
Para Teroris Media Sosial itu sama sekali tidak membuka ruang untuk berbeda. Tidak ada dialog dan dialektika. Bandingkan dengan silang pendapat antara para pendiri bangsa kita. Ketika Soekarno berbeda pendapat dengan Muhammad Natsir, misalnya, mereka ‘bertarung’ di tataran ide dan gagasan. Begitu juga yang dialami para tokoh seperti, Hatta, A Hassan, Agus Salim, dan lainnya.
Negeri ini direbut dan didirikan dengan gagasan dan ide-ide besar. Bukan dengan saling bantai dan mengarah pada caracter assasination. Saya membayangkan bila Agus Salim masih hidup dan ikut mengkritisi Ahok. Maka sangat mungkin para Teroris Media Sosial yang jadi pendukungnya akan membantai Agus Salim dengan sebutan pendek, kecil, kuntet, jenggot kambing, bau menyan, dan yang sejenisnya.
Saya pun hampir pasti tidak akan lolos dari pembantaian para Teroris Medsos itu karena menulis artikel ini. Tidak percaya? Tunggu saja sebentar lagi, deh.
Sebagaimana galibnya para teroris, tentu ada ketuanya. Kita biasa menyebutnya gembong teroris. Siapakah gembong Teroris Media Sosial itu? Ya pasti juragannya lah… [RN]
Jakarta, 8 September 2016
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)