(Panjimas.com) – Sudah 70 tahun berlalu, apa yang kita namakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun sejalan dengan proklamasi tersebut, masih juga mengganjal dihati –bagi sebagian umat yang menyadari-sebuah kesepakatan yang tidak tertunaikan. Sebuah perjuangan yang digugurkan sebelum dilahirkan. Gentlemant’s Agreement bernama Piagam Jakarta. Sebuah kesepakatan yang bernilai harganya bagi umat Islam, karena mengandung pernyataan tertulis sebuah negara untuk menegakkan syariat Islam. Sebuah pernyataan yang sepantasnya juga kita pertanyakan kembali kehadirannya. Karena ternyata dibangunnya sebuah dasar negara bernama Pancasila bukan hadir dengan kata bulat sepakat belaka. Melainkan proses perdebatan panjang yang tak kunjung usai mulai dari sidang BPUPKI, disepakati bersama untuk sementara, dilanjutkan pada sidang konstituante hingga diputus paksa oleh dekrit Presiden Soekarno 1959. Awal perjalanan panjang, perdebatan penegakkan syariat Islam dalam lingkup resmi itu, diwarnai oleh seorang sosok ulama besar Indonesia, pemimpin Muhammadiyah kala itu, bernama Ki Bagus Hadikusumo. Perannya dalam mewarnai perdebatan dasar negara ini menjadi semakin terang, ketika sejarah mencatat ia adalah salah seorang yang paling teguh, memperjuangkan Islam dalam mengisi bangsa ini. Dan kalimat putus darinya pula, yang menunda sementara perjuangan syariat Islam, dengan dihapuskannya tujuh kalimat yang berarti itu.
Lahir di Yogyakarta tahun 1890, Ki Bagus Hadikoesoemo, lahir dari keluarga Islami. Ayahnya seorang Lurah Kraton bernama Haji Hasjim Ismail. Tinggal di Yogyakarta, disebelah utara pekarangan, dekat rumah KH Ahmad Dahlan. Anak-anak Haji Hasjim Ismail inilah termasuk yang pertama-tama menorehkan namanya, dalam sejarah pergerakan Islam di Indonesia. Anak Haji Hasjim yang kedua bernama bernama Daniyalin, kemudian dikenal sebagai Haji Syuja. Beliaulah yang menjadi ketua pertama Hoofdbestur Muhammadiyah, Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Kemudian adiknya bernama Dzajuli, yang kelak kemudian dikenal sebagai Haji Fachrodin. Seorang pemimpin pergerakan Islam, pegiat di surat kabar, pemimpin kaum buruh, yang kemudian terjun pula menjadi tokoh Sarekat Islam. Dan adik Haji Fachrodin, bernama Hidayat, kelak dikenal sebagai pemimpin Muhammadiyah, bernama Ki Bagus Hadikusumo. Nama Ki Bagus Hadikusumo bukan baru muncul, namun telah lama terjun kedalam bidang dakwah Islam dan memegang beberapa jabatan penting. Peran pentingnya pula yang kelak membawanya ke Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sebuah Badan yang dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia termasuk pula menentukan dasar negaranya.
BPUPKI bersidang mulai 28 Mei 1945. Namun yang tercatat paling menentukan dan mengesankan adalah persidangan mengenai dasar negara. Persidangan mengenai dasar negara ini membentuk dua kubu yang saling berseberangan paham dan pemikirannya, yaitu nasionalis sekular dan nasionalis Islami. Hal ini tercermin dari pidato Supomo,
“Memang disini terlihat ada dua faham, ialah: paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan Negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan : bukan negara Islam.”
