(Panjimas.com) – Media Kompas melakukan “gebrakan” di momen Ramadhan ini. Media yang memiliki pangsa pasar Muslim ini memainkan isu yang cukup kontroversial. Yakni tentang sebuah warteg yang dirazia Satpol PP lantaran buka di siang hari Ramadhan. Kompas merekam aksi razia tersebut hingga memperoleh gambar yang cukup dramatis. Ibu Saeni sang pemilik warteg terlihat menangis akibat tindakan Satpol PP tersebut.
Kompas berhasil mengembangkan berita ini hingga pada isu intoleransi dan deregulasi Peraturan Daerah (Perda) di Serang Banten. Bahkan lebih itu, pemerintah segera merespon peristiwa itu dengan berencana melakukan penghapusan terhadap Perda yang dinilai intoleransi di seluruh Indonesia.
Menurut Robert Etman, framing adalah proses seleksi di berbagai aspek realitas sehingga aspek tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lainnya. Ia juga menyatakan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi lainnya. (Eriyanto, 67-68)
Analisis Framing secara sederhana melihat proses seleksi dan penekanan suatu peristiwa (realitas). Manusia terbatas kemampuan otak dan memorinya. Ia hanya melihat sisi tertentu saja dari realitas yang kompleks. Dalam media, framing tersebut terjadi ketika wartawan hanya memilih sisi tertentu saja dari suatu peristiwa. Karena berbagai penyebab (bisa karena keterbatasan waktu, kepentingan, dsb), peristiwa yang kompleks dipilih dari sisi dan sudut tertentu saja. Lalu fakta yang telah dipilih tersebut ditekankan (lewat kata, kalimat, foto dsb) sehingga bagian yang dipilih tersebut menjadi menonjol.
Robert Etnman, guru besar komunikasi pada School of Media and Public Affairs, George Washington University, membuat suatu model untuk membedah atau menganalisis bingkai (frame) dari suatu berita. Model yang dibuat oleh Entman ini adalah salah satu yang populer dan banyak dipakai. Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk kepada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dari suatu berita untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diberitakan.
Menurut teori Robert Etnman, untuk membuktikan sebuah framing pemberitaan diperlukan adanya defenisi masalah (define problem), sumber masalah (diagnose causes), keputusan moral (make moral judgment), dan penyelesaian (treatment recomendation).
Kompas berhasil mengembangkan framing berita ini dengan menonjolkan sisi dramatisasi. Ibu Saeni sang pemilik warteg terlihat menangis akibat tindakan Satpol PP tersebut. Sisi defenisi masalahnya (define problem) adalah seorang ibu pemilik warteg terkena razia Satpol PP akibat Peraturan Daerah (Perda) Serang yang dinilai diskriminasi. Sementara di pihak lain, dari sisi make moral judgment, Satpol PP diperlihatkan tengah menyita sejumlah dagangan untuk mengesankan tidak memiliki rasa kemanusiaan. Berita ini tidak melihat, apakah sang pemilik warteg bersalah atau tidak, karena kesan yang ingin ditampilkan adalah rasa kasihan penonton terhadap aksi tersebut.
Kompas.com menulis:
“Tampak ibu tersebut menangis sambil memohon kepada aparat agar dagangannya tidak diangkut. Namun tangisan ibu tersebut tak dihiraukan. Aparat tetap mengangkut barang dagangan ibu tersebut.”
Satpol PP merupakan pihak paling dipojokkan dalam kasus ini yang dalam teori Etnman disebut sumber masalah (diagnose causes). Meski sesungguhnya mereka hanya menjalankan tugas sesuai kewajibannya, dan sebagai penerapan Peraturan Daerah (Perda) Serang, namun kenyataan di media mereka disudutkan. Tidak hanya itu, mereka pun terancam dikenakan sanksi atas aksinya tersebut.
Sementara dilihat dari kaca mata treatment recomendation, Kompas sudah jelas menggiring pesan untuk mengkritisi dan mencabut Perda Ramadhan yang diberlakukan di Serang Banten. Bahkan tidak hanya itu, Perda-Perda di daerah lain yang bernuansa Islam pun diharapkan bisa dihapuskan karena dinilai intoleransi dan diskriminasi.
Kompas menulis:
“Petisi menuntut pencabutan peraturan daerah (perda) tentang larangan berjualan makanan di siang hari pada bulan Ramadhan muncul di dunia maya. Petisi ini dianggap sebagai reaksi terkait maraknya razia warung makan yang dilakukan secara represif oleh petugas satpol PP di sejumlah daerah.
Yoyon menilai, larangan berjualan di siang hari pada bulan Ramadhan tidak sesuai dengan prinsip Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.”
Dalam pemberitaan lainnya, Kompas memberitakan:
“Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo akan melihat urgensi dari perda-perda tersebut untuk dievaluasi. Ia pun mengirimkan timnya ke Serang untuk meninjau implementasi regulasi tersebut.
Karena tidak semua daerah berbuat sama. Walau mayoritas warga beragama Islam, yang penting apakah perda itu bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat,” kata Tjahjo.
Hingga saat ini, lanjut Tjahjo, Kemendagri sudah mencabut hampir 3.000 peraturan daerah (perda) yang bermasalah.
Kesimpulan tulisan ini hendak menyajikan bahwa framing pemberitaan Kompas dalam kasus razia warteg ini memiliki agenda besar, yakni penghapusan Perda-Perda bernuansa Islam di berbagai daerah di indonesia. Keberadaan Perda itu sangat mungkin menggaggu stabilitas mereka, baik dari segi ideologi, politik, maupun bisnis. Dengan demikian, posisi umat Islam akan semakin lemah, di pihak lain hegemoni kekuatan non Islam akan semakin kuat.
Penulis, Saeful Ibnu Sururi
(Pegiat Diskusi Community Of Media Research)