Solusi Damai: Logis, Realistis dan Efektif ?[1]
Panjimas.com – Sekalipun inti persoalan telah jelas, namun sebagian besar kaum Muslimin masih kebingungan menentukan sikap dalam menghadapi gejolak perang salib modern ini. Di tengah kebingungan tersebut, berbagai wacana, teori dan analisa mengemuka ke permukaan.
Salah satu wacana yang sangat kuat berkembang, adalah wacana yang menyatakan bahwa perlawanan dengan kekuatan tidak akan menyelesaikan masalah. Menurut para penganut teori ini, kekerasan tidak bisa dihadapi dengan kekerasan karena justru akan semakin merusak suasana. Hal yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik saat ini adalah dialog, toleransi dan solusi-solusi damai.
Dengan dukungan media massa yang luas, wacana ini begitu menguasai pikiran kaum Muslimin. Lebih dari itu, wacana ini juga meyakinkan banyak kaum muslimin bahwa “Perang Salib”, “kebencian dan permusuhan kepada non muslim”, atau “konsep jihad fi sabilillah“, adalah konsep usang yang tidak sesuai dengan tuntutan hidup damai secara berdampingan. Konsep-konsep tersebut hanyalah wacana segelintir kaum fundamentalis Islam yang justru mengancam perdamaian dunia.
Tentu saja, mayoritas para penyeru wacana damai ini adalah kalangan sekuler, nasionalis, liberal, moderat dan pluralis. Sedikit di antaranya, adalah para aktivis Islam yang pro demokrasi, atau anti demokrasi namun setuju dengan perjuangan lewat Pemilu dan Parlemen.
Sekilas wacana mereka akan membuahkan perdamaian dunia, sikap toleransi dengan non muslim dan membuat citra Islam yang baik di mata musuh-musuh Islam. Tegasnya, solusi dialog dan damai adalah solusi terbaik bagi semua. Mereka pun ramai-ramai mengadakan berbagai seminar tentang toleransi, dialog damai, pluralisme, dan seterusnya. Bahkan lebih jauh, mereka mulai melayangkan ide perumusan ulang kurikulum pendidikan agama di berbagai sekolah agama yang dituduh menumbuhkan benih-benih permusuhan dan kebencian kepada non muslim.
Propaganda wacana yang didukung media massa dan banyak tokoh ini telah menghipnotis banyak kaum muslimin. Namun wacana ini layak mendapat sejumah tanda tanya. Benarkan solusi damai merupakan langkah yang logis, realistis dan efektif? Ataukah justru hanya sebuah utopia, khayalan dan menguntungkan musuh?
Berdialog dengan para penganut wacana ini yang kebanyakan adalah kaum sekuler, nasionalis, liberal, moderat dan pluralis, tentu tidak bisa berangkat dari dalil-dalil syar’i. Dengan mudah, mereka akan menolak atau menginterpretasikannya semau sendiri tanpa mengikuti kaedah-kaedah baku ilmu tafsir, ilmu hadits dan ushul fiqih. Konsep jihad fi sabilillah, al-wala’ dan al-bara’, atau penerapan syariah Islam, jelas mereka tolak. Lantas, darimana dialog dengan mereka harus dimulai?
Telah diketahui bersama, pasca Perang Dunia II, dunia diramaikan dengan Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Meski suasana ketegangan dan permusuhan begitu nampak antara kedua negara super power dunia ini, namun usaha-usaha untuk membuat kesepahaman telah dirancang, terlebih beberapa tahun sebelum runtuhnya Uni Soviet. Sejak Michal Gorbachev terpilih sebagai presiden Uni Soviet tahun 1985 M, ia langsung mengkampanyekan agenda reformasi kehidupan ekonomi dan sosial negara komunis tersebut. Langkah ini mendapat respon positif presiden AS, Ronald Reagen. Keduanya terlibat sejumlah pembicaraan untuk menurunkan kompetisi ideologi dan tensi ketegangan selama perang dingin.