Di dalam Naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid 1 yang disusun oleh Muhammad Yamin, dicantumkan tiga pidato terpenting yang mewakili nasionalis sekular, yaitu pidato M. Yamin sendiri, Supomo, dan Soekarno. Kelak, pidato 1 Juni 1945, oleh Soekarno ini, yang disebut sebagai lahirnya Pancasila. Namun yang mengherankan dalam buku ini, tidak ada satupun pidato dari para anggota nasionalis Islami. Hal ini menjadi pertanyaan yang tak terjawab hingga detik ini. Ke mana rimbanya naskah pidato dari pihak Islam ini? Padahal Ki Bagus Hadikusumo termasuk salah satu tokoh nasionalis Islami yang berpidato saat itu, mengenai dasar negara. Pidato Ki Bagus Hadikusumo disimpan oleh anaknya, Djarnawi Hadikusumo, kemudian dibukukan dengan judul Islam Sebagai Dasar Negara. Sebuah judul yang sama, kelak dibacakan oleh Muhammad Natsir dalam sidang konstituante 12 tahun kemudian.
Ki Bagus Hadikusumo menekankan dalam bagian awal pidatonya, bahwa manusia itu hidup bermasyarakat. Tidak bisa hidup, jika tidak menerima pertolongan orang lain. Dan Allah mengirimkan para Nabi agar memimpin masyarakat. Menurut Ki Bagus Hadikusumo, wakil rakyat dalam bermusyawarah, harus dapat berlaku sebagai waris para Nabi dan segala perbuatan harus berdasarkan keikhlasan, suci dari sifat tamak dan mementingkan diri dan golongan sendiri.
Begitu pentingnya sidang BPUPKI karena menentukan dasar negara, sehingga ditengah pidatonya, Ki Bagus Hadikusumo mendoakan para peserta sidang,
“Ya Allah berikan kami petunjuk ke jalan yang benar, yaitu jalan yang telah engkau beri nikmat dan bukan jalan orang-orang yang engkau murkai, bukan pula jalan orang-orang yang sesat.”
Menurut beliau dalam membentuk negara harus mengikuti cara Nabi dan belajar dari sejarah. Mengetahui penyebab ‘kekusutan’ (begitulah istilah beliau menggambarkan kekacauan) bisa terjadi dan harus dicari penyebabnya. Menurutnya, penyebab kekusutan tadi timbul dari jiwa yang kusut, didorong oleh hawa nafsu jahat dalam dada manusia. Maka menurut beliau, akhlak tiap orang harus dibenahi dan mendapat ajaran-ajaran Islam.
Beliau kemudian melanjutkan, “Bagaimanakah dan dengan pedoman apakah para Nabi itu mengajar dan memimpin umatnya dalam menyusun negara dan masyakarat yang baik? Baiklah saya terangkan dengan tegas dan jelas, ialah dengan bersendi ajaran agama.”
Beliau menerangkan, Islam mengajarkan empat perkara, yaitu Iman, ibadah kepada Allah, amal sholeh dan berjihad di Jalan Allah. Menurutnya jika keempat ajaran ini dimiliki oleh rakyat, maka akan “…alangkah sentausanya, bahagianya, makmur, dan sejahteranya negara kita ini.”
Ki Bagus kemudian menyambungnya, dengan meminta, “…bangunkanlah negara diatas ajaran Islam.” Sebagai dasar, beliau mengutip surar Ali Imron ayat 103 dan Al Maidah ayat 3. Menurutnya, agama seharusnya menjadi tali pengikat yang kuat, bukan malah menjadi pangkal percekcokan dan takut untuk dibicarakan.
“Agama adalah pangkal persatuan, janganlah takut di mana pun mengemukakan dan mengetengahkan agama.”
Ia menyindir orang yang takut sekali dan berhati-hati jika hendak membentangkan dan mengetengahkan agama, karena takut terjadi perselisihan. Ia menegaskan, padahal bukan perkara agama saja, yang jika dibicarakan dengan tidak jujur, suci dan ikhlas, akan menimbulkan akibat demikian. Republik, monarki, sarekat atau kesatuan pun dapat menyebabkan hal itu. Menurutnya, semua ini terjadi sebagai akibat dari politik penjajahan yang memecah belah.
