(Panjimas.com) – Saya yakin, siapa pun akan tersenyum dan terkagum-kagum pada saat membaca komentar ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bireuen, saudara Hamdani. Komentar yang lumayan lucu dan bahkan menggelitik. Komentar dimaksud adalah terkait tidak dikeluarkannya rekomendasi pembangunan Mesjid Taqwa Muhammadiyah di Juli dengan alasan yang aduhai.
Dalam komentarnya sebagaimana dirilis Tabloid Modus beberapa waktu lalu, Ketua FKUB Bireuen mengatakan bahwa yang menjadi alasan tidak dikeluarkannya rekomendasi pembangunan mesjid Muhammadiyah di Juli adalah untuk menghindari terjadinya konflik antara Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Meskipun terdengar bijak, tapi ini adalah sebuah pernyataan yang sulit dinalar dengan akal sehat. Tegasnya, pernyataan serupa ini tidak pantas diucapkan oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama. Lain halnya jika diucapkan oleh Forum Konflik Umat Beragama.
Disadari atau tidak, komentar yang dilontarkan oleh Ketua FKUB Bireuen telah mencoreng keharmonisan yang selama ini sudah tertata dengan baik di Kabupaten Bireuen. Apa hubungannya pembangunan mesjid dengan konflik NU dan Muhammadiyah? Jika pembangunan mesjid dianggap sebagai pemicu konflik, lantas apa bedanya FKUB dengan preman-preman dari dunia barat yang mendefinisikan Islam sebagai biang terorisme. Jika pun potensi konflik itu benar adanya, bukankah ini menjadi tugas FKUB untuk mendamaikan para pihak yang terlibat konflik. Bukan justru menceburkan kaki kepada salah satu pihak. Seharusnya FKUB mampu menjadi perukun – sesuai dengan namanya Forum Kerukunan Umat Beragama. Bukan justru menjadi pemicu konflik itu sendiri dengan mengeluarkan pernyataan yang bernada provokatif.
NU dan Muhammadiyah adalah ormas terbesar di negeri ini. Keduanya telah eksis jauh sebelum republik ini diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta. Jika dilihat dari usia berdirinya, Muhammadiyah (berdiri 1912) bahkan lebih tua daripada NU (berdiri 1926). Meskipun antara kedua ormas ini terdapat beberapa perbedaan namun seiring perkembangan zaman, gesekan antara dua ormas ini sudah sangat sulit ditemukan. Di mana kedua ormas tersebut bisa berjalan beriringan dalam membangun bangsa ini dengan kontribusinya masing-masing.
Muhammadiyah telah berdiri di Aceh pada tahun 1928–jauh sebelum FKUB Bireuen lahir. Dengan demikian, tindakan FKUB Bireuen yang meminta akta notaris Muhammadiyah dari pusat sampai ranting sebagai salah satu persyaratan mendirikan mesjid semakin mempertegas bahwa FKUB Bireuen tidak memahami fungsinya dengan baik. FKUB Bireuen seperti hendak menafikan keberadaan Muhammadiyah yang selama ini telah berjasa besar dalam membesarkan bangsa ini.
Kemudian dengan meminjam istilah Quraish Shihab–hampir dapat disimpulkan bahwa komentar Ketua FKUB Bireuen yang menyebut rekomendasi pembangunan mesjid dapat memicu konflik NU dan Muhammadiyah adalah komentar orang yang “lahir terlambat” atau dalam istilah orang Aceh teulat jaga. Secara tidak langsung kalimat yang diucapkan oleh Ketua FKUB Bireuen akan melahirkan penafsiran bahwa NU terlibat dalam menghambat pembangunan mesjid Muhammadiyah di Juli. Lantas benarkan demikian. Sanggupkah FKUB membuktikan ini. Jika tidak maka pernyataan tersebut harus diralat sembari meminta maaf kepada NU. Saya yakin bahwa NU adalah ormas yang sangat toleran terhadap perbedaan. Kemudian, siapakah yang dimaksud dengan NU dalam pernyataan Ketua FKUB Bireuen itu. Apakah para oknum dan pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan keberadaan mesjid Muhammadiyah dapat dengan serampangan dikatagorikan sebagai NU.
Bagaimana pula jika kondisinya terbalik. Seandainya ada pihak NU yang ingin mendirikan mesjid, apa lantas kemudian FKUB juga akan menghambat pembangunan tersebut dengan dalih akan terjadi konflik dengan Muhammadiyah. Ada baiknya logika-logika dangkal semacam ini ditinggalkan oleh FKUB Bireuen agar hubungan yang harmonis dapat tercipta.
Penting pula dipahami oleh FKUB Bireuen bahwa sepanjang perjalanan sejarah tidak pernah terjadi konflik antara NU dan Muhammadiyah di Aceh. Lantas apa yang menjadi dasar kekhawatiran FKUB Bireuen.
FKUB seharusnya berperan aktif dalam menciptakan toleransi antar umat beragama, tidak hanya dengan penganut agama yang berbeda, tetapi juga antar sesama pemeluk agama. Setiap potensi konflik seharusnya bisa disikapi dengan baik, bukan justru bersikap diskriminatif dengan merugikan salah satu pihak. Klaim mayoritas dan minoritas harus bisa dikelola dengan baik dan hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi, apalagi terhadap komunitas (ormas) yang punya kontribusi besar terhadap negeri ini seperti halnya Muhammadiyah.
Pihak FKUB Bireuen harus jujur kepada publik karena isu ini telah menjadi konsumsi publik. Harus dijelaskan seterang-terangnya agar masyarakat tidak kebingungan. Benarkah penolakan terhadap pembangunan mesjid Muhammadiyah tersebut dilatari oleh persoalan ajaran (agama), atau hanya konflik antar pribadi yang kemudian merembes dan dipolitisir sedemikian rupa sehingga terkesan sebagai konflik agama. Persoalan agama adalah persoalan sensitif yang jika tidak disikapi dengan bijak maka akan melahirkan konflik yang sesungguhnya. Ruang konflik ini tentunya harus ditutup rapat agar tidak melebar, tentunya dengan mekanisme yang tepat, elegan dan tanpa diskriminasi.
Isu tentang pelarangan pembangunan mesjid di Bireuen sudah menjadi isu nasional. Jika tidak disikapi dengan baik oleh pihak terkait, khususnya Pemda Bireuen, bukan tidak mungkin kejadian ini akan memperburuk wajah Bireuen sebagai daerah yang katanya akan menjadi kota santri. Bupati Bireuen selaku penguasa yang otiritatif seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan ini dengan bijak demi terciptanya toleransi dan keharmonisan dalam masyarakat. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian, maka kita semua akan menyaksikan wafatnya toleransi di Bireuen. Wallahul Musta’an. [RN/wartaaceh]
Penulis, Khairil Miswar
(Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Konsentrasi Pemikiran dalam Islam dan juga mantan santri Dayah Darussa’dah).