JAKARTA (Panjimas.com) – Sejak tertimpa musibah diabetes, Ustadz Mulyadi tidak bisa bekerja dan berdakwah. Dengan kondisi kaki membusuk, ia tinggal di rumah petak yang tak layak huni. Sementara beban biaya hidup, biaya pengobatan dan biaya pendidikan anak-anak di pesantren terus menumpuk.
Sudah sembilan tahun lamanya Ustadz Mulyadi (53), menderita diabetes yang akut. Namun penyakitnya itu sama sekali tak dirasakannya, demi aktivitas dakwah yang dipusatkan di mushalla Al-Furqan Pulo Jahe di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur.
Sampai pada suatu hari, usai menjadi imam shalat di mushalla, tak terasa telapak kakinya berlubang tembus sampai ke punggung kakinya. Ia pun tertatih-tatih berjalan pulang menuju rumahnya. Luka kaki akibat diabetes itu makin lama semakin parah. Luka di kakinya semakin melebar dan membusuk.
Karena tak memiliki biaya untuk berobat, ia hanya bisa merawat luka sebisanya, tanpa tindakan pengobatan ke rumah sakit atau ke dokter. Kakinya yang busuk itu hanya dibungkus plastik supaya bau busuknya tidak menyebar.
…ia hanya bisa merawat luka sebisanya, tanpa tindakan pengobatan dokter. Kakinya yang busuk itu hanya dibungkus plastik supaya bau busuknya tidak menyebar…
Upaya pengobatan gratis yang dijamin oleh pemerintah sudah pernah ditempuh, tapi menemui jalan buntu karena persyaratan administrasi yang tidak bisa dipenuhi. “Waktu itu saya ke Puskesmas, di sana hanya dicuci saja. Lalu disuruh ke rumah sakit, tapi saya tidak punya BPJS akhirnya tidak bisa,” ujarnya kepada Relawan IDC, Senin (23//5/2015).
Untuk menangani luka diabetes tersebut, Ustadz Mulyadi pernah dibantu adiknya untuk berobat ke dokter spesialis di klinik Rawamangun Jakarta Timur. Tapi karena biaya yang relatif mahal dan sulit terjangkau, maka pengobatannya pun terhenti.
“Dokter menyarankan karena masih parah seminggu tiga kali berobat. Sekali berobat Rp 530 ribu minimnya,” ungkapnya.
Karena kondisi sakitnya yang semakin parah, Ustadz Mulyadi pun tak bisa lagi berdakwah, mengimami shalat dan mengajar mengaji di Mushalla yang dirintisnya itu.
“Sakitnya seperti ini hampir sebulan. Dulu pernah kaki saya yang kanan, tapi ini yang paling parah. Akhirnya total sudah tidak bisa kegiatan apa-apa,”
Dengan kondisi penyakit yang parah, selain tak bisa berdakwah, Ustadz Mulyadi juga tak bisa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Semasa sehatnya, Ustadz Mulyadi berprofesi sebagai tukang potong kayu dengan upah hanya sebesar sepuluh ribu rupiah perhari. Sementara istrinya hanya sebagai ibu rumah tangga.
“Awalnya saya kerja di pabrik mebel terus tutup, lalu nyambi jadi tukang potong kayu, selama setahun. Kalau di situ gajinya harian, kalau masuk kerja digaji, kalau tidak ya ngga dapat. Upahnya sehari cuma sepuluh ribu rupiah. Terus saya sakit ini, lalu berhenti,” tuturnya.
HIDUP DI RUMAH TAK LAYAK HUNI
Dengan penghasilan hanya 10 ribu rupiah hari berarti sebulan berpenghasilan 300 ribu rupiah. Bisa dibayangkan betapa sulitnya bertahan hidup di ibukota Jakarta. Apalagi sekarang ini, ketika ia tidak bisa lagi bekerja.
Untuk menekan biaya hidup, Ustadz Mulyadi pindah kontrakan yang lebih murah. Kini ia bersama istri, putri sulung dan putri bungsunya mengontrak rumah petak dengan tarif 200 ribu rupiah perbulan.
Harga memang murah, tapi kondisinya sangat jauh dari kelayakan. Kontrakan mini yang hanya berukuran 3 x 4 meter itu hanya terdiri dari satu kamar tidur, tanpa kamar mandi. Dalam ruang yang sempit itulah berbagai barang rumah tangganya ditaruh: tempat tidur, perabotan rumah, rak piring dan tumpukan pakaian jadi satu. Apalagi di musim hujan kondisi rumah kontrakannya tergenang banjir.
