(Panjimas.com) – “Tidak ada musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS: at- Taghabun:12)
Nampaknya ayat ini yang penulis anggap mewakili maksud dari tulisan berikut.
Selepas shalat subuh berjamaah, ketika para jamaah lainnya sudah mulai beranjak satu persatu meninggalkan tempat duduknya, seorang mahasiswa disebuah perguruan tinggi ternama di Kota Pahlawan datang menghampiriku.
“Pak, panjenengan ada waktu sebentar, saya ingin bicara”. Pintanya penuh harap.
“Oh ada, silakan mau bicara dimana”?jawabku.
Kemudian saya menggiring pemuda tersebut ke sebuah sudut masjid untuk berbicara dengan tujuan agar jamaah lainnya yang masih asyik bercengkrama dengan sang Khaliq tidak terganggu dan kami pun bisa berdiskusi lepas.
” Begini pak”, -dia memulai pembicaraan-. “Saya sebenarnya masih memulihkan kondisi rohani, beberapa waktu lalu saya sempat kehilangan kepercayaan diri dan sempat putus asa, saya merasa orang yang paling sial nasibnya dan tidak bisa menjadi kebanggaan keluarga.
Peristiwa ini bermula dua tahun lalu, ketika saya lulus dari bangku SMA di Jawa Tengah. Kebetulan saya SMA menjalani 4 tahun, bukan karena saya bodoh dan tidak bisa mengikuti pelajaran dan aturan sekolah, akan tetapi ketentuan disana (pondok red) aturannya sudah seperti itu.
Tahun pertama i’dad atau persiapan. Jadi praktis saya menjalani empat tahun lamanya. Otomatis berbicara umur dan level kelas, saya ketinggalan satu tingkat atau satu tahun dari teman SD dan SMP saya yang duluan kuliah.
Setelah tamat itulah, saya kemudian berangkat ke Bandung untuk mempersiapkan diri masuk ke Institut Pertanian Bogor (ITB). Tempat kuliah yang paling saya idam-idamkan. Tapi saya tidak mau langsung mendaftar tahun itu juga, karena khawatir tidak lulus, selain itu banyak nasehat dan anjuran yang saya dengar ketika di Bandung kalau lebih baik mempersiapkan diri alias mengikuti bimbel khusus mempelajari soal-soal yang biasa diujikan. Akhirnya saya setuju dengan nasehat tersebut”. Mulai menerangkan.
Tetapi setelah keinginan itu saya utarakan ke keluarga khususnya orang tua, ternyata ditolak mentah-mentah oleh sang bunda. Beliau bersikukuh agar saya melanjutkan saja ditempat lain kalau ITB sulit masuknya, pertimbangan beliau karena saya sudah tertinggal satu tahun, apalagi kalau ditambah. Paparnya.
Tetapi saya tidak mau kalah, dengan berbagai alasan saya pakai dan utarakan, akhirnya beliau luluh dan merestui saya tunda satu tahun perkuliahan.
“Dalam menjalani proses persiapan satu tahun itulah, saya benar-benar konsentrasi, siang malam saya belajar, bahkan terkadang kamar kos hanya nebeng mandi dan nyuci setelah itu berangkat lagi belajar di tempat kursus, kegiatan-kegiatan lainnya yang saya anggap kurang produktif saya kurangi.
Bahkan dalam kondisi menjelang ujian, saya semakin menambah memacu diri untuk belajar, dan juga tidak ketinggalan memperbaiki ibadah lainnya, shalat berjamaah di masjid dan kos, shalat tahajjud, shalat dhuha, dan sedekah, dengan harapan Allah memudahkan urusanku”. Gugahnya.
Ketika pendaftaran mulai dibuka, saya sangat opitimis bisa diterima, dengan melihat persiapan matang yang saya lakukan sebelumnya, bahkan saya juga mendaftar tidak hanya di ITB, tetapi perguruan tinggi ternama di Jakarta dan Surabaya. Tambahnya. “Lalu hasilnya”, (sambil mulai tertunduk)
“Hari itu, seakan langit mau runtuh, dada saya terasa sesak”. Kenangnya .
“Saya tidak diterima satupun diperguruan tinggi yang saya tempati mendaftar”, sambil matanya berkaca-kaca dan ucapannya pun agak tertahan.
Pedih rasanya mengalami hal itu, ditambah lagi dengan perasaan malu yang sangat pada teman dan juga keluarga khususnya bunda dan papa.
Saya katakan kepada bunda, mohon maaf saya tidak lulus ujian dan saya telah mengecewakan bunda dan keluarga”.
Disaat itulah, entah bagaimana awalnya kekecewaan saya justru berdampak besar dengan aktivitas ibadah saya. Saya sudah mulai tidak bergairah shalat dan juga ibadah lainnya”. Tambahnya.
Maka saya minta nasehat dari bapak bagaimana menghapus luka ini dan juga kembali optimis menatap masa depan”. Pintanya.
***
Tidak sedikit masyarakat dan bahkan diri kita mengalami hal seperti ini.
Terkadang kita sudah bermujahadah bersungguh-sungguh dalam mencapai sesuatu yang diinginkan akan tetapi Allah Azza Wa Jalla punya kehendak lain.
Siapa pun diantara kita pasti ingin menggapai apa yang diinginkan, sebaliknya sangat sulit menerima kondisi yang tidak kita harapkan. Maka hal seperti ini kadang manusia berputus asa dan bahkan tidak sedikit mengakhiri hidup dengan bunuh diri dengan cara apapun.
Padahal bunuh diri dalam Islam adalah tergolong dosa besar. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Diantara dosa-dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh diri dan sumpah palsu”.
Kita harus menanamkan dalam diri bahwa Allah subhanahu wata’ala tidak menzhalimi hambanya sedikit pun. (QS: Al Kahfi:49)
Wallahu A’lam bisshowab.
Penulis, Syamsul Alam Jaga, Wakil Ketua PENA Jawa Timur.