(Panjimas.com) – Umat Islam diselimuti oleh sesuatu yang membuatnya takut untuk berpikir dengan cara pandangnya sendiri. Umat Islam stagnan, mundur dari peradaban. Siapa yang mampu membawa umat kembali menyusun peradabannya? Peradaban Islam dengan karakter khasnya, dengan kota-kotanya, dengan ilmu pengetahuannya yang tak bebas nilai, dan dengan solidaritasnya yang kini memudar.j
Pemikiran Dunia Muslim yang Hilang
Kita perlu bertanya, kekuatan apa yang membuat muslim takut menghidupkan kembali gagasan-gagasan peradaban yang Islamis. Pun perlu bertanya, kemana perginya kreativitas dunia muslim yang dulu melahirkan banyak pengetahuan. Kita tidak sedang berbicara tentang negara Islam, tetapi peradaban Islam yang dapat hidup di negara-negara demokrasi, bahkan ia sekaligus bersifat internasional, melintasi batas-batas teritori.
Adanya perlu diingatkan kembali bahwa dunia muslim pernah memiliki cendekiawan-cendekiawan yang amat cemerlang, yang karya-karyanya masih dapat kita nikmati hingga saat ini. Karya mereka menjadi topik di kajian-kajian keilmuan, bahan tulisan para mashasiswa, dan menjadi ikon serta nama berbagai organisasi, yayasan, persatuan, dan bisnis. Cendekiawan-cendekiawan tersebut berasal mulai dari pusat peradaban Islam di Damaskus, Mekah, Madinah, Irak, Iran, Maroko, negara-negara di Afrika Utara, Asia Selatan, Indonesia, hinga Eropa. Mereka tidak hanya dikenal dengan sebutan cendekiawan Persia, cendekiawan Pakistan, cendekiawan Indonesia, atau cendekiawan Spanyol, tetapi juga cendekiawan muslim. Ini mengartikan bahwa apapun kewarga-negaraan Anda, Anda tetap dapat berkontribusi membangun peradaban Islam dengan karya-karya Anda.
Di abad milenial ini, tidakkah kita merasakan matinya kreativitas dalam pemikiran dunia Islam? Belum ada yang mampu menyamai karya-karya Ibn Taimiyyah, Al Ghazali, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Rasyid Ridha, Ali Syari’ati, Muhammad Iqbal, Muhammad ‘Abduh, Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, dan cendekiawan muslim lainnya. Kebanyakan pada saat ini merupakan pemikir pemamah, bukan pemikir produsen yang menciptakan sesuatu yang segar, yang mampu menjembatani clash pemikiran antara yang liberal dengan yang tradisional. Generasi muda seperti tak mampu berpikir independen, ketakutan dicap liberal oleh kelompok fundamental, dan ketakutan dicap “pertengahan” oleh kelompok liberal. Umat seperti sedang diadu domba oleh sesuatu yang entah apa namanya.
Memang dalam sejarah Islam, banyaknya aliran pemikiran merupakan sesuatu yang tidak asing. Kita tentu menyaksikan dalam buku-buku sejarah pemikiran Islam mengenai persaingan pemikiran antara Khawarij, Mu’tazilah, Sunnah wa jama’ah, dan pembenaran atas paham qadariyyah dan jabariyyah yang telah mengakibatkan munculnya hadist-hadist palsu. Namun pertanyaannya, akankah perbedaan itu mampu membangun peradaban intelektual Islam, atau justru menimbulkan kebingungan dan kerusakan dalam tubuh umat?
Materialisme yang Mematikan
Islam seperti agama lainnya, seharusnya mampu memberikan elan vital bagi penganutnya untuk mewujudkan masyarakat yang harmonis dan meminimalisir tingkat kemiskinan. Di Amerika Serikat, etika kerja keras protestan menyumbangkan karakter bangsa yang berhasil membangun negara itumenjadi The Big America. Lalu, mungkinkah semangat solidaritas dan prinsip keadilan sosialyang begitu kental dalam Islam, bekerja menjadi nilai yang mampu meminimalisir kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim?