Ki Bagus Hadikusumo kemudian mengetengahkan berbagai persoalan negara, yang diberikan solusinya oleh Islam. Dalam hal ekonomi, beliau mengutip surat An-Nahl ayat 14. Kemudian dibidang pertahanan diterangkannya Surat Al Anfal ayat 62, Shof ayat 2-4 dan ayat 10-13. Menurutnya ayat-ayat ‘pertahanan’ tersebut menyuruh umat untuk mencurahkan segala kekuatan perang untuk menggentarkan musuh. Maka diulanginya lagi, “Oleh karena itu bangunlah negara kita ini dengan bersendi agama Islam yang mengandung hikmah dan kebenaran.”
Ki Bagus Hadikusumo juga menyoroti soal pemerintahan yang adil dan kebebasan beragama. Pemerintahan yang adil dan bijaksana berdasarkan budi pekerti yang luhur dan bersendikan permusyawaratan, tidak akan memaksa tentang agama. Ia mendasarkan pada surat An Nisa ayat 5, Ali Imron ayat 159, dan Al-Baqarah ayat 256.
Paparan berikutnya beliau menjawab kekhawatiran seorang yang berpidato sebelumnya. Orang tersebut tidak setuju kalau negara berdasar agama, sebab peraturan agama tidak cukup untuk mengatur negara. Dan menurutnya agama itu tinggi dan suci, jadi janganlah agama dicampurkan dengan urusan negara. Ki Bagus mementahkan pendapat ini. Menurutnya, agama (Islam) telah meresap dan melekat dalam hati pemeluknya. Agama dapat menjadi dasar negara, karena Al Quran yang berisi lebih dari 6000 ayat itu hanya 600 ayat saja yang berbicara mengenai ibadah dan akhirat. Selebihnya mengenai tata negara dan keduniaan. Menurutnya cita-cita umat Islam sejak dahulu, sekarang, hingga yang akan datang, yaitu “…dimana ada kemungkinan dan kesempatan, pastilah umat Islam akan membangunkan negara dan menyusun masyarakat yang didasarkan atas hukum Allah dan Agama Islam.“ Kemudian beliau menambahkan, yang demikian ini memang kewajiban umat Islam tehadap agamanya. Dan apabila tidak berbuat demikian berdosalah dia kepada Allah.
Ki Bagus mengkahwatirkan kaum imperialis yang selalu berusaha melenyapkan agama Islam atau memakainya sebagai alat untuk memecah belah. Menurutnya Negara Islam tidak akan melarang warganya untuk memeluk agama lain dan beribadah menurut kepercayannya. Karena memang begitulah tuntunan Islam. Ia meminta hadirin untuk melihat sejarah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurasyidin yang memimpin umatnya dengn petunjuk Al Quran dan hukum Islam. Di situlah terdapat teladan yang baik untuk membangun negara. Beliau kemudian bertanya kepada hadirin, kenapa hukum Islam tidak diterapkan pada masa lalu di Indonesia? Pemerintah Hindia Belanda-lah yang selalu menghalangi. Beliau mencontohkan upaya pemerintah kolonial untuk mengganti hukum agama dengan hukum adat. Walau mendapat tentangan hebat, mereka tetap berusaha memaksakannya.
Diakhir pidatonya, ia menukaskan, bahwa, “Agama Islam membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin, serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala. Jadikan Islam sebagai asas dan sendi negara!” Menurutnya umat Islam yang 90% di Indonesia ini beriman dengan bersandar kepada Al Quran, dengan penuh ilmu dan kebijaksanaan, bukan dongengan atau tahayul belaka. Umat Islam sholat lima kali sehari, berpuasa, berzakat, dan walaupun masih lemah ekonominya, tetapi mampu mendirikan beribu-ribu pondok, langgar dan masjid. Dan di masa itu sudah didirkan sekolah-sekolah serta rumah sakit oleh umat Islam. Semua itu menunjukkan bahwa umat Islam, “ karena pengaruh imannya,. Benar-benar mempunyai hidup yang bersemangat, yang pada tiap saat dapat dengan amat mudah dapat dibangkitkan serentak, dengan mengeluarkan api yang berkobar-kobar untuk berjuang mati-matian membela agamanya, serta mempertahankan tanah air dan bangsanya.”