Langkah Reagen dilanjutkan oleh penggantinya, George Bush. Begitu dilantik, Bush langsung bekerja secara rahasia dan intensif untuk menjadikan Uni Soviet sebagai negara sahabat “family of nations.” Bush yakin Uni Soviet bisa menjadi kawan. Bila hal ini terjadi, AS bisa menurunkan anggaran militernya dan menghemat jutaan dolar pajak negara yang dipergunakan untuk kepentingan militer. Bush menjanjikan akan membantu Gorbachev menyukseskan program-programnya.
Pada bulan Mei 1989 M, Bush mengejutkan negara-negara sekutunya ketika mengajukan sebuah proposal tebal berisi program pengurangan sejumlah besar kekuatan militer AS yang selama ini dipertahankan di Eropa untuk menghadapi kemungkinan serangan Uni Soviet. Pada bulan Desember 1989 M, Bush mengundang Gorbachev dalam tiga hari pertemuan luar biasa di sebuah pulau di Laut Mediterania, Malta. Dalam pertemuan itu, Bush menyerahkan daftar berisi 21 program kerjasama, mulai dari pengurangan jumlah militer sampai kepada bantuan ekonomi.
Keinginan Bush ini dibuktikan dengan beberapa kebijakan politik luar negerinya. Bush cenderung diam dan tidak mengomentari, apalagi mengkritik keras, kebijakan-kebijakan Uni Soviet. Pada bulan November 1989 M, tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dengan Jerman Timur diruntuhkan. Bush menyikapinya biasa-biasa saja. Ia justru mengumumkan bahwa dunia memerlukan “tatanan dunia baru” untuk menghentikan persaingan superpower dunia selama era perang dingin. Ketika pada tahun 1990 M, Uni Soviet menolak memberikan otonomi khusus kepada Latvia dan Lithuania sebagaimana yang diberikan kepada Hongaria dan Polandia, Bush juga tidak mengkritisinya. Hal ini mengakibatkan Bush sering didemo oleh rakyat AS.
Pada bulan Desember 1991 M, Uni Soviet runtuh dan terpecah belah. Rusia, sebagai bagian terpenting dari mantan Uni Soviet, menjadi satu-satunya negara terpenting bagi para pengambil kebijakan politik luar negeri AS. Dua isu utama mendominasi hubungan AS-Rusia pada era Bush-Boris Yeltsin ini, yaitu isu eksistensi-penurunan senjata nuklir dan langkah-langkah efektif yang akan diambil AS untuk membantu Rusia dalam membangun kembali ekonominya dengan beralih kepada sistem perdagangan bebas, sebagai ganti dari sistem lama desentralisasi ekonomi.
Pada bulan Juni 1992 M diadakan pertemuan antar Bush dan Yeltsin di Washington. Sekalipun terjadi perdebatan panjang, namun kedua pemimpin negara super power dunia ini sangat berhasrat mampu menekan sebuah kesepakatan sebelum masa pemerintahan Bush berakhir, tanggal 20 Januari 1993 M. Akhirnya, dalam pertemuan puncak di Moskow tanggal 3 Januari 1993 M, kedua pemimpin sepakat menandatangani perjanjian kesepakatan penurunan senjata nuklir, yang dikenal dengan nama Strategic Arms Reduction Treaty II (Start II).
Tinggal satu persoalan yang belum terselesaikan, yaitu bantuan ekonomi AS kepada Rusia untuk membangun kembali ekonomi yang hancur pasca keruntuhan Uni Soviet. Untuk itu, Bush mengadakan konferensi internasional mencari dukungan bantuan untuk Rusia. Tiga bulan kemudian, atau April 1993 M, Bush dan konselir Jerman Helmut Kohl telah mengumumkan dan menyerahkan bantuan ekonomi kepada Rusia sebesar $ 24 juta dari 7 negara yang tergabung dalam kelompok negara-negara industri (G7).
