KRITIK ATAS PERNYATAAN KAPOLRI BARU TITO KARNAVIAN TERHADAP PEMAKAMAN JENAZAH SANTOSO
Oleh Dr H Amir Mahmud, M.Ag
( Direktur Amir Institute, dibidang riset dan kajian Islam fundamentalisme)
SECERAH PANDANGAN
Jika benar pemeberitaan melalui media sosial Kapolri Tito Karnavian, menginstruksikan kepada bawahannya terkait pemakaman Jenazah santoso dengan mengatakan “agar tidak boleh gaduh dan digelar secara heroik, dan juga menghimbau kepada masyarakat agar tidak menyambut jenazah santoso sebagai layaknya seorang pahlawan meningat santoso adalah seorang penjahat” maka penulis sangat menyayangkan dengan sikap Kapolri sebagai pucuk pemimpin (public figure) dalam penanganan penegakkan hukum dengan tidak melihat aspek secara kultur dan kearifan lokal. Meskipun saya memahami bahwa suatu kewajaran dalam kepemimpinan bila seorang pemimpin melakukan kesalahan, meskipun itu bukanlah suatu keinginan yang dipersiapkan untuk salah, namun pula tentunya tidak menjadi kesengajaan yang terus berulang.
HUKUM DAN ASPEK SUBTANSIAL
Wilson, Mengingatkan bahwa: “The only man who never makes a mastake is the one who never does anything” (hanya orang yang tidak pernah berbuat saja yang yang tidak melakukan kesalahan). Dari pandangan tersebut diatas penulis mengatakan bahwa polisi, sangat dekat dengan karakter hukum sebagai orientasi implementasinya.
Dan hukum menurut pandangan penulis tidak sama sekali memiliki keberpihakan kecuali pada kebenaran, kepastian dan keadilan. Dan kebenaran merupakan orientasi keberpihakan hukum untuk menjaga independensi objektifnya. Ketika pelaku hukum lebih mengedepankan subyektifitas dalam berperilaku hukum, maka keberpihakan subyektif telah terjadi dan tentunya telah terjadi penegakan hukum tidak lagi independen dan yang lebih berbahaya lagi adalah hukum telah dimanfaatkan untuk sebuah kepentingan-kepentingan subyektif, jelasnya adalah berpihak kepada kepentingan diluar hukum.
Pada obsesi inilah penulis menyaksikan di berbagai proses aparat negara dalam menangani sebuah perkara yang dianggap sesuatu yang mengancam negara yang diklaim kepada satu kelompok maupun personal seperti Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, kelompok Santoso, serta lainnya yang pada tingkat “action low” tidak sebanding dengan mereka yang kita lihat dalam catatan sejarah lepasnya Timor Timur dengan tokohnya, serta Papua yang telah bersenjata dengan membakar bendera, serta peristiwa kejahatan lainnya yang dilakukan pada kelompok lain.
Melaui tulisan ini, penulis membidangi dalam dunia riset memberikan kritikan tegas kepada Kapolri Tito Karnavian, bahwa kepolisian adalah ekspresi dari sebuah keadaban hukum, yang menjadikan panutan dalam etika kemasyarakatan, menjunjung tinggi hak-hak asasi yang selayaknya dijunjung tinggi dan dihargai. Hemat penulis bahwa hukum itu pro kepada kemanusiaan. Bukan mengajak kepada semakin terciptanya konflik horizontal sebagaimana yang selama ini penulis cermati. Pernyataan Kapolri Tito Karnavian (pada pendahuluan di atas) terhadap seorang yang sudah meninggal dunia seperti Santoso, bukankah beliau sudah meninggal, dan dalam ajaran Islam seorang yang meninggal sudah seharusnya diperlakukan dengan hikmat? Okelah jika perkara Santoso dahulunya adalah seorang yang telah dinyatakan pelanggaran berat dalam hukum Negara ini lalu, apakah bagi seorang yang sudah meninggal harus dijatuhkan sangsi hukum? Di negeri yang mengakui berketuhanan? Di negeri jiran saja bagi seorang yang dinyatakan teroris internasional seperti Nurdin M Top, polisi hanya dalam sebatas mengawasi dan mengawal dengan tidak ada statemen apapun. Polisi merupakan personal hukum, yang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, yang menghargai hak-hak untuk dilindungi, untuk dihormati, karena dari sisi pandangan religi, merupakan perangkat kedamaian, apalagi sebagai bagian dari masyarakat.
SARAN
Sebagai penutup penulis hanya memberikan sumbangsih saran kepada Kapolri baru Tito Karnavian, untuk senantiasa mengedepankan kepedulian kepada lingkungan secara proporsonal dan profesional, pemimpin bukan figure bagi dirinya sendiri tetapi menjadi karakter bagi orang banyak atau public kultur ” you make a living by what your get, you make a life by what you give”
Seburuk apapun seseorang dalam melakukan kejahatan kemudian dia meninggal dunia sebatas itupula Agama mengajarkan untuk dikunjungi, dimandikan dikafani dan disolatkan sampai dihantarkan kepada liang lahat dan didoakan. Kita tahu persis siapa Santoso terlepas apa yang dilakukan sebelumnya. Namun janganlah pula untuk mudah memberikan statemen yang menimbulkan terciptanya gejolak memanas ditengah hiruk pikuknya tentang meninggalnya seorang yang ditakuti dan dicari oleh Amerika sementara sesungguhnya keluarga, masyarakat dalam keadaan berduka. Cukuplah hanya sebatas pengawalan , biarlah teriakan heroik itu bersuara dalam iringan jenazah toh masyarakat sudah faham dan sangat cerdas, selepas itu silahkan adakan pengembangan suvei dan analisis. Bayangkan saja jika yang para pelayat (ta’ziah) kesana menghadiri pemakaman Santoso atau siapa saja yang dianggap sebagai tindakan terorisme, dianggap sebagai kelompoknya. Ini akan menumbuhkan sesuatu yang kita tidak inginkan dalam segi hukum.