Bagaimana Umat Islam Menyikapi Konflik antar Mujahidin di Suriah?
Oleh: Ustadz Abu Fatiah Al-Adnani
Panjimas.com – Tulisan ini merupakan hasil wawancara jurnalis Panjimas.com kepada dai, pemerhati dan penulis aktif tentang peristiwa akhir zaman, beliau adalah Ustadz Abu Fatiah Al-Adnani.
Kesempatan wawancara tersebut kami dapatkan usai kajian rutin yang diasuh Ustadz Abu Fatiah Al-Adnani, bertajuk “Nubuwat Huru-Hara Akhir Zaman” di Masjid Al Huda Dukuh Kerun, Desa Belangwetan, Kecamatan Klaten Utara, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pada Senin (2/6/2014).
Dalam wawancara tersebut, jurnalis meminta Ustadz Abu Fatiah Al-Adnani untuk memberikan penjelasan dan nasehat tentang bagaimana seharusnya Umat Islam menyikapi konflik antar mujahidin yang terjadi di Suriah.
Hal ini begitu penting, mengingat dampak konflik internal tersebut sudah mulai menular ke Indonesia lantaran massifnya pemberitaan di beberapa media Islam.
Berikut ini penjelasan dari Ustadz Abu Fatiah Al-Adnani, kepada redaksi Panjimas.com selengkapnya.
Ikhwan fieddien, tidak bisa kita pungkiri bagi kawan-kawan yang aktif di dunia maya yang mengikuti perkembangan di jejaring sosial media, FB (Facebook –red) dan lain sebagainya, kita bisa melihat bagaimana luar biasanya caci-maki dan saling serang antara satu komunitas dengan komunitas yang lain.
Bahkan yang agak parah, hari ini sudah ada yang berani membuat statemen inilah masanya terwujudnya hadits Nabi (Muhammad SAW –red) yang berbunyi, “Kelompok mukmin yang tidak bercampur dengan kemunafikan, dan kelompok munafik yang tidak memiliki keimanan.” Jadi hanya ada dua kubu, yang bersama kelompok Fulan adalah kelompok mukmin sejati, dan yang bersama Fulan adalah kelompok munafik atau Kafir. Jadi sudah sampai pada statemen yang semacam itu. Maka masya Allah, fitnahnya sudah sebesar itu.
Ikhwan fieddien, sudah berkali-kali kami mendapatkan pertanyaan yang semacam ini. Maka jawabannya adalah, saya memilih seperti yang dilakukan oleh Saad bin Abi Waqqash -Radhiyallahu ‘anhu- ketika beliau dipaksa untuk berpihak agar masuk ke barisan Ali bin Abi Tholib -Radhiyallahu ‘anhu- atau masuk ke barisan Muawwiyah bin Abi Sufyan -Radhiyallahu ‘anhu-.
Maka jawaban beliau (Saad bin Abi Waqqash –red.) adalah, “Demi Allah, saya tidak masuk ke dalam kelompok manapun, sampai Allah memberikan kepada saya sebuah pedang yang memiliki dua mata, dua telinga, satu mulut yang bisa berbicara lalu menceritakan kepadaku, mana mukmin dan mana Kafir sehingga aku benar-benar masuk dalam barusan mukmin, dan agar aku bisa membunuh orang Kafir.”
Mungkin nggak pak kira-kira? Punya pedang yang mempunyai dua mata, punya dua telinga, punya mulut yang bisa berbicara? Ini adalah permintaan yang mustahil. Artinya apa? pilihan Saad bin Abi Waqqash adalah termasuk pilihan yang terpuji, karena beliau menjalani perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila terjadi fitnah diantara kaum Muslimin, maka pecahkanlah pedangmu, dan gunakan tongkat sebagai senjata kamu.”
Dan ini yang dipilih oleh seorang sahabat (Saad bin Abi Waqqash –red.), pada saat Ali bin Abi Thalib kemudian meminta dia untuk bergabung lalu dikeluar dengan tongkat kayunya, maka Ali Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Apa yang bisa engkau lakukan dengan tongkat kayumu?”. Maka, beliau (Saad bin Abi Waqqash –red.) kemudian mengatakan, “Inilah yang diperintahkan oleh mertuamu, yang diperintahkan oleh kekasihku, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam apabila terjadi pertikaian sesama muslim, ambillah senjata yang terbuat dari kayu.”