Dengan semua langkah maju dalam hubungan AS-Rusia ini, boleh dikatakan ketegangan dan permusuhan antara kedua negara super power dunia ini telah ditutup. Rusia dalam banyak hal memiliki ketergantungan kepada bantuan AS dan sekutu-sekutunya. Rusia, kini telah menjadi “family of nations”, negara sahabat bagi AS dan sekutunya.
Namun bukan berarti AS telah merasa aman dan menang sebagai “penguasa dunia”. AS dan dunia Barat merasakan ada pesaing baru yang harus diwaspadai dan diantisipasi. Itulah kekuatan Islam yang mulai bangkit kembali. Kesadaran ini semakin menguat setelah terjadinya Revolusi Syi’ah Iran yang menggulingkan sekutu utama AS di kawasan Teluk, rezim syah Pahlevi, dan kemenangan mujahidin Afghanistan atas pasukan Uni Soviet. Fenomena-fenomena tak terduga ini kembali menggugah kesadaran religius dan pemikiran para cendekiawan, pemikir, politisi dan pengambil kebijakan AS dan negara-negara Barat.
Di sana sini mulai ramai diskusi, seminar dan artikel tentang gerakan kebangkitan Islam sebagai “ancaman paling potensial” terhadap “dominasi Barat”. Dalam kondisi demikian, pada tahun 1993 M DR. Samuel Philips Huntington menulis tesis tersohor yang kemudian menjadi judul sebuah buku “The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order”, dan diterbitkan tahun 1996 M.
Dalam bukunya, Huntington menyebutkan secara detail dan kuat berbagai bukti yang menunjukkan bahwa peradaban Islam adalah calon lawan dan pesaing terbesar bagi peradaban Barat, dan motif utama konflik peradaban Islam versus perdaban Barat ini adalah motif agama. Agama, menurut Huntington, memilah-milah manusia dalam beberapa blok secara lebih obyektif dan komprehensif. Menurutnya, konflik Islam versus Barat merupakan konflik yang sebenarnya. Adapun konfik demokrasi liberal versus Marxis-Leninis (AS-Uni Soviet dalam perang dingin) hanyalah fenomena sejarah yang bersifat sesaat “fleeting” dan di permukaan “superficial” semata, bukan konflik sebenarnya. Istilahnya, sekedar konflik-konflikan. Konflik sebenarnya adalah Islam versus Barat. Selama 14 abad masehi, Islam dan Barat sangat sering terlibat dalam konflik.
Huntington menulis,” The Relation between Islam and Christianity, both Orthodoks and western, have often been stormy.” (Hubungan antara Islam dan Kristen —baik Kristen Ortodoks maupun Kristen Timur— sering kali buram.”
Tesis Huntington mendapat sambutan luar biasa dari para cendekiawan, politikus dan para pengambil kebijakan dalam pemerintahan AS dan Barat. Mantan Menlu AS, Henry Kissinger sampai menyebut bukunya sebagai “buku terpenting yang diterbitkan pasca perang dingin”. Tesis Huntington sebenarnya bukan satu-satunya tesis dalam masalah konflik peradaban. Sebelum dan sesudahnya juga telah banyak penulis lain yang menyebutkan hal yang sama.
Mark Jurgensmeyer menulis,” Sekalipun Francis Fukuyama, di antaranya, menyebutkan bahwa akhir perang dingin lama telah menghantarkan ke”akhir sejarah” dan konsensus ideologi seluruh dunia terhadap demokrasi liberal sekular, munculnya nasionalisme religius dan etnik menggugurkan penegasan ini.”
Prof. Joseph S. Nje Jr juga menulis,” Era pasca perang dingin adalah satu kondisi pengulangan sejarah (the return of history). Artinya, ideologi kapitalisme liberal yang berlaku saat ini tidaklah mengendalikan sebagian besar konflik dalam politik internasional. Respon dan kompetitor utama terhadap kapitalisme liberal pasca perang dingin adalah nasionalisme etnik.”
