(Panjimas.com) – Kekerasan terhadap anak pada tahun 2014 meningkat 100% dari tahun 2013 silam. Pada tahun 2013 kekerasan anak mencapai 560 kasus sedangkan 2014 menjadi 1.296 kasus kekerasan anak (metro.sindonews.com). Belum lepas ingatan publik terhadap kematian Angeline di Bali akibat pembunuhan sadis yang dilakukan ibu angkatnya, publik kembali dikagetkan dengan penemuan sesosok mayat anak perempuan berusia sembilan tahun yang dibungkus kardus di bawah jembatan Sahabat, Kalideres, Jakarta Barat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat hingg april 2015, kasus kekerasan anak berumlah 6006 kasus. Jumlah ini meningkat tajam dibandingkan tahun- tahun sebelumnya. Dari 6006 kasus ini, sebanyak 3160 kasus kekerasan terhadap anak terkait pengasuhan, 1764 terkait pendidikan, 1366 terkait kesehatan dan NAPZA, dan 1032 disebabkan oleh cyber crime dan pornografi.
Sehingga wajar jika Indonesia saat ini disebut sebagai darurat kekerasan terhadap anak. Kejahatan yang merajalela bisa dimulai dari kondisi ekonomi keluarga di Indonesia yang miskin. Kemiskinan akan memaksa seorang ibu akan lebih banyak berkiprah di sektor publik dan meninggalkan ranah domestiknya. Dari sini mulailah kerumitan masalah terjadi. Anak-anak banyak terabaikan oleh orangtuanya (terutama ibu). Keluarga miskin seringkali tidak mampu memberikan perhatian dan pendidikan yang cukup untuk anak. Kurang waktu untuk memberikan pengarahan pada anak, mana yang baik dan tidak baik. Bahkan cenderung menjadikan anak sebagai korban pelampiasan kekesalan orang tua.
Bisa disimpulkan masalah ini adalah sistemik. KPAI mengungkapkan bahwa rata-rata hukuman bagi para pelaku kekerasan terhadap anak hanya sekitar lima tahun, belum pernah ada yang lebih dari 5 tahun. Karena lemahnya hukuman yang selama ini dijalankan,ada wacana hukuman kebiri dengan harapan akan memberikan efek jera bagi pelakunya. Tapi apakah bisa menjadi solusi tuntas bagi masalah ini? Sementara masalah kemiskinan, pendidikan anak, pornografi, dan segudang masalah lainnya tidak diselesaikan. Oleh karena itu perlu solusi yang mengakar untuk menyelesaikan masalah ini.
Dalam hal ini perlu kita garis bawahi beberapa pihak yang memegang peran penting dalam menyelesaikan masalah kekerasan seksual terhadap anak :
- Keluarga
Keluarga memgang peran penting dalam mengawasi dan mendidik anak, terutama seorang ibu. Ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi para buah hatinya. Ibu adalah peletak dasar jiwa kepemimpinan pada anak. Ibu mempersiapkan anak menjadi generasi pejuang. Termasuk didalamnya fungsi penjagaan, anak harus diberitahu mana yang boleh dan tidak, mensikapi orang asing yang belum dikenal, apa saja yang harus dihindari bila bertemu orang yang belum dikenal. Termasuk dalam hal ini adalah menjaga auratnya ketika keluar rumah, kepada siapa saja aurat boleh dilihat dan dijaga. Pemahaman tentang ini senantiasa diulang-ulang oleh ibu agar anak menjadi paham.
- Masyarakat yang terjaga ketakwaan dan keimanannya
Bukan hal yang mudah di jaman kapitalis saat ini untuk menanamkan nilai ketakwaan dan keimanan dalam masyarakat. Banyak hal yang mempengaruhi pembentukan ketakwaan dalam masyarakat. Bisa kita pastikan ketakwaan dan keimanan yang terjaga akan mencegah anggota masyarakat untuk melakukan kemaksiatan. Seorang pedofil akan berpikir ribuan kali untuk melakukan aksinya, jika disekitarnya terjaga suasana amar makruf nahi munkar. Bahkan bisa jadi tidak akan ada pedofil, karena memang tidak ada faktor pemicu terbentuknya penyimpangan seksual seperti ini. Tidak ada pornografi yang dipertontonkan di media manapun, masyarakat akan merasa tenang dengan suasana keimanan seperti ini.
- Peran negara yang menerapkan aturan dan sangsi tegas untuk para pelaku
Negara memiliki peran penting dalam menjaga suasana keimanan dan ketakwaan masyarakat. Negara akan menerapkan sangsi tegas terhadap pelaku kriminal. Hukuman penjara lima tahun tidak akan mampu membuat jera pelakunya.
Hanya dalam sistem Islam yang mampu menjaga dan mengayomi warga negaranya. Tidak akan dibiarkan satu warga negaranya pun yang mengalami kekerasan apalagi sampai merengang nyawa. Lewat pemberian lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi para laki-laki, sehingga para perempuan fokus menjalankan fungsinya sebagai ibu dan pengatur rumahnya. Dan lewat penjagaan keimanan dan ketakwaan di masyarakat serta sistem sangsi yang membuat jera pelakunya. Wallohua’lam bishowab. [RN]
Penulis, Nia Amalia
(Ibu rumah tangga, Tulungagung, Jawatimur).