Materialisme kian menjangkit masyarakat dunia, dan dalam hal ini, umat Islam, khususnya di Indonesia. Muslim tidak lagi menghayati ruh dari pesan Nabi. Umat terjebak pada pandangan materialisme yang sempit dan utilitarianisme dalam beragama. Pernahkah kita berpikir bahwa tingkat kriminalitas dan bunuh diri di suatu negara berbanding lurus dengan ketidak pedulian kita terhadap sesama? Konsep pembangunan kota-kota Barat yang diadopsi oleh para pengembangan real estate di negara kita, telah memisahkan kelas ekonomi atas dengan ekonomi bawah. Yang kuat ekonominya terasingkan dalam lingkungan borjuis, sementara yang lemah hidup di kawasan pinggiran, bahkan kini tergusur hingga ke luar wilayah ibukota. Hal ini, jelas memperparah kepekaan kepedulian sosial, sebab orang kecil tak terlihat oleh pandangan kelas atas. Mereka terisolasi dari tanggung jawab sosial, sementara kelas menengah sibuk memenuhi kebutuhan tersier yang dipromosikan oleh iklan-iklan di televisi dan media sosial. Pada intinya, promosi materialisme telah memperparah keterasingan kelas atas dengan kelas bawah yang mengakibatkan berkurangnya kepedulian maysarakat, yang pada tahap selanjutnya, turut andil dalam peningkatan angka kriminalitas dan bunuh diri.
Keadilan sosial dalam Islam bukan berarti masyarakat sosialis yang merata dalam kamus sosialisme. Akan tetapi, terletak pada distribusi zakat harta sebesar 2,5% yang tidak memberatkan pihak mana pun. Akumulasi zakat harta ini kemudian dibagikan secara merata kepada yang berhak menerima, untuk memberikan mereka lapangan usaha agar mampu berdikari secara ekonomi. Bantuan sosial dalam Islam berupa pendampingan dan pemberian kail, bukan sekadar memberikan ikan. Terlebih lagi Islam menganjurkan kesederhanaan untuk menekan sifat cemburu dan nafsu tak terkendali dari manusia. Islam tidak anti materialisme, tetapi dalam Islam, materi itu dispiritualkan, sebab segala sesuatu yang bebas nilai amat mungkin menimbulkan kekacauan.
Tidak Adanya World Class Islamic Center
Absennya pusat informasi dunia Islam telah sering dibicarakan dan menjadi diskursus yang tak kunjung selesai. Ide pembangunannya masih menjadi wacana, mungkin hingga lima tahun ke depan. Padahal, islamic center amatlah penting untuk mengintegrasikan dunia Islam, terutama warisan sejarah, informasi dan ilmu pengetahuan, guna menunjang fondasi baru peradaban Islam di abad milenial.
Mengapa World Class Islamic Center diperlukan? Pertama, dunia Islam tidak lagi memiliki pusat peradaban Islam sejak runtuhnya Dinasti Ustmaniyyah di Turki. Adanya islamic center akan menjadi pertemuan para cendekiawan muslim dunia untuk menyusun kembali kreativitas peradaban Islam. Kedua, islamic center yang dilengkapi dengan perpustakaan yang menampung seluruh koleksi karya intelektual dari seluruh peradaban Islam dan laboratorium sains dapat berfungsi sebagai pusat penelitian yang hasilnya dapat dimanfaatkan di negeri-negeri muslim. Ketiga, islamic center perlu memiliki media pers internasional yang profesional dan kredibel agar umat tidak lagi terporovokasi oleh berita-berita yang tidak jelas kebenarannya di media sosial. Adapun media itu sekaligus berguna untuk mengadvokasi berbagai permasalahan dalam dunia Islamdan membangun citra Islam yang berwibawa. Umat harus menuliskan kisahnya sendiri—tentu saja tanpa justifikasi berlebihan seperti yang banyak dilakukan oleh media Islam selama ini—sebagai bentuk dialog untuk meminimalisir bahkan menghilangkan mispersepsi dan miskonsepsi dunia Barat terhadap Islam. Umat berhak menentukan posisinya dalam peristiwa-peristiwa yang melibatkan dirinya.