Sebagai sebuah peradaban yang dominan, peradaban Barat pasti akan berusaha memaksakan hegemoni dan dominasinya atas peradaban Islam atau peradaban etnik (China, Jepang). Sebab, sebuah peradaban yang menguasai peradaban lain selalu berusaha menyebarkan nilai-nilai peradabannya kepada peradaban yang dikuasainya. Hal ini merupakan pola yang selalu terulang (recurrent pattern).
Robert Gilpin menyebutnya,”The recurrent pattern in every civilization of which we have knowledge was for one state to unify the system under its imperial dominations.” (Pola yang selalu terulang dalam setiap peradaban yang kita ketahui, bahwa sebuah negara penjajah selalu berusaha untuk menyatukan negara-negara jajahan ke dalam satu sistem dibawah dominasi imperialismenya).
Sebagaimana diketahui bersama, para penulis dan cendekiawan yang memprediksikan peradaban Islam sebagai pesaing dan tantangan terbesar bagi dominasi peradaban Barat (atau menurut istilah mereka, perdamaian dunia dan tatanan dunia baru), adalah para cendekiawan yang sangat dekat dengan para pengambil kebijakan di negara-negara Barat. Para pejabat dan pengambil kebijakan dalam pemerintahan Barat banyak mengambil riset dan tesis mereka sebagai dasar dalam membuat sebuah kebijakan. Terbukti, Barat segera mengambil ancang-ancang dan kebijakan yang mengarah kepada persiapan perang semesta melawan peradaban Islam.
Karena Barat merepresentasikan sistem Demokrasi Liberal dengan ekonomi kapitalisnya, isu yang dipropagandakan dalam perang melawan peradaban Islam adalah isu globalisasi, penciptaan perdamaian dunia, pasar bebas, penegakan demokrasi di dunia ketiga, perlindungan HAM dan kebebasan, dan seterusnya. Dengan dalih ini pula, AS dan Barat bermain di belakang layar Dewan Keamanan PBB untuk mengembargo ekonomi Afghnistan. Tentu saja, dengan alasan rezim Thaliban melanggar HAM, kebebasan individu, melecehkan demokrasi liberal, melindungi perdagangan ganja, dan seterusnya. Padahal, Thaliban sedang menjalankan kebebasan beragama dengan menerapkan syariat Islam di Afghanistan.
Tetapi, di sinilah inti persoalannya. Penerapan syariat Islam, itulah hal yang dibenci dan dimusuhi oleh Barat. Atas nama demokrasi, kebebasan dan HAM, Barat melanggar HAM dan kebebasan umat Islam Afghanistan. Tanpa alasan yang logis pula, pada tahun 1998 M pemerintahan Bill Clinton membombardir Afghanistan dengan rudal-rudal Tomhawk, yang mengakibatkan ribuan rakyat sipil tak berdosa jatuh sebagai korban. Peristiwa ini disusul dengan resolusi Dewan Keamanan PBB no. 1267 (dikeluarkan tahun 1999 M), no 1333 (tahun 2000 M) dan no. 1363 (2001 M) yang menghukum Afghanistan. Disusul dengan resolusi DK PBB no. 1368 (2001) dan no. 1373 (2002 M) untuk memerangi teroris dan membekukan aset-aset mereka.
Fakta-fakta ini secara jelas menunjukkan, teori “konflik peradaban” bukan hanya khayalan semata. Ia telah menjadi ideologi dan praktek kebijakan politik negara-negara Barat. Sekedar menjalankan syariat Islam pun dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap peradaban Barat (baca :demokrasi liberal, HAM, dan kebebasan) yang harus diperangi. Bukankah sangsi dan bombardir atas Afghanistan terjadi sebelum tragedi 11 September 2001 M?
