BREBES (Panjimas.com) – Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.. setelah berjuang melawan tumor mata (retinoblastoma) selama 2 (dua) tahun lebih, akhirnya balita Nuraini menyerah kepada takdir Allah. Bocah berusia 3 tahun ini tutup usia pada Rabu (31/12/2014) sore di tanah kelahirannya, Brebes, Jawa Tengah (Jateng). Akhir hayatnya ditutup dengan istighfar dan takbir. Insya Allah husnul khatimah.
Menjelang wafat, kondisi kesehatan Nuraini memang memburuk. Usai menjalani kemoterapi yang ke-12, tumor sebesar telapak tangan orang dewasa yang bersarang di mata kanannya tak kunjung kempis. Malah bengkak menghitam dan mengeluarkan bau tak sedap. Bahkan tumbuh tumor baru di bagian mata kiri, kepala, leher dan kakinya.
Para dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menyatakan angkat tangan dan tak sanggup mengobati tumor ganas Nuraini. Jadwal kemoterapi yang ke-13 pun dibatalkan karena dosis yang diberikan sudah paling tinggi dan hasilnya sel kanker justru makin subur menyebar kemana-mana.
Meski dokter sudah angkat tangan, pihak keluarga dan Relawan Infaq Dakwah Center (IDC) tidak putus asa. Ikhtiar dan segala macam usaha pengobatan alternatif pun tetap ditempuh ke berbagai terapis dari alat canggih hingga pengobatan holistik herbalis.
Atas banyaknya saran dari para simpatisan IDC, pada hari Jum’at (19/12/2014), Relawan IDC mengupayakan pengobatan ke C-Tech Labs Edwar Technology. Klinik kanker terkemuka yang berlokasi di Tangerang ini dikenal ampuh mengobati penyakit kanker dengan sebuah alat teknologi tomografi medan listrik tiga dimensi atau electrical capacitance volume tomography (ECVT).
ECVT diyakini mampu mendeteksi aktivitas sistem saraf pusat berkecepatan tinggi. Alat ini diyakini lebih efisien dan lebih unggul daripada CT-Scan dan MRI. ECVT jauh lebih canggih karena pasien tak perlu masuk ke dalam tabung seperti alat MRI yang cuma menampilkan gambar dua dimensi.
Namun pihak C-Tech Labs juga tidak optimis bisa mengobati tumor mata Nuraini. Pasalnya, dari tiga penderita tumor mata yang berobat ke tempat ini tak satupun yang bisa terselamatkan. Salah satu pasien yang meninggal sebelumnya adalah klien IDC, ananda Syauqi Syahid Al-Fatih.
Relawan IDC pun beralih ke pengobatan holistik kepada pakar herbal-thibbun nabawi di kawasan Tebet, Jakarta Timur, pada Ahad (21/12/2014). Alhamdulillah, setelah diterapi kondisi Nuraini relatif lebih stabil. Tidurnya makin pulas dan tidak sering merintih kesakitan seperti sebelumnya.
Namun setelah terapi yang kedua pada Senin (26/12/2014), mendadak Nuraini minta pulang ke Brebes, padahal pekan depan ia harus kembali lagi menjalani terapi yang ketiga.
Tak ingin mengecewakan, Relawan IDC pun membelikan tiket kereta api dan mengantarkan Nuraini sekeluarga ke stasiun Gambir pada Ahad (28/12/2014). Sambil menunggu keberangkatan kereta, Relawan IDC menyemangati sang ayah supaya terus semangat berikhtiar dan jangan lupa banyak berdoa memohon kepada Allah Ta’ala untuk kesehatan dan kebaikan Nuraini.
Tak disangka, itulah pertemuan terakhir Relawan IDC dengan Nuraini. Tiga hari setelah tiba di Brebes, Direktur IDC mendapat telpon dari ayah Nuraini. Dengan sesenggukan ia mengabarkan bahwa Nuraini telah dipanggil Allah sekitar jam 3 sore.
Relawan IDC bersama Direktur IDC bertakziah ke Wanasari, Brebes, Jateng pada Sabtu (3/12/2015). Perjalanan takziah dimudahkan Allah, melalui Pak Arsyad sekeluarga, salah seorang donatur IDC ikut bertakziah dengan mobil mewahnya.
KEMATIAN YANG INDAH, DITUTUP LANTUNAN ASMA ALLAH
Suciati, sang nenek, menuturkan bahwa firasatnya tidak enak saat Nuraini meminta pulang ke tanah kelahirannya di Brebes. Dengan sangat terharu, wanita berusia 55 tahun yang menyaksikan detik-detik luar biasa yang terjadi pada cucu kesayangannya. Husnul khatimah insya Allah. “Alhamdulillah pulangnya bagus, mungkin ini doa dari ibu dan bapak semua,” tuturnya.
Menjelang ajal, celotehan yang keluar dari mulut Nuraini tak seperti biasanya. Aini sempat mengeluh dirinya sudah kelelahan menghadapi penyakit yang dideritanya. Ia pun meminta tidur sendiri tanpa ditemani siapa pun, termasuk sang nenek.
“Mbah, Aini sudah capek. Sana mbah, nggak papa Aini mau bobo sendiri aja,” kenang Suciati menirukan celoteh Aini sambil menitikkan air mata. “Istighfar ya nak, kan mau jadi guru ngaji,” ujar Suciati berusaha menghibur agar tetap tabah.
Nuraini pun mengikuti nasihat neneknya dengan istighfar dan menyebut asma Allah. “Pas meninggal itu saya denger sendiri dia ngucap Allahu Akbar, terus langsung hilang, ngga ada,” paparnya.