Tentara Islam Multinasional, Perlukah?
Mungkin banyak yang “ngeri” dengan ide tentara kesatuan dunia muslim, tapi saya berani mengatakan bahwa tanpa itu, muslim tidak akan mendapatkan kembali penghargaan atas dirinya. Muslim tidak bisa mengadvokasi pelanggaran-pelanggaran HAM atas dirinya. Sebab, satu hal, jika tentara ineternasional PBB memang peduli atas hak asasi manusia tanpa memandang agama dan bangsa, permasalahan lebih dari setengah abad Palestina serta konflik timur tengah pastilah sudah selesai.
Saya setuju dengan Muhammad Iqbal, cendekiawan muslim dari Pakistan, yang mengatakan bahwa muslim tidak perlu meminta bantuan kelompok lain untuk menangani krisisnya sendiri. Sebab ia punya kekuatan untuk mengatasinya sendiri. Akan tetapi, muslim dibuat lupa pada kekuatannya. Muslim dibuat berpikir, oleh entah siapa, bahwa sekarang ini tidak diperlukan kekuatan bersama untuk melindungi kepentingan muslim—ingat bantuan negara-negara muslim atas pengakuan kedaulatan dan ekonomi ketika NKRI berdiri pada 1945. Ingat pula krisis kemanusiaan di Kashmir, Bosnia, Palestina, dan Afghanistan, yang semuanya pernah melibatkan pembelaan tentara Islam multinasional.
Saya tidak sedang berbicara bahwa umat Islam sedang diserang oleh zionisme atau sesuatu yang disebut dalam teori kosnpirasi. Saya tidak sedang berbicara mengenai musuh bersama, tetapi konsolidasi kekuatan dunia muslim MUTLAK dibutuhkan. Umat tidak akan menggunakan tentara multinasionalnya untuk menyerang negara lain, sebab Islam kita bermartabat. Prinsip peperangan dalam Islam pada dasarnya adalah defensif, yakni untuk mempertahankan diri sendiri. Jihad dalam Islam pun menempatkan perang dan kekerasan dalam wilayah moral. Tentara muslim dilarang untuk: (1) membunuh anak kecil, wanita, dan lanjut usia; (2) melakukan pengkhianatan; (3) merusak tubuh orang yang sudah meninggal; (4) membunuh rekan-rekan musuh; (5) merusak tanaman, terutama yang berbuah, dan (6) membunuh orang yang mengabdikan hidupnya dalam kerahiban. Hal ini pun tentu tidak bertetangan dengan hukum HAM internasional yang menyatakan bahwa siapa pun berhak mempertahankan dirinya sendiri dari penyerangan yang mengusir mereka dari rumah mereka sendiri.
Sebuah Penutup
Islam bukanlah kekuatan yang harus ditakuti oleh dunia internasional. Adalah tugas kita, untuk membangun peradaban Islam yang intelek, berwibawa, dan mencintai perdamaian. Umat harus mulai menunjukkan cahaya agamanya yang selama ini tertutup oleh titik-titik hitam dari mereka yang salah menafsirkan Islam dengan melakukan terorisme atas nama agama. Islam tak melulu soal ibadah, sebab dalam peradaban, spiritualisme pun memerlukan materialime untuk menunjukkan manfaatnya. Seperti perintah shalat yang secara tidak langsung mengharuskan kita perlu membangun jaringan air bersih dan tempat peribadatan yang membutuhkan ilmu konstruksi.
Sifat peradaban adalah linier. Beberapa mode berulang, tetapi mampukah Islam menjawab tantangan? Mampukah Islam membangun kembali peradabannya dengan cara yang berbeda dari ratusan tahun yang lalu? Pun, mampukah Islam mewujudkan solidaritasnya, yang kini tergerus oleh berbagai cara pandang yang melupakan misi Islam.
Penulis, Amalia Salabi
Peneliti kajian ilmu-ilmu Islam Yayasan Studi Islam Shalahuddin Al Ayyubi dan Presiden GIMI (Gerakan Intelektual Muda Indonesia)