“Awalnya saya ngontrak di samping ini dengan dua kamar, tapi terus dibangun sekarang harganya jadi Rp 800 ribu, mahal jadi saya pindah,” ujarnya.
BIAYA PESANTREN ANAKNYA MENUNGGAK BERBULAN-BULAN
Sejak sakit diabetesnya makin parah, praktis Ustadz Mulyadi tak bisa lagi mencari nafkah. Ketika ditanya bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari, membayar kontrakan dan biaya pendidikan anak-anak, Ustadz Mulyadi hanya bisa tawakkal kepada Allah. “ Wah, ngga bisa ngomong saya. Sudah tidak bisa ke mana-mana,” tuturnya sambil tertunduk.
Dalam kondisi sakit dan ekonomi sulit, beban keluarga yang dipikulnya sebagai kepala keluarga juga semakin menggunung. Dari pernikahannya dengan Ruqiyah, Ustadz Mulyadi memiliki empat orang anak.
Putri pertama Fahassahru Zuhro (20) santriwati yang baru lulus dari pondok pesantren di Jawa Tengah. Anak kedua dan ketiga, Faizah Shahihah (18) dan Faqih Mukhlis (14) masih sekolah SMA dan SMP di sebuah pesantren Jepara, Jawa Tengah. Sedangkan putri bungsunya, Fildzah Masturoh (9) masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah Al-Wathoniyah Jakarta.
Selain biaya hidup, biaya berobat dan kontrak rumah, Ustadz Mulyadi harus membiayai pendidikan ketiga anaknya sekitar Rp 1.200.000 perbulan. Sampai berita ini diturunkan, biaya pesantren kedua anaknya sudah menunggak berbulan-bulan. Jangankan untuk berobat dan bayar pesantren, untuk makan pun sulit.
“Faizah sudah nunggak 4 bulan dan dia kan mau lulus harus bayar ujian sekitar Rp 860 ribu. Kalau Faqih nunggak delapan bulan,” jelasnya.
Untuk meringankan beban Ustadz Mulyadi dan demi masa depan anak-anaknya, insya Allah IDC akan memasukkan ketiga anaknya dalam program beasiswa IDC. Tentunya bantuan infaq dari kaum muslimin sangat diharapkan.
INFAQ DARURAT PEDULI USTADZ MULYADI
Musibah yang dialami Ustadz Mulyadi adalah penderitaan kita juga. Karena persaudaraan setiap Muslim ibarat satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lainnya otomatis terganggu karena merasakan kesakitan juga.
“Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam” (Muttafaq ‘Alaih).
Dengan membantu saudara kita yang tertimpa musibah, insya Allah akan mendatangkan keberkahan, kemudahan dan pertolongan Allah di dunia dan akhirat. Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa menghilangkan kesulitan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan melepaskan kesulitannya pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan orang yang tengah dilanda kesulitan, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat…” (HR Muslim).
Bagi kaum Muslimin yang terpanggil untuk membantu meringankan biaya pengobatan Ustadz Mulyadi bisa mengirimkan donasi ke program Dana Infaq Darurat (DINAR) IDC:
- Bank Muamalat, No.Rek: 34.7000.3005 a/n: Yayasan Infaq Dakwah Center.
- Bank BNI Syari’ah, No.Rek: 293.985.605 a/n: Yayasan Infaq Dakwah Center.
- Bank Mandiri Syariah (BSM), No.Rek: 7050.888.422 a/n: Yayasan Infaq Dakwah Center.
- Bank Mandiri, No.Rek: 156.000.728.728.9 a/n: Yayasan Infaq Dakwah Center.
- Bank BRI, No.Rek: 0139.0100.1736.302 a/n: Yayasan Infak Dakwah Center.
- Bank CIMB Niaga, No.Rek: 675.0100.407.006 a.n Yayasan Infak Dakwah Center.
- Bank BCA, no.rek: 631.0230.497 a/n Budi Haryanto (Bendahara IDC).
CATATAN:
- Demi kedisiplinan amanah dan untuk memudahkan penyaluran agar tidak bercampur dengan program lainnya, tambahkan nominal Rp 3.000 (tiga ribu rupiah). Misalnya: Rp 1.003.000,- Rp 503.000,- Rp 203.000,- Rp 103.000,- 53.000,- dan seterusnya.
- Bantuan disalurkan dalam bentuk: bantuan pengobatan, biaya hidup selama sakit dan beasiswa ketiga anaknya.
- Bila biaya pengobatan Ustadz Mulyadi tercukupi/selesai, maka donasi dialihkan untuk program IDC lainnya.
- Info: 08567.700020 – 08999.704050
- PIN BB: 2AF8061E; BBM CHANNEL: C001F2BF0. [GA/IDC]