(Panjimas.com) – Dalam kesehariannya, Kasidik (70 tahun) merupakan nazir alias pengurus Masjid al-Makshum di Jalan Karya, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Tanjung Balai. Masjid yang tak sebegitu besar itu berselang tiga rumah dari rumahnya. Kasidik bertugas membersihkan dan mengurusi masjid setiap harinya.
Anak perempuannya, Kasini (48 tahun), berjualan tak jauh dari rumah Kasidik. Beberapa waktu lalu, Uwok, sapaan akrab Kasini, menerima keluhan dari seorang tetangga dekatnya, Meliana, soal suara dari masjid yang terlampau keras.
Setelah lama memendam pesan Meliana, Uwok akhirnya memutuskan untuk bercerita ke adiknya, Hermayanti, yang serumah dengan sang bapak. Disampaikannya keresahan yang dia rasakan. “Cemana (bagaimana) lah itu,” kata Uwok kepada Yanti dengan nada rendah, seperti diceritakan Uwok. Mendengar cerita kakaknya, Yanti merasakan yang sama. Tebersit di pikiran mereka untuk tidak menyampaikan pesan tersebut. Namun, amanah tetaplah amanah. “Sampaikan sajalah,” kata Uwok.
Pada akhirnya, keluhan Meliana itu sampai ke telinga Kasidik. Jumat, 29 Juli 2016, selepas Ashar, seperti biasa, para pengurus berkumpul di Masjid al-Makshum. Sembari duduk santai, obrolan ringan seperti urusan masjid, mereka perbincangkan. Sejumlah pengurus masjid yang lain tampak duduk memperhatikan. Salah satu yang hadir dalam majelis itu adalah Kepala Lingkungan (Kepling) II, Rifai. Kepling adalah sebutan untuk jabatan setara ketua RT di wilayah tersebut.
Kepling II menceritakan, saat itu Kasidik terlihat mantap ingin menyampaikan sesuatu. Kepada para pengurus yang tergabung dalam badan kemakmuran masjid (BKM), Kasidik menyampaikan seluruh pesan Meliana dengan utuh, tak ditambah atau dikurangi. “Nah, jadi cemitu (seperti itu) lah,” ujar dia menuntaskan protes dari Meliana seraya meminta pendapat.
Para pengurus pun berunding. Diskusi itu berkhir dengan keputusan mengonfirmasi langsung ke penyampai protes.
Seusai shalat Maghrib, mereka ke rumah Meliana. Empat pengurus masjid menyeberangi jalan dan membuka pagar rumah Meliana. Sengaja mereka tak datang beramai-ramai untuk menghindari perhatian warga. Apalagi, Jalan Karya merupakan jalur utama yang biasa digunakan warga untuk berlalu lalang. Mereka ingin menanyakan kebenaran dan maksud pesan yang disampaikan Meliana.
Rifai mengenang, pintu rumah diketuk perlahan oleh Haris Tua Marpaung, imam shalat Maghrib saat itu. Lobe, begitu Haris biasa disapa, berdiri paling dekat dengan daun pintu di depan mereka. Tak lama berselang, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun membuka pintu kediamannya. Di depan daun pintu berwarna biru muda itu, dia mendapati sejumlah orang bersarung dan beberapa berjubah putih dengan kopiah di kepala mereka.
Sang remaja langsung memanggil orang tuanya. Dengan mengenakan baju rumahan tak berlengan, perempuan berambut hitam lurus kemudian ikut menjumpai para pengurus masjid yang datang.
“Benarnya kamu bilang kecilkan suara masjid ini sama kakak itu (Uwok)?” tanya Lobe petang itu.
“Memang bising, terlalu kuat,” kata anak Meliana.
“Iya, itu terlalu kuat, pekak kuping kami dengarnya,” kata Meliana menyambut.
Percakapan itu berlangsung di depan pintu rumah, bukan di dalam rumah. Akhirnya, warga yang sedang lewat pun penasaran melihat sekumpulan orang, yang di antaranya mengeluarkan suara-suara berintonasi tinggi. Mereka ikut ‘singgah’ untuk mengetahui yang terjadi.
Dalam waktu yang tak terlalu lama, halaman rumah Meliana ramai dengan puluhan warga. Mereka yang tak tertampung berdiri di luar pagar rumah dan mengganggu lalu lintas Jalan Karya.
Tak ingin warga terus berdatangan, Lobe sedikit merendahkan suaranya. “Itu kan ayat-ayat Tuhan, kenapa kamu pekak. Kita kan sama-sama punya agama,” katanya. “Kami umat Islam kalau sebelum shalat memang ada ngaji, ada azan.” Meliana ternyata belum memahami hal tersebut.
Saat itu, di balik keramaian di depan rumah Meliana, sejumlah pengurus masjid yang lain tampak duduk memperhatikan. Mereka memang sebagian lebih memilih untuk tetap berada di masjid, menunggu kepulangan rekan pengurus mereka yang lain.
Pada saat bersamaan, di salah satu rumah, “Cok (coba) tengok rame-rame tuh, Bu.” Yang berkomentar adalah Yani, anak perempuan Uwok. Ia yang awalnya hanya melongok dari dalam, kemudian bergegas ke luar dari warung kecil berjarak tiga rumah dari bagian kiri Masjid al-Makshum. Masih enggan meninggalkan kedai yang sedang ia jaga.
Sementara di sudut ruangan rumah itu, ihwal keramaian ini telah terdengar ke telinga sang ibu, Uwok. Dia terdiam ketakutan. Badan dan lututnya langsung lemas. Aktivitas melipat surat-surat yang dia kerjakan sebelumnya langsung ditinggalkan. Dia terus mendengarkan laporan langsung dari Yani.
Di depan pintu rumah Meliana, para pengurus masjid akhirnya memutuskan untuk kembali dan menemui rekan-rekan mereka yang masih menunggu di teras masjid. Mengantisipasi warga yang terus ramai berdatangan, mereka segera meninggalkan rumah bercat putih itu. Pembahasan antarpengurus berlangsung seru. Sebagian dari mereka tak menyembunyikan kekesalannya.
Diskusi terhenti. Perhatian mereka tiba-tiba kompak tertuju ke arah pagar masjid. Suami Meliana datang. “Pak, minta maaflah. Istriku tadi salah ngomong,” kata Liam Tiu. Perdebatan singkat sempat terjadi. Namun, akhirnya, para pengurus masjid melihat niat tulus Liam dan sepakat untuk tidak memperpanjang masalah.
Selepas shalat Isya, Lurah Tanjung Balai Kota I Edy Mulyani memanggil Kepling II Rifai, Kepling I Fakhrur Razman, dan sejumlah orang yang terlibat. Atas perintah lurah, Meliana dan suaminya pun diminta datang ke kantor lurah untuk menyampaikan permintaan maaf.
Rifai kemudian mengumpulkan jamaah dan pengurus masjid, kepling rumah Meliana, Fakhrur Razman, Babinsa, dan Babinkamtibmas di kantor lurah seusai shalat. Lurah meminta Meliana untuk menandatangani perjanjian yang berisi permintaan maaf. Perempuan itu menyetujuinya. Belakangan, ia menuturkan sama sekali tak paham kalau keberatannya bisa sebegitu membuat pihak lain tersinggung.
Selain permintaan maaf, dengan mempertimbangkan kondisi di depan rumahnya yang semakin ramai, Edy juga meminta Meliana meninggalkan kediamannya sementara waktu. Edy menyatakan, ia tak bisa menjamin keselamatan Meliana dengan isu yang berkembang saat itu. [RN/Republika]