Oleh: H. Soenarwoto Prono Leksono (Penulis tinggal di Madiun, Jawa Timur)
Menjelang Ramadan 1437 H, pecinta olahraga tinju dan umat muslim di seluruh dunia, berkabung. Muhammad Ali, petinju legendaris yang pernah beberapa kali sebagai juara dunia kelas berat itu, berpulang keharibaan-Nya. Meninggal dunia. Innalillahi wainaillaihi rajiun.
Ali, panggilan Muhammad Ali, boleh saja telah tiada. Namun, banyak hal yang masih bisa dipetik dari kehidupan Ali. Bagi saya, setidaknya, dalam bulan puasa ini sosok Ali bisa menjadi bahan bertafakur. Renungan. Ali seorang petinju yang cerdas; intelektualitasnya dan spiritualitasnya. Untuk dimensi ini, menurut saya, belum ada petinju yang menandinginya.
Di atas ring, Ali tidak hanya menyuguhkan pukulan-pukulan dahsyatnya yang kerap membuat lawannya terjengkang dan KO, tapi juga memperagakan seni tinju berkualitas tinggi. Ia mampu menyenangkan penontonnya. Ali suka berlari dan menari, memeragakan gaya hit and run, yang tidak mengandalkan otot dan okol belaka.
Ali seperti kumbang jika bertanding. Cepat maju menyengat, mundur pelan menghindar, berjingkat tumitnya mengambang seperti kumbang sedang terbang menghisap sari bunga. Pokoknya, asyik sekali gaya bertinju Ali. Saya menyukainya.
Ali sangat riligius. Ini yang membuat saya lebih kagum lagi. Proses dalam memeluk Islam cukup menggetarkan. Muhammad Ali yang punya nama lahir Cassius Marchellus Clay itu, ayahnya adalah seorang pelukis mural pada sebuah gereja dikampungnya, Kentucky, Amerika Serikat.
Untuk berpindah agama, tentu, bukan perkara gampang. Perlu proses panjang dan dalam. Tidak seperti kita memeluk Islam dari hasil “warisan” orang tua. Enak. Tapi, Ali ada perseteruan dulu dengan orang tuanya. Itu belum lagi menghadapi masyarakat di sekelilingnya yang mayoritas non-muslim.
Meski begitu, Ali tetap memeluk Islam, yang diyakini sebagai “agama pembebasan” bagi dirinya. Islam adalah petunjuk keselamatan dunia akhirat. Dan, Ali bukan sekadar “Islam KTP” dalam memeluk Islam. Ia benar-benar memeluknya dengan taat; menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Subhanallah.
Semasih muda, konon Ali giat sebagai aktivis anti-rasialis. Ia kerap ikut berdemo menentang keras kesewenang-wenangan dan penindasan oleh bangsa kulit putih terhadap kulit hitam di negerinya. Ali juga berani mbalelo terhadap pemerintahnya (AS); menolak wajib militer di Vietnam. Ia memilih dijebloskan ke dalam penjara daripada ikut berperang.
Dari semua itu, yang membuat saya takjub adalah ketaqwaannya dalam menjalani galur hidupnya. Ini yang mungkin tidak di-blow upatau diulas mendalam oleh media massa (cetak maupun elektronik). Syahdan, pada suatu hari setelah bertinju Ali mendapat pertanyaan dari seorang anak kecil; apa yang akan kau lakukan setelah pensiun dari bertinju?
Muhammad Ali mengatakan,”Hidup ini singkat. Berapa tahun kau habiskan untuk tidur, untuk bersekolah, melakukan perjalanan, bekerja, menonton film, televisi, berolahraga dan lain-lain. Ketika kau sibuk kerja, mengurus keluarga dan anak-anakmu, tahu-tahu usiamu menjelang 60 tahun.”
Padahal, menurut Ali, semua yang kau lakukan itu bukan milikmu. “Aku pernah bercerai. Keempat anakku kini memanggil bapak pada lelaki lain, dan mereka tak pernah mengunjungiku lagi. Anak dan istrimu bukanlah milikmu,” ucap Ali dan para penonton yang tersorot kamera sontak terlihat terkesima.
Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah pensiun? “Get ready to meet God. Bersiap menemui Tuhan. Kita semua akan mati, kapan pun tanpa kita tahu saatnya. Tuhan mungkin tidak peduli aku mengalahkan Joe Frazier atau George Foreman. Tuhan hanya ingin melihat apa yang aku lakukan pada sesama,” ucap Ali.
Yang terpenting dalam hidup ini, kata Ali, adalah ketika kita mati. Setelah mati nanti, apakah kita masuk surga atau neraka. “Aku begitu takut masuk neraka. Mungkin saja aku membunuh atau merampok orang. Polisi barangkali tak dapat menangkapku, tapi ketika aku mati ada yang mencatat semua perbuatanku, dan aku tak bisa mengelak.”
Jadi apa yang akan kau lakukan? “Bersiap menemui Tuhan, dan berharap masuk ke surga-Nya,” jawab Ali seakan ingin mengejawentahkan hadis ini; ingatlah kamu selalu akan kematian, karena itu yang bisa mendekatkanmu kepada Allah. Dan secerdas-cerdas umatku, adalah mereka yang selalu ingat kematian dan mempersiapkan bekalnya.
Uraian di atas itu dikatakan Muhammad Ali pada saat usianya baru 35 tahun, ketika masih pada puncak kejayaannya dalam bertinju. Dan ketika mulai terkena penyakit parkinson Ali berkata, “Hidup ini ilusi. Aku menaklukkan dunia, tapi tak membuatku puas. Tuhan memberikan penyakit ini, untuk mengingatkanku, bahwa aku bukanlah nomer satu melainkan DIA. Allahu Akbar. [AW/ROL]
[su_youtube url=”https://youtu.be/O9WGPVHVsi0″]