Di saat para cendekiawan dan pemimpin Barat mulai merealisasikan teeori tersebut dalam langkah-langkah strategis untuk meraih kepentingan-kepentingan Barat di dunia Islam, justru para “cendekiawan” umat ini meninabobokkan umat Islam. Mereka mengkaburkan inti persoalan dan berusaha keras membuktikan bahwa teori tersebut hanya pendapat segelintir cendekiawan “nyeleneh” Barat yang tidak laku, tak perlu ditengok dan diperhitungkan. Mereka pun sibuk menggelar berbagai agenda dan program bertemakan “dialog kesepahaman”, “dialog lintas peradaban”, “dialog lintas budaya dan agama”, dan seterusnya. Intinya, mereka menyerukan bahwa menumbuhkan sikap toleransi, menerima pluralisme dan menempuh solusi damai adalah solusi paling tepat dan efektif.
Para “cendekiawan moderat” umat ini sejatinya telah melarikan diri dari realita yang begitu buram. Mereka menutup-nutupi realita yang ada, dan sebagai gantinya menghibur diri dengan mengangkat slogan-slogan yang sebenarnya hanya ada dalam lamunan. Langkah mereka ini justru menguntungkan musuh dan membodohi umat Islam.
Tragedi WTC akhirnya terjadi, dan George W. Bush mengumandangkan perang salib “Crusade” (BBC, 16/11/2001 M).[2] Diikuti oleh beberapa pernyataan pimpinan negara-negara Barat, di antaranya Berlusconi dan Blair, yang mendukung perang salib dan menunjukkan permusuhan kepada Islam. Akhirnya, invasi ke Afghanistan dan Iraqpun terjadi.
Semula, sebagian menyangka kedua invasi militer aliansi negara-negara Barat ini akan menyadarkan para “cendekiawan” kita yang sedang hidup di alam mimpi tersebut, untuk bangun dari mimpinya, terhenyak dan menyadari bahwa Barat benar-benar mengincar Islam sebagai target. Barat benar-benar sedang menjajah dunia Islam, untuk menegakkan peradaban Barat (demokrasi liberal, ekonomi kapitalis) atas dunia Islam dengan tangan besi dan todongan senjata.
Namun, ternyata mereka masih terbuai dalam mimpi. Mereka justru bersusah payah menginterpretasikan “crusade“nya Bush dengan makna-makna yang jsutru tidak diinginkan oleh Bush sendiri. Mereka kembali tidak mengakui bahwa perang ini sebenarnya adalah perang agama, perang melawan Islam dan kaum muslimin, perang salib, bukan perang melawan teroris.
Namun, justru Bush sendiri lebih jujur. Sekali lagi, ia menerangkan maksudnya.”Berdirilah di samping kami dalam perang salib yang penting ini !.” Kata Bush di hadapan pasukan Kanada. Jurnalis Robert Fiske, terpaksa harus menulis apa adanya,”Nampaknya, presiden Bush benar-benar meyakini bahwa ia sedang memimpin perang salib. Ia telah kembali menggunakan istilah tersebut, padahal beberapa hari sebelumnya telah diperingatkan untuk tidak menggunakannya.”
Demikianlah. Setelah persoalannya jelas, maka tepatkah bila program “solusi damai dan kekerasan tidak menyelesaikan masalah” disebut sebagai sebuah solusi yang logis, efektif dan realistis?
Saat negara-negara imperialis Barat menjajah negara-negera dunia Islam yang nota bene adalah negara-negara dunia ketiga di Afrika dan Asia, haruskah penduduk negara-negara yang terjajah tersebut dituntut untuk menghentikan perlawanan bersenjata (lebih tepatnya perlawananan seadanya, tak bersenjata) dan menempuh solusi damai atau dialog lintas peradaban? Apakah seruan seperti ini logis, efektif dan realistis?
Bila kita menyerukan kepada Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Tengku Cik Ditiro, Panglima Sudirman dan para pejuang kemerdekaan lainnya agar meletakkan senjata, meninggalkan kekerasan dan menempuh dialog damai dengan imperialis Belanda, apakah seruan ini logis, efektif dan realistis?