JAKARTA, (Panjimas.com) – Ahok bicara hukum terhadap rakyat. Di hadapan hukum rakyat kecil tak punya hak. Tapi ahok lupa, seluruh rencana tata ruang DKI selama ini melanggar hukum. Sejumlah Mal dan rumah-rumah mewah adalah hasil melanggar hukum. Persoalan Kampung Pulo menjadi polemik tersendiri terkait kebijakan Gubernur Tjahya Purnama. Berikut ini salah satu komentar yang diunggah oleh JJ Rizal seorang sejarawan Betawai yang diunggah melalui akun twitter dan di BC ke media sosial Jumat (21/8).
“Kalo Ahok konsisten gusur kampung pulo karena dianggap tinggal di lahan hijau/resapan gusur juga dong lingkungan rumahnya di pantai mutiara. Kawasan pantai mutiara itu kawasan yang 860 ha diperuntukan bagi hutan bakau dan resapan, tapi kok Ahok belaga ga tahu dan berdosa tinggal disana.” Ujarnya.
Ahok ga bakal gusur rumahnya di pantai mutiara meski melanggar peruntukan karena dia anggap itu rumah hoki dan dia ga tau sejarah ruang Jakarta. Mengapa kepada orang kecil Ahok galak sekali, sementara pada developer seperti reklamasi Pluit yang jelas-jelas merusak lingkungan hatinya baik sekali? Yang tinggal di kawasan seharusnya bukan untuk perumahan tapi dibuatkan jadi perumahan oleh developer dan diberi sertifikat itu terus dianggap legal ?
Ia menambahkan. Sutiyoso ketika banjir 2002 saja gusur dan rubuhin vilanya di puncak, masa Ahok kagak mau gusur rubuhin rumahnya di lahan resapan dan hutan bakau. Rusunawa selalu jadi alasan bahwa Ahok manusiawi, tapi apa manusiawi dari punya tanah dan rumah sendiri jadi ngontrak 5 tahun doang dan perpanjang.
Dari 2,8 ha Kampung Pulo 1,7 punya sertifikat tapi dicap penghuni liar dan harus pindah ke rusun jadi orang kontrakan, kehilangan tanah dan kampung halaman. Mengapa Ahok tutup mata perusakan lingkungan juga larangan KLH soal reklamasi pluit yang akan jadi bencana ekologi Jakarta, tapi melotot soal Kampung Pulo. Ahok bilang memihak kebenaran demi Jakarta baru.
Tapi rupanya Jakarta Baru sama dengan Orde Baru bilang atas nama hukum tapi untuk si kaya, si super kaya. Ahok tau dan orang Kampung Pulo sudah ketemu dia bawa surat legal dan konsep matang Kampung berwawasan manusia dengan air, Ahok sepakat namun kemudian berkhianat. Orang Kampung Pulo sudah ketemu Ahok didampingi kawan Ciliwung Merdeka bawa konsep hasil kerja bareng arsitek-arsitek terbaik yang disaluti Ahok, tapi kemudian.
Kalau Ahok benar bela yang benar kenapa urusan reklamasi Pluit keputusan KLH yang dimenangkan MA diabaikan, proyek rusak lingkungan dibiarin jalan.
“Ahok gusur dong rumahnya karena di lahan utan mangrove yang dijadikan hunian mewah dan akibatkan penurunan tanah, banjir rob baru bela yang benar.”
Apa Ahok sadar dan punya pengetahuan bahwa ia pun sejenis orang Kampung Pulo yang dituduh penghuni liar penyebak bencana banjir karena tinggal di Pluit. Kalau Ahok betul ngerti Jakarta ya kudunya dia lihat dirinya pun bagian dari penjahat lingkungan karena tinggal di kawasan 806 ha hutan bakau.
Ahok dukung reklamasi developer-developer gede yang jual kawasan mewah persetan rusak lingkungan, kalo Jakarta rusak banjir parah yang disalain si miskin. Soal Ahok adalah soal lama elite Jakarta yaitu arogansi dan prasangka kepada si miskin sebagai biang masalah, dimusuhi bukan digandeng untuk mencari solusi.
Bahkan saat si miskin sudah didampingi intelektual dari aneka ilmu, Ahok tetap berprasangka ke si miskin, artinya ia anti si miskin anti intelektual. Aparat dan Pemda sudah disetting untuk chaos. Pagi dini hari tanpa sebab aparat tembakkan gas air mata. Saya sedang bantu menyusun kronologinya. Warga beserta para pemimpinnya yang adalah para kyai yang selama ini membantu pemerintah daerah, berhari-hari sudah melakukan pertemuan degan warga dan mereka sepakat tidak ada perlawanan fisik.
Semua media disetting memojokkan warga. Ini sistematis betul. Lurah dan camatnya bermain, mereka ini harus diperiksa. Karena sebelum chaos sudah ada perundingan damai. Tapi lurah dan camat anehnya justru yang buat chaos. Mereka itu harus diperiksa. Anak-anak yang luka dihajar Satpol PP ditangkepin polisi. Aparat benar-benar brutal.
Semua yang disampaikan Ahok di depan warga diingkari semua. Isu dibelokkan ke masalah ganti rugi. Dan omongan Ahok soal ganti rugi berubah-ubah dari waktu ke waktu. Padahal warga tidak bicara soal ganti rugi. Anehnya, yang gencar ngomong soal ganti rugi adalah lurah dan camat. Ini ada apa? Warganya tidak bicara uang.
Media memberitakan warga menolak normalisasi kali. Padahal itu fitnah. Warga menerima proyek normalisasi. Yang membuat warga marah adalah sebutan mereka warga ilegal. Ahok mulutnya sangat kurang ajar. Kyai-Kyai di Kampung Pulo sangat halus dan menolak peran partai-partai. Mereka ingin tunjukkan bahwa warga pinggir kali juga bermartabat. Tapi Lurah dan Camat yang justru menggunakan warga di RW 2 yg ada di bawah kendali Lurah dan Camat untuk lakukan kekerasan. Ini sangat aneh. Warga RW 02 selama ini tidak pernah ikut pertemuan karena mereka di bawah kendali Lurah. Anehnya, kemarin malam orang-orangnya Lurah dan Camat di RW 02 ikut pertemuan.
Besok para Kyai dan Ciliwung Merdeka akan konferensi pers untuk sampaikan kebohongan pemda dan skenario chaos yang justru disetting pemda lewat aparat.
Ahok tidak pantas menjadi pemimpin. Sama sekali tidak menghargai inisiatif damai dari warga. Omongannya tak bisa dipegang, hari ini janji A besok diingkari dan keluarkan janji B, lusa diingkari dan keluarkan janji C. Warga benar-benar dipermainkan.
“Saya membaca kronologinya jadi mendidih dan sungguh malu sudah mengkampanyekan Ahok.” Ujarnya.
Pertanyaannya, apakah di balik semua ini ada yang bermain ? Siapakah yang menggerakkan media sehingga membuat pertanyaan yang sama, “Pak Ahok, warga sudah disediakan fasilitas oleh pemda, kenapa warga masih melawan?”
“Dan tidak satupun media yg mewawancarai warga maupun pengacara dan pendampingnya? Jurnalisme macam apa itu? Yang diwawancarai pihak pemda dan aparat.” Keluhnya.