Beliau kemudian memberikan contoh seperti Teuku Umar, Imam Bonjol, Diponegoro, hingga Sarekat Islam, yang mendapat sambutan rakyat yang begitu besar. Hingga menyatukan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya. Semua itu karena pengaruh agama Islam. Ia lalu mempertanyakan, jika ada yang berkata agama itu tinggi dan suci, dan tidak pantas diterapkan untuk mengurus negara, maka apakah mereka mau bernegara diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci?
Diakhir pidatonya Ki Bagus Hadikusumo menutup dengan kalimat, “Mudah-mudahan Negara Indonesia baru yang akan datang itu, berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh, serta kuat dan kokoh. Amien!”
Kelak memang terbukti dalam sidang BPUPKI perdebatan mengenai dasar negara ini berlangsung sengit. Sehingga diputuskan untuk membuat panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan. Ki Bagus Hadikusumo memang tidak termasuk dalam panitia ini. Maka ketika piagam Jakarta telah disetujui oleh panitia sembilan, dan dibawa ke sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo mempertanyakan maksud dasar negara yang kompromistis itu, dan mencantumkan kalimat, “Negara…berdasarkan ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Ia sependapat dengan Kiai Ahmad Sanusi, agar dihilangkan kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya.” Namun usul ini ditolak Soekarno karena anak kalimat Piagam Jakarta tersebut merupakan hasil kompromi dua golongan (Islam dan Sekular).
Persidangan kemudian berlanjut dengan topik-topik lain, namun tiba-tiba Ki Bagus Hadikusumo mengulangi ketidaksetujuannya tentang anak kalimat tersebut. Ki Bagus Hadikusumo dan Soekarno saling memegang teguh pendirian masing-masing. Ketika Ketua Badan Penyelidik, Radjiman Wedyodiningrat, bertanya untuk mengadakan pemungutan suara, Abikoesno Tjorkosoeyoso, salah seorang anggota Panitia Sembian dari pihak Islam, menegaskan kembali bahwa Piagam Jakarta tersebut adalah hasil kompromi dua golongan. Menurutnya kalangan Islam pasti sependapat dengan Ki Bagus Hadikusumo, namun ini adalah sebuah kompromi.
“Kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya…dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana harapan Tuan Hadikusumo. Tetapi kita sudah melakukan kompromi, sudah melakukan perdamaian dan dengan tegas oleh paduka tuan ketua Panitia sudah dinyatakan, bahwa kita harus memberi dan mendapat.” Setelah mendapat penjelasan itu Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima kesepakatan tersebut.
Hari berikutnya perdebatan bergeser mengenai agama bagi Presiden Republik Indonesia. Sebagian pendapat menyatakan bahwa agama presiden harus Islam, karena ada kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti yang diusulkan Pratalykrama dan KH Masjkur. Sedangkan pihak yang menolak, seperti Supomo mengingatkan bahwa 95% penduduk Indonesia beragama Islam, maka hal itu menjadi jaminan bahwa presiden yang terpilih pasti beragama Islam. Namun betapa sengitnya perbedaan, diantara anggota sidang sepakat bahwa tugas untuk melaksanakan syariat Islam, diemban oleh pemerintah.
