(Panjimas.com) – Suasana di Kantor Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, malam hari 29 Juli 2016, ramai dipenuhi warga. Mereka berkerumun di depan kantor. Aduan soal protes Meliana, seorang perempuan paruh baya beretnis Tionghoa atas suara keras dari masjid Al-Makshum di Jalan Karya, Lingkungan II, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, jadi penyebabnya.
Pihak pengurus masjid, pejabat kelurahan, dan warga sekitar sedianya sudah sepakat tak memperpanjang masalah. Kepala Lingkungan II Rifai mengingat, Meliana (48 tahun) dan suaminya, Liam Tiu, juga sudah menyatakan penyesalan dan bersedia meminta maaf secara tertulis.
Meski begitu, di sela-sela perundingan, suasana di luar kantor kelurahan semakin ramai. Tiba-tiba, menurut Rifai, seorang laki-laki datang masuk. “Yang mana orangnya!? yang mana?” ujar pemuda itu. Begitu melihat Liam Tiu, dia langsung bergerak menuju lelaki berusia 51 tahun itu. Tangannya terkepal dan telah bersiap untuk memukul Liam Tiu. Suasana menjadi mencekam dan panas.
“Sudah, dibawa saja ke Polsek, Pak,” kata Lurah Tanjung Balai Kota I, Edy Mulyani, kepada semua yang ada di ruangan tersebut. Pasangan itu kemudian diboyong ke Polsek Tanjung Balai Selatan berikut pengurus masjid. Tujuannya, menjaga keamanan mereka, melakukan mediasi, dan menyelesaikan permasalahan tersebut hingga tuntas. Sementara dua anaknya yang berada di rumah, dijemput salah seorang tetangga ke rumah mereka.
Sayangnya, permasalahan ternyata tak berhenti di sana. Meski permintaan maaf telah diterima pemuka masyarakat, massa yang semakin ramai berkumpul di depan rumah Meliana kian tak terkendali. Massa ini diketahui bukan hanya warga Jalan Karya. Mereka datang dari berbagai wilayah di Tanjung Balai setelah menerima informasi entah dari siapa. Sebagian besar merupakan pemuda.
Menurut para saksi mata, mereka inilah yang mulanya melempari rumah Meliana dengan batu. Informasi terus berkembang liar malam itu di Tanjung Balai. Meluas melalui berbagai medium dan jejaring sosial. Sekitar kurang dari pukul 22.00 WIB, para perusuh dari luar wilayah mulai menyulut api di teras rumah Meliana. Mereka tak tahu, di sebelah rumahnya, terdapat ratusan tabung gas yang siap meledak. Rumah yang dihuni Hamlek Kien Tjoan tersebut merupakan pangkalan gas elpiji 3 kg.
Melihat api dinyalakan, warga sekitar langsung berteriak. “Oi! Ada gas itu!” Beruntung, api yang membakar teras rumah Meliana belum membesar, dan bisa langsung dipadamkan warga tempatan.
Namun, keramaian terus menular tanpa bisa dihentikan di sejumlah tempat. Massa terpusat pada tempat-tempat peribadatan umat Buddha dan Konghucu. Mereka tersebar di delapan titik. Layaknya dikomandoi, massa terlihat bersiap di masing-masing posisi.
Menjelang tengah malam, ribuan massa bergerak serempak. Mereka merusak wihara, klenteng, dan rumah yayasan sosial kemalangan yang berada di tempat berbeda. Beberapa di antara para perusak juga menyulut api. Wihara Tri Ratna di Jalan Asahan, Kelurahan Indra Sakti, Tanjung Balai Selatan, menjadi salah satu lokasi tindak perusakan paling banyak terjadi.
Massa menyerbu masuk ke dalam tempat ibadah tersebut. Berbagai benda yang mereka jumpai, dibanting dan dipecahkan. Sejumlah bus dan kendaraan di lokasi ini pun ikut dibakar. Massa sempat merusuh selama sekitar setengah jam, sebelum akhirnya dibubarkan personel dari Polres Asahan dan Subden 3 Detasemen B Satuan Brimob Polda Sumut. Para personel dari markas yang berkedudukan di Tanjung Balai itu datang, dengan motor trail dan truk pengendali massa.
Senjata laras panjang tergantung di pundak mereka. Tembakan peringatan berkali-kali dilepaskan ke udara. Massa berlarian meninggalkan tempat peribadatan yang mereka rusak.
Sabtu, 30 Juli 2016, sekitar pukul 04.30 WIB, kerusuhan mereda. Anehnya, di antara para perusuh di pusat Kota Tanjung Balai, yang berasal dari Jalan Karya, bisa dibilang tak ada. Keterlibatan mereka tuntas hanya sampai di sekitar rumah Meliana dan Masjid Al-Makshum. Dari 21 tersangka yang ditangkap polisi, tak ada satu pun yang berasal dari Kelurahan Tanjung Balai I.
Banyaknya warga yang berasal dari berbagai daerah ini menunjukkan, penyebaran informasi yang begitu cepat. Polisi menduga penyebaran ini melalui pesan singkat, juga media sosial.
Satu di antara 21 tersangka yang diamankan pada Selasa (2/8) pagi, memang merupakan tersangka penyebar ujaran kebencian melalui Facebook. Dia diringkus di kediamannya di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Namun, tersangka berinisial AT (41) itu menuliskan ujaran kebenciannya terkait Tanjung Balai pada Ahad (31/7) lalu, sehari selepas kerusuhan terjadi.
Sebanyak 21 tersangka yang telah diamankan polisi, terdiri atas delapan pelaku penjarahan saat kerusuhan terjadi, sembilan tersangka perusakan, dan empat tersangka provokator saat kerusuhan. Tujuh di antaranya masih di bawah umur sehingga tidak ditahan dan dikembalikan kepada masing-masing orang tua. Penangguhan penahanan juga dilakukan kepada 12 tersangka pencurian dan perusakan. Dua tersangka provokator yang membakar massa dengan orasi berinsial BH dan A juga ditahan.
Pada Sabtu (30/7) pagi, di sela-sela penjagaan ketat para personel gabungan Polri-TNI, Pek Tjong Lie, Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna, mendatangi tempat ia biasa beribadah dengan perasaan terkejut. Ia menyaksikan tempatnya biasa memuja para dewa hancur berantakan. “Kok bisa begini?” katanya dalam batin. Ia pun tak habis pikir.
Selama 50 tahun hidup di Tanjung Balai, Tjong Lie belum pernah melihat gesekan antarumat beragama yang sebegitu tajam. Apalagi, sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa lahir dan besar di kota kerang tersebut. Di mata Pek Tjong Lie, semuanya terlihat baik-baik saja selama ini. Tapi, benarkah demikian? [RN/Republika]