BOGOR, (Panjimas.com) – ‘’Manfaat dari ubi kayu atau singkong ini tidak saja hanya untuk direbus dan digoreng. Singkong juga bisa diolah jadi bioetanol, bahan pembuatan plastik biodegradable, pemutih kertas, dan minyak goreng.’’
Demikian pemaparan Ketua Masyarakat Singkong Indonesia , Dr Thamrin Chaniago Jamin, dalam Liqa Syawal Pengurus Besar Serikat Tani Islam Indonesia (PB STII) di Kampus Fakultas Politeknik IPB Darmaga, Bogor, Jumat (29/7).
Liqa Syawal atau halal bihalal dihadiri Ketua Umum PB STII Dr Abdullah Puteh beserta Sekjen Faturrahman Mahfudz dan pengurus harian lainnya serta Direktur Eksekutif LAZIS Dewan Dakwah H Ade Salamun MA.
Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia di bawah Menteri Anton Apriyantono, melalui Badan Ketahanan Pangan menetapkan 2014 sebagai ‘’Tahun Singkong’’.
Menurut Menteri Anton kala itu, pada tahun 2014 areal tanaman singkong lebih dari 1,06 juta hektar. Hingga Juli 2014, produktivitasnya sekitar 20 ton per hektar.
Potensi genetik singkong di Indonesia termasuk tinggi, rata-rata di atas 30-40 ton per hektar. Bahkan produktivitas singkong gajah di Kalimantan Timur bisa mencapai 120-140 ton per hektar. Pemerintah menargetkan produksi singkong pada 2014 mencapai 27,6 juta ton dengan luas lahan tanaman 1,5 juta hektare.
Saat ini, Indonesia termasuk dari 3 (tiga) negara penghasil singkong terbesar di dunia.
Namun, Badan Pusat Statistik mencatat Indonesia masih mengimpor singkong. Impor singkong pada Maret 2016 mencapai 987,5 ton atau senilai US$ 191.093. Impor singkong mayoritas didatangkan dari Vietnam.
Atas fenomena ini, Kementan menjelaskan, “Adanya impor ubi kayu terjadi pada bulan Januari-Maret disebabkan pola produksi bulan tersebut rendah,” tulis Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Kamis (21/4/2016).
Penyebab impor lainnya bukan karena kekurangan produksi, tetapi produk ubi kayu nasional belum semuanya memiliki standar kualitas Hazard Analysis Critical Control Point Specification.
Oleh karena itu, PB STII mendesak pemerintah untuk lebih serius membudidayakan singkong untuk kepentingan industri strategis. Singkong jangan hanya sebatas untuk kepentingan program nasional gerakan diversifikasi pangan (pengganti nasi).
Menurut Ketua Umum PB STII Abdullah Puteh dalam Mukernas STII dan Workshop bertema ‘‘Revolusi Pertanian: Tingkatkan Kesejahteraan Petani Menuju Kedaulatan Pangan dan Pembangunan Bangsa’’ pada 27 November 2015 di Pandeglang, Banten, pemerintah belum cukup berpihak kepada pertanian.
Ia mencontohkan, dalam APBN 2016 dari sektor pertanian teralokasi Rp 38 triliun. Meski terlihat besar, tapi kenyataannya jika dibandingkan dengan total APBN sebesar Rp 2000 triliun maka tidak sampai dua persen anggaran untuk pertanian.
‘’Ini sangat kecil. Jelas menandakan pemerintah belum berpihak kepada petani. Meski saya menghormati pemerintahan Jokowi-JK tapi masih kurang sekali keberpihakan kepada masyarakat petaninya,” ujar Abdullah Puteh waktu itu.
Mantan Gubernur Aceh itu terpilih sebagai Ketua PB STII periode 2015-2020 dalam Muktamar IV STII di Cianjur, 13 Desember 2014. Muktamar diikuti perwakilan pengurus dari 22 provinsi dan 65 cabang di seluruh Indonesia.
Program besar STII adalah: Mempersiapkan bibit unggul dengan harga murah; Mensosialisasikan koperasi Kelompok Tani; Membantu Petani untuk memperoleh hak atas sertifikat tanah milik mereka; Melakukan pelatihan-pelatihan singkat dan cepat; Menjembatani Kelompok-Kelompok Tani untuk mempunyai akses permodalan dan pasar, sehingga dapat memperoleh akses bagi modal usaha dan pintu bagi tersedianya pasar.
Selain itu, STII bersama para stakeholder sedang berupaya menyusun Blueprint Pertanian Regional untuk mempercepat kemajuan wilayah pertanian sesuai kondisi dan potensi lokal. [RN]