Soekarno dalam perdebatan itu sependapat dengan Supomo dengan alasan yang sama. Ia juga mengingatkan agama presiden tidak perlu disebutkan dalam rancangan undang-undang dasar itu, karena menghindari pertentangan. Namun hal ini membuat kesal A. Kahar Muzakkir, salah seorang tokoh Islam dalam Panitia Sembilan, ketika menyadari usul pihak Islam tidak diindahkan oleh Soekarno. Sambil memukul meja, ia meminta,
“Supaya dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal di dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut-nyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu.”
Sidang kembali menemui jalan buntu. oleh karena itu, ketua sidang, mengusulkan pemungutan suara. Namun usul ini ditolak oleh Kiai Sanusi yang menganggap urusan agama tidak dapat begitu saja diputuskan oleh suara terbanyak. Dia meminta agar sidang memilih saja usul Kiai Masjkur atau usul Muzakkir. Soekarno lantas menolak usul Muzakkir. Muzakkir kembali meminta agar sidang memperhatikan usulnya. Saat itulah Ki Bagus Hadikusumo membela tampil mendukung Muzakkir, dan berkata,
“Saya berlindung kepada Allah terhadap syetan yang merusak. Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerapkali diterangkan disini, bahwa Islam itu mengandung ideologie negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam… Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi; kalau ideologie Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri diatas agama Islam atau negara akan netral. Itu terang-terangan saja, jangan diambil sedikit kompromis seperti Tuan Soekarno katakan ”
Di sini terlihat kegigihan Ki Bagus Hadikusumo untuk mempertahankan Islam sebagai dasar negara. Sidang ditutup tanpa keputusan apapun. Namun keesokan harinya dicapai kata mufakat dengan mencantumkan agama Presiden. Dan hari itu pula Undang-undang dasar dengan Piagam Jakarta-nya disepakati.
Apa yang terjadi selanjutnya, sejarah berbelok arah dengan sangat tajam. Piagam Jakarta dengan kalimat, “…kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dihapus, dan diganti berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. Begitu pula pasal 6 ayat 1 yang menyatakan Presiden beragama Islam dicoret. Kontroversi perubahan ini sudah menjadi polemik yang tak kunjung jelas hingga saat ini sehingga dapat dikatakan sebuah ‘historische vraag (Pertanyaan sejarah).’
Pernyataan Muhammad Hatta yang menjadi pendorong dihapuskannya piagam Jakarta tersebut masih diliputi awan gelap. Ia mengaku khawatir Indonesia akan terpecah belah jika kalimat tersebut dipertahankan. Sebab petang sebelumnya, ia mengaku didatangi opsir Kaigun, yang menyatakan wakil Protestan dan Katolik menyatakan keberatannya.
Namun yang menjadi soal hingga saat ini, sebuah persoalan besar menyangkut dasar negara, digoyangkan oleh orang asing, dan terlebih, Hatta mengaku tidak ingat siapa opsir tersebut. Hal yang sungguh mengherankan, mengingat maha berat dan pentingnya persoalan ini, namun Hatta tak mampu mengingat namanya.
Apa yang terjadi selanjutnya berdasarkan pengakuan Bung Hatta, keesokan harinya (18 Agustus 1945), ia mengajak Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan (Aceh) untuk membicarakan masalah itu. Hatta kemudian melanjutkan, “….Supaya jangan pecah bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’.”
Hal ini menjadi krusial dan patut menyita perhatian. Dari keempat orang yang diajak berembuk itu, nama Kasman Singodimedjo, bisa dibilang sebagai pihak yang terjebak dalam hal ini, karena ia tak terlibat mendalam dengan urusan ini. Ia sendiri mengakui dan menyesalkan bahwa ia sebagai orang militer harusnya tidak ikut berpolitik. Ketika dilakukan lobbiying soal perdebatan itu, ia mengaku sebenarnya ingin mempertahankan Piagam Jakarta tersebut, namun ia terdesak pula, bahwa Indonesia harus menyusun undang-undangnya, diantara jepitan Jepang dan Belanda. Sementara ada keberatan dari pihak Kristen. Ia pun mengakui termakan janji Soekarno, bahwa nanti enam bulan lagi, wakil-wakil bangsa Indonesia berkumpul dalam forum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang sesempurna-sempurnanya. Memang saat akhir sidang BPUPKI, Soekarno menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar yang di buat ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, Revolutie grondwet.
