(Panjimas.com) – Bocornya dokumen Panama ‘memaksa’ Pemerintah Indonesia untuk turut menanggapi. Pasalnya, dokumen itu menyebutnama-nama pengusaha asal Indonesia yang menyembunyikan kekayaannya di Panama. Menkeu menyebut dana pengusaha, polisi dan pejabat Indonesia yang terparkir di luar negeri lebih dari 14.100 T (akumulasi sejak tahun 70-an). Dengan latar belakang seperti itulah akhirnya pemerintah bersama DPR mendesak untuk membuat Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak (tax amnesty). RUU ini ditargetkan dapat diimplementasikan mulai Juli hingga akhir tahun 2016. UU ini mendesak bagipemerintah mengingat pendapatan yang berasal dari pengampunan pajak akan menjadi salah satusumber penerimaan pada APBN-2016.
Mengejar Setoran
Meskipun masa pemberlakuan UU Pengampunan Pajak hanya berlaku sepanjang enam bulan pada tahun 2016, Pemerintah memperkirakan pendapatan yang dapat diraup dari kebijakan itu dapat mencapai Rp 165 Triliun. Adapun dana repatriasi yang diperkirakan masuk mencapai Rp1.000 Triliun. Uang tersebut nantinya akan menjadi sumber baru pendapatan APBN mengingat pendapatan pajak saat ini diperkirakan realisasinya dibawah target akibat pertumbuhan ekonomiyang melambat.
Manfaat lain yang diharapkan Pemerintah dari tax amnesty adalah masuknya dana penduduk Indonesia yang selama ini disimpan diluar negeri. Menurut Mc.Kensey, ada sekitar USD 250 miliar atau sekitar Rp 3.250 triliun kekayaan orang-orang kaya Indonesia yang disimpan di luarnegeri. Masuknya dana dari diterapkannya UU tex Amnesty kedalam perekonomian nasional, menurut pemerintah akan menjadi energi baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Nilai rupiah akan menguat, likuiditas perbankan akan meningkat sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit.
Uang yang diinvestasikan dalam bentuk obligasi dan saham juga akan meningkatkan sumber pembiayaan pembangunan dan kegiatan bisnis. Meskipun demikian, tidak sedikit yang menyangsikan optimisme pemerintah tersebut,pasalnya orang-orang yang mendapat pengampunan pajak, meskipun dibebaskan dari segala tuntutan yang terkait pajak dan datanya dirahasiakan, mereka tidak dijamin dari tuntutan pidana atas tindak kriminal yang menjadi sebab kepemilikan aset mereka, mereka bisa diseret ke meja hijau. Padahal diperkirakan banyak dari dana yang diparkir diluar negeri berasal dari pendapatan ilegal, dari hasil korupsi, transaksi narkoba, pertambangan ilegal, dan pembalakan hutan secara liar. Disisi lain, tax amnesty memberikan rasa ketidakadilan bagi para wajib pajak yang selama ini taat dalam membayar pajak. Kebijakan ini dapat memicu orang yang taat menjadi ikut mengemplang pajak dengan harapan suatu saat Pemerintah akan memberikan pengampunan untuk mereka.
Problem Kapitalisme
Di negara-negara kapitalisme, pajak adalah pilar utama penerimaan Negara terutama Pajak
Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di Indonesiapendapatan perpajakan terhadap APBN mencapai sekitar 82% dari total penerimaan Negara. Meskipun demikian, nilainya masih dianggap kurang oleh pemerintah karena rasionya terhadap PDB (tax rasio) masih dikisaran 12%. Disisi lain , porsi pendapatan dari Pendapatan Negara BukanPajak(PNPB) seperti royalty pertambangan dan pendapatan BUMN terus turun.
Oleh karena itu, pemerintah terus memperluas basis dan obyek kena pajak disampingmengutak–atik tarif pajak untuk meningkatkan penerimaan. Tarif pajak penghasilan orang pribadi ditetapkan secara progresif, artinya semakin tinggi pendapatan seseorang maka tarif pajak yangdikenakan kepada dia semakin tinggi. Tarif pajak yang tinggi tersebut tentu saja membuat banyakorang terutama yang kaya merasa keberatan meski pendapatannya diperoleh secara illegal.Sebab, semakin produktif mereka dalam menghasilakan kekayaan maka persentasi kekayaan yang ditarik Negara akan semakin besar. Oleh karena itu, banyak wajib pajak melakukan berbagaicara untuk mengurangi kewajibannya seperti memanipulasi laporan keuangan, menyuap petugaspajak hingga menyembunyikan kekayaan mereka di negara-negara tax heaven, negara yangmemiliki tarif pajak yang rendah dan kerahasiaan informasi keuangan seseorang dijaga secarahukum seperti Singapura, Swiss, Hongkong, Mauritius, dan Panama.
Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, negara yang berasaskan akidah Islam (Negara Khilafah) pada dasarnya tidak diperkenankan untuk menarik pajak. Menurut Al-‘alamah Syaikh Atha Abu Rasytah, larangan tersebut berdasarkan sabda
Rasulullah SAW, yang artinya:
“Tidak akan masuk surga para penarik cukai “(HR.Ahmad)
Maksud cukai disini adalah harga yang ditarik dari pedagang yang melintasi perbatasan negara. Namun, terdapat dalil yang melarang seluruh bentuk penarikan pajak yaitu sabda Rasulullah SAWyang artinya :
“ Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram sebagaimana haramnya hari
ini, dinegeri ini dan di bulan ini…”(HR al-Bukhari Muslim)
Hadits ini menjadi dalil atas ketidakbolehan pemerintahan menarik pajak dalam membiayai penyelenggaraan negara. Negara akan mengandalkan sumber-sumber pendapatan Baitul Maal yang telah ditetapkan oleh syariah seperti fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, zakat (khusus untuk 8 asnaf), pendapatan dari harta milik umum dan harta milik negara dan sebagainya. Jika sumber-sumber tersebut dikelola dengan baik maka akan cukup untuk membiayai pengeluaran negara.
Hanya saja, jika sumber pendapatan tersebut ternyata tidak mencukupi dalam membiayaipengeluaran yang bersifat wajib yang telah ditetapkan oleh syariah maka kewajiban tersebut jatuh kepada kaum muslimin dalam bentuk pajak. Meskipun demikian, penarikan pajak tersebut hanya dibebankan kepada mereka yang kaya. Adapun ahlu dzimmah sama sekali tidak dikenakan pajak atas penghasilannya, mereka hanya membayar jizyah sekali setahun yang nilainya ditetapkan olehkhalifah berdasarkan pendapat para ahli.
Demikianlah Islam memberikan solusi atas permasalahan negara dalam mengatasi masalahpendapatan dan pengeluarannya. Seluruhnya didasarkan pada dalil-dalil syariah yang bersumberdari Allah SWT, Zat Yang Maha Adil dan Bijaksana. Hanya dalam naungan Khilafah Islamiyah kesejahteraan dapat terwujud.
Wallahu ‘alam bi ash-shawab.
Penulis, dr. Nindya S.
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Tulungagung