…Pas meninggal itu saya denger sendiri dia ngucap Allahu Akbar, terus meninggal…
Sang nenek mengaku ikhlas melepas kepergian cucu semata wayangnya. Baginya, ikhtiar susah payah yang dilakukan selama ini untuk mengobati Aini adalah perjuangan dan pengorbanan yang bernilai kepuasan tersendiri. “Yah saya sudah ikhlas, sudah puas ikhtiar merawatnya. Meskipun kadang masih suka inget suaranya,” imbuhnya.
Duka yang mendalam juga dirasakan oleh Malinda, ibunda Nuraini. Wanita berusia 23 tahun ini banyak diam dan duduk termenung sambil sesekali menatap foto putrinya yang telah tiada. Ia tak banyak bicara karena sedang hamil mengandung adik Nuraini yang insya Allah dinantikan kelahirannya bulan Februari mendatang.
Duduk di sisi Malinda, Budi Wiharso, sang suami nampak lebih tabah dan tenang, karena telah mengikhlaskan anak pertamanya itu. Pria yang berprofesi sebagai kuli bangunan itu masih ingat upaya pontang-panting yang ditempuhnya demi pengobatan Nuraini sejak dua tahun yang lalu.
Saking sulitnya mencari dana pengobatan, ia di bantu para tetangga sempat membuat proposal permohonan bantuan kepada orang nomor satu di daerahnya. Ia hanya mohon bantuan agar anaknya bisa mendapatkan fasilitas pengobatan yang layak, namun hanya diberi uang sebesar 500 ribu rupiah lalu disuruh pulang.
Budi bersyukur bisa bertemu dengan IDC yang terus mengawal upaya pengobatan Nuraini hingga dipanggil Sang Maha Kuasa. Namun kondisi tumor mata Nuraini sudah sangat parah mencapai stadium 4. Selama dibantu para donatur IDC, Budi dan keluarganya bisa fokus mengurus pengobatan Nuraini.
Ia tak lagi pontang-panting mencari dana untuk biaya pengobatan, kontrak rumah dan biaya hidup selama pengobatan di Jakarta. Ia pun mengucapkan banyak terima kasih kepada para Muhsinin yang selama ini telah memberikan bantuan melalui IDC.
“Saya sudah habis-habisan mengobati Aini, jual ini dan itu sampai ketemu IDC, tapi saya ikhlas. Saya mewakili keluarga mengucapkan banyak terima kasih kepada relawan IDC, kepada para donatur yang sudah membantu selama ini, semoga diberi kelancaran, diganti yang lebih baik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,” ucapnya.
Usai bertakziah, relawan IDC besama keluarga Nuraini melakukan ziarah ke makam balita mungil itu. Sebelum berpamitan, Direktur IDC menyerahkan santunan kematian sebesar 7,5 juta rupiah kepada pihak keluarga, semoga berkah dan manfaat.
PONTANG-PANTING MENGAIS KEPEDULIAN
Seperti diberitakan sebelumnya, Nuraini dilahirkan dalam keadaan normal. Sampai berusia satu tahun ia tumbuh normal, cantik, sehat, lucu, ceria, dan menggemaskan. Di kampungnya, ia dikenal sebagai balita yang ceriwis dan senang bermain bersama teman-teman sebayanya.
Namun semuanya berubah total setelah berusia sekitar satu tahun. Kanker mata Nuraini tumbuh begitu cepat, hingga saat ini benjolan kanker di mata sebelah kanan begitu besar. Untuk pengobatan Nuraini, berbagai upaya ditempuh orang tuanya, mulai dari menjual barang berharga, menggadaikan sawah, meminta bantuan kepada sanak famili, dan sebagainya.
Tumor mata yang diderita Nuraini ini mengganas hingga stadium 4 karena pengobatannya terkendala biaya. Saat tumornya belum parah, kedua orang tuanya pontang-panting meminta bantuan ke mana-mana, termasuk kepada instansi pemerintah terkait, namun hasilnya nihil. Bahkan proposal yang dikirim kepada orang nomor satu di daerahnya pun hanya membuahkan bantuan rupiah yang sangat minim.
Alhamdulillah, setelah dibantu donatur IDC, seluruh biaya pengobatan bisa terpenuhi, termasuk biaya hidup selama pengobatan di Jakarta.
…Insya Allah di Yaumil Makhsyar kelak Nuraini menjadi saksi bahwa para donatur IDC adalah orang-orang yang teruji imanannya dan layak dimudahkan ke surga…
INFAQ MENJADI SAKSI IMAN DI AKHIRAT
Semoga seluruh donatur IDC yang telah berinfaq untuk membantu pengobatan Nuraini, diluaskan rezeki, dipanjangkan umur yang berkah dan bahagia, menjadi amal shalih, mendatangkan pertolongan Allah dan dibalas dengan surga Firdaus. Aamiin..
“Barangsiapa menghilangkan kesulitan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan melepaskan kesulitannya pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan orang yang tengah dilanda kesulitan, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat…” (HR Muslim).
Insya Allah di Yaumil Makhsyar kelak ananda Nuraini akan menjadi saksi bahwa para donatur IDC adalah orang-orang yang benar-benar membuktikan keimanannya dengan membantu kesulitan sesama mukmin, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
“Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam” (Muttafaq ‘Alaih). [GA/AW/IDC]
BERITA TERKAIT:
- Dua Tahun Lebih Nuraini Bersabar Menahan Sakit Tumor Mata. Cita-citanya Ingin Jadi Ustadzah. Ayo Bantu!!
- Tumor Mata Makin Parah, Nuraini Makin Cinta Bacaan Al-Qur’an,
- Tumor Mata Nuraini Makin Parah, Dokter Sudah Menyerah. IDC Upayakan Pengobatan Alternatif Syar’i
- Setelah Dua Tahun Bertarung Melawan Tumor Mata, Balita Nuraini Tutup Usia dengan Indah