“Nanti kalau kita telah bernegra di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” jelas Soekarno.
Kasman menjelaskan bahwa, Soekarno saat lobbiying penghapusan itu, tidak mau ikut-ikut bahkan menjauhkan diri dari ketegangan itu. Suasana saat itu begitu tegang, dan sengit, karena pihak Islam tidak mau begitu saja menerima perubahan tersebut. Namun akhirnya bisa menerima perubahan tersebut. Meninggalkan beban itu kepda Ki Bagus Hadikusumo, karena ia adalah pihak Islam yang belum bisa menerimanya.
Nama Teuku Mohammad Hasan memegang peran penting dalam perdebatan ini . Beliau bukanlah dari golongan nasionalis Islam. Menurut Kasman Singodimedjo, Soekarno meminta Teuku Hasan untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo, seorang ulama yang paling gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Teuku Hasan mengatakan kepada Ki Bagus Hadikusumo, “…yang kita perlukan kini adalah kemerdekaan. Apabila kita terus mempertahankan kepentingan sepihak, bisa-bisa orang Kristen dapat dipersenjatai oleh Belanda. Padahal kita kan maunya merdeka, bukan berperang.” Teuku Hasan juga menjelaskan bahwa, kita (umat Islam) tidak perlu takut, mengingat jumlah umat Islam 90%.
“Kalau kita banyak, kita tidak perlu cemas. Yang penting merdeka dulu, setelah itu, terserah kita mau dibawa ke mana negara ini,” jelas Teuku Hasan. Namun menurut Kasman Singodimedjo, baik KH Wahid Hasjim atau Teuku Hasan, tak mampu meluluhkan Ki Bagus Hadikusumo. Bung Hatta pun tak bisa. Akhirnya Kasman mencoba meluluhkan hatinya dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus. Ia mengatakan,
“Kiyahi, kemarin proklamasi kemerdekaan telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar, sebagai dasar negara kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa Presiden dan lain sebagainya, untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan.”
Kasman pun mengingatkan janji Soekarno, “…Kiyahi, dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa, 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada lagi waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!” Akhirnya berangsur Ki bagus Hadikusumo menerima penghapusan tersebut, disaksikan juga oleh KH Wahid Hasjim, Teuku Hasan, Bung Hatta dan Kasman Singodimedjo sendiri.
Sayangnya janji dari Soekarno,tak terpenuhi dalam waktu 6 bulan, atau bahkan 6 tahun. Janji itu baru dibahas kembali 12 tahun kemudian, saat Indonesia menggelar Sidang Konstituante di Bandung, tahun 1957. Salah satun agendanya untuk menetapkan dasar negara. Terjadi persaingan sengit antara Faksi Islam yang mengusulkan Islam sebagai dasar Negara, dengan faksi lainnya yang mengusulkan Pancasila.
Ketika itu, Ki Bagus Hadikusumo telah wafat. Mr. Kasman Singodimedjo kemudian menagih janji tersebut. Ditengah persidangan, ia berpidato dengan lantangnya, mengingatkan janji tersebut, “…Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meinggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke Rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya. Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam, ke dalam Undang-Undang Dasar yang kita hadapi sekarang ini.”
Pidatonya semakin menajam tentang janji itu, tatkala ia mengatakan, “…Saudara ketua, secara kategoris saya ingin tanya, saudara Ketua, dimana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian ‘Janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya?” Sebuah pidato yang bahkan akhirnya tak mampu membuat janji tersebut tertunaikan. Tak mampu mewujudkan cita-cita dan perjuangan Ki Bagus Hadikusumo hingga saat ini. [RN]
sumber: Jejak Islam