(Panjimas.com) — Ketua Umum GP Ansor mengklaim pembakaran bendera HTI merupakan upaya menjaga kalimat tauhid. Dia menegaskan, tindakan belasan anggota Banser di Garut itu justru sebuah penghormatan terhadap kalimat Tauhid dan bukan perbuatan salah. Bendera itu lebih baik dibakar daripada ada pihak lain yang menaruh di tempat yang tidak semestinya. (CNNIndonesia.com, 22/10)
Subhanallaah. Berbagai rasa menano-nano menyaksikan video pembakaran bendera tauhid ini. Geram. Marah. Sedih. Kasihan. Kasihan? Yup. Kasihan banget sama oknum kelompok yang membakar bendera ini. Kebencian mengubun-ubun terhadap saudara seaqidahnya di HTI telah melumpuhkan rasa. Membutakan mata.
Saking ingin menguatkan branding dan positioning sebagai haters HTI, maka segala benda yang mereka nisbatkan sebagai “punyanya” HTI pun dimusuhi.
Masih ingat saat mereka menghadang ceramah Ustaz Abdul Somad beberapa waktu lalu? “Hanya” karena ada tim ustaz yang memakai topi bertuliskan kalimat tauhid. Yang mereka klaim sebagai topi HTI.
Masyaa Allah. Dari peristiwa ini justru topi tauhid jadi nge-hits. Bahkan seorang artis icon hijrah mengadakan tauhid challenge yang memotivasi anak muda Muslim pede mengenakannya. Jadilah booming dimana-mana.
Lagian, ngapain parno amat sih sama HTI? Sampai sebel juga dengan bendera tauhid yang dianggap sebagai bendera HTI? Wong HTI juga nggak pernah nge-klaim itu sebagai benderanya kok. Dalam tiap kesempatan, HTI justru menyampaikan bahwa bendera tauhid adalah milik kaum Muslimin. Atas izin-Nya, kini bendera tersebut dikenal dan diterima oleh berbagai kalangan kaum Muslimin.
Kalau ingin menjaga kalimat tauhid, bukan bendera tauhid yang dibakar kaliiii… Mbok yao dicuci, