BANDUNG, (Panjimas.com) – Ramadhan, tiga belas tahun lalu, 2003. Momen itu serupa gong besar yang terus mendengungkan azam kuat Sinergi Foundation (SF) untuk tak terus berbagi manfaat. Di bidang kesehatan, salah satunya. Ima Rachmalia, direktur program saat itu, meluncurkan program bea bebas bersalin bagi kaum dhuafa.
Program ini seakan menjadi jawaban, atas kasus-kasus tersanderanya bayi mungil tanpa dosa lantaran ibu-bapaknya tak mampu menebus biaya persalinan. Membantu para ibu, yang tak sempat memancarkan pendar kasih sayang di awal kelahiran sang buah hati. Bekerjasama dengan RS Al- Islam Awibitung, saat itu ada sekira 40 ibu penerima manfaat.
Sekian kasus itu, ditambah dengan animo para dhuafa yang besar, mengetuk hati Ima. Terbersit di hatinya, sebuah keinginan membuat sebuah klinik kesehatan. Bukan klinik biasa, namun klinik yang khusus menangani persalinan.
Hingga suatu hari, terjadi sebuah peristiwa tak terlupakan. Peristiwa yang membekas di sanubari para pelakunya, hingga menguatkan azam mereka untuk semakin serius mengkhidmatkan diri melayani istri-istri orang pinggiran yang tengah mengandung.
Siang itu, sebuah becak menghentikan lajunya di muka kantor SF di Jalan Pasir Kaliki 143, Bandung. Di dalamnya, seorang wanita terkulai lemah, meringis menahan sakit karena goncangan laju becak. Perutnya besar, membuncit tanda hamil tua. Tertatih-tatih, ia menghampiri petugas SF di front office.
Maka, dijelaskannya tujuan ia datang. Ia memohon, agar dibantu mencari tahu keberadaan suaminya yang telah lama merantau. Di pertengahan kalimatnya, wanita tersebut tiba-tiba mengalami kontraksi. Nyeri, lantaran kontraksi itu semakin kuat.
Singkat cerita, dipapahlah ia ke mushola kantor. Dengan waktu yang kian sempit, dua orang bidan yang siap bertugas sebagai relawan medis didatangkan. Dibantunya persalinan wanita tersebut. Bekerjasama, bahu membahu memenuhi keperluan kelahiran. Dinding mushola, tahun 2003 kala itu, menjadi saksi bisu lahirnya bayi mungil di satu sudutnya.
Peristiwa itu memantik para pegiat sosial di SF untuk membuat sebuah program, solusi para dhuafa yang hendak melahirkan. Gagasan terus menggelinding, bak bola salju yang kian membesar, menggelinding tak terbendung. Gagasan yang mengerucut pada satu tekad untuk merintis sebuah institusi kesehatan ibu dan anak bebas biaya, bagi mereka yang papa. Dengan begitu, biaya per satu persalinan bisa ditekan sedemikian rupa, sehingga berefek pada semakin banyaknya para ibu hamil kalangan marjinal yang bisa bersalin selayak sesamanya.
Dari sanalah Rumah Bersalin Cuma-Cuma (RBC) bermula. 11 Oktober 2004, resmi sebuah rumah di bilangan Bojongraya Holis disewa. Embrio yang pada perjalanannya kemudian menjadi program kesehatan unggulan SF.
***
Tahun demi tahun berganti. Dalam perkembangannya, RBC tak lagi mendiami rumah kontrakan. Seorang donatur menawarkan sebidang tanah wakaf seluas 1.400 m2 untuk dikelola sebagai lahan permanen oleh RBC. Hingga pada tahun 2007, bangunan RBC di Jl. Holis No. 448A, senilai 1.7 miliar yang dibangun dari dana wakaf masyarakat, siap digunakan.
Pada mulanya, bukan hal mudah meyakinkan khalayak. Tentu, di awal kemunculannya, warga dhuafa mengira RBC adalah program yang sama seperti sebelumnya: berhenti membantu setelah mendapat yang diinginkan dari para dhuafa. Bahkan, mereka dinilai tak akan profesional, berpotensi membeda-bedakan layanan, lantaran yang dilayani adalah warga tak mampu.
“Pada dasarnya karena ketidaktahuan masyarakat saja. Pada akhirnya, mereka sadar bahwa RBC murni ingin membantu. Bahkan tak sedikit diantaranya yang lantas mengakui bahwa RBC melayani dengan prima,” katanya.
Kini, RBC telah melayani 6.772 persalinan, dari jumlah member yang terverifikasi layak menerima manfaat mencapai 7.570 ibu hamil. Mayoritas dari mereka bersuami jobless, tak punya pekerjaan tetap alias serabutan. Sebagian lagi, adalah para pekerja level bawah, semisal buruh pabrik, atau tenaga pengamanan.
Tentu adalah tantangan sendiri menghadapi ibu hamil dengan segala keterbatasannya. Di tengah himpitan ekonomi, pengetahuan yang cukup ihwal gizi atau parenting tentu adalah sesuatu yang teramat mahal, bahkan boleh jadi tak terpikirkan. Menanggapi ini, Ima menilai RBC tak bisa hanya bergerak di program kuratif saja. Program-program preventif pun harus digalakkan.
Para member ini, kemudian diedukasi dengan ilmu-ilmu seputar gizi. RBC kerap merekomendasikan makanan-makanan kaya vitamin yang bisa mereka konsumsi. Tak harus mahal tentu, cukup dari bahan yang terjangkau. Mereka juga dibekali dengan vitamin-vitamin untuk ketahanan tubuh selama masa kehamilan.
Sosialisasi Luaskan Jangkauan
Untuk memperluas jangkauan, selain sosialisasi di sekitar wilayah operasi, RBC kerap menyapa warga di desa-desa pelosok di wilayah Bandung Raya. Menurut salah seorang bidan pelaksana RBC, Dini Septianasari, selain sosialisasi, RBC menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan konsultasi dan pemeriksaan kehamilan (ANC Mobile) secara gratis bagi warga setempat.
Selain itu, RBC pun rutin mengudara di radio Kandaga AM 810 KHz, Bandung, untuk menyampaikan program layanan dan materi-materi menarik seputar parenting.
Dengan semakin banyaknya manfaat yang disebar pada masyarakat Dhuafa, Ima berharap RBC bisa terus meningkatkan layanan. Alhamdulillah, saat ini RBC telah berstatus menjadi klinik pratama. Optimalisasi layanan, terkhusus masalah rujukan, sangat diperlukan sebagai langkah-langkah awal mengubah statusnya menjadi klinik utama.
“Kami ingin terus meningkatkan layanan. Layanan yang harus prima, namun tetap cuma-cuma bagi para dhuafa. Karena RBC berkomitmen sejak awal akan melayani kalangan lemah sampai selesai,” pungkas Ima. [RN]