Lalu kemudian Ali -Radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Aku tidak membutuhkan senjatamu dan tidak membutuhkan kamu.” Ali kemudian berpaling dari sahabat Saad bin Abi Waqqash -Radhiyallahu ‘anhu-.
Nah, kalau itu terjadi pada mereka yang sedang menyaksikan konflik di depan mata langsung, ya kalau itu pilihan sebagian besar sahabat, ketika konflik itu didepan mata dan dia bisa saja terlibat, itu saja pilihannya kemudian mereka tidak terlibat dan berpihak (dengan salah satu kelompok yang sedang bertikai –red.), lalu bagaimana dengan kita yang jaraknya ribuan kilo meter, yang hanya bisa komen-komen biasa melalui keybord, yang kemudian membuat statemen yang melukai satu dengan yang lainnya?
Maka sikap kita, -lebih tepat- seperti sikap Umar bin Abdul Aziz ketika beliau berkata tentang peristiwa berdarah antara Ali dan Muawiyah, maka jawaban beliau adalah, “Mereka adalah suatu kaum, yang tangan-tangan kita terbebas dari menumpahkan darah mereka, maka selamatkanlah mulut kita dari menodai kehormatan mereka.”
Yaa ikhwah, jangan samakan level kita dengan Abu Muhammad ‘Ashim Al-Maqdisi, jangan samakan level kita dengan Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri, jangan samakan diri dan level kita dengan Abu Muhammad Al-Adnani, jangan samakan!
Bahwa kita membaca (pernyataan-pernyataan mereka, red.) oke silahkan, tetapi kemudian kita membuat pernyataan statemen yang itu merupakan inisiatif kita, maka hal itu akan menjadi fitnah yang panjang.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa hal ini (konflik antar mujahidin di Suriah, red.) adalah bagian dari konspirasi musuh-musuh Islam. Dan kita hanya berharap sangat besar, kalau Afghanistan Allah memberikan screening, pembersihan para mujahid, justru ketika kemenangan itu sudah mereka genggam, hari ini Allah mencuci para mujahidin Suriah sebelum kemenangan itu mereka genggam.
Apa yang Allah inginkan (dari adanya ujian ini, red.)? Mudah-mudahan Allah sedang mempersiapkan generasi yang terbaik untuk menghadapi perang Malhamatul Kubra, yang sangat membutuhkan kualitas iman dan person yang sangat luar biasa. Sehingga dari sekarang mereka itu sudah digembleng, mana yang benar-benar akan tumbuh kepada kebenaran.
Dan dalam konteks kekinian, secara pribadi saya mengajak kepada anda untuk tidak memberikan statement apapun, komentar apapun yang itu hanya melukai sebagian saudara kita. Mereka pergi meninggalkan dunia insya Allah dengan keikhlasan dan pilihannya dengan membawa pahala dan nantinya mudah-mudahan mereka akan dibalas oleh Allah dengan jannah (surga –red.).
Sementara kita pergi dengan membawa dosa yang banyak dalam bentuk ghibah dan statement-statement yang menyakitkan dan melukai saudara-saudara kita, kenapa? Karena modal kita hari ini hanya dalam bentuk statement dan berita yang kita tidak menyaksikan langsung kondisi mereka. Inilah menurut saya yang lebih tepat untuk kita lakukan oleh orang-orang yang modelnya seperti kita.
Kemudian jika ada ulama atau ustadz yang berani berkomentar seperti itu (menyakiti, melukai dan bahkan mencela para mujahidin itu –red.) gimana? Ya biarkan, toh mereka yang nantinya akan bertanggungjawab di hadapan Allah terhadap diri mereka dengan pilihannya.
Kalau mereka sudah siap mempertanggung jawabkan statement mereka di hadapan Allah ya silahkan saja dipilih. Tapi kalau tidak (mengeluarkan statemen atau komentar apapun –red), kita tidak akan ada yang menegur dan tidak akan ada yang menyalahkan. Wong kita juga tidak berbicara apa-apa, atas dasar apa kita disalahkan?
Ya, ini barangkali yang lebih tepat,
نحن مع كل مؤمن موحد يرفع راية التوحيد
“Kita akan senantiasa bersama mukmin yang ahli tauhid, yang mengangkat bendera tauhid dari manapun kelompok mereka.” Wallahu a’lam… [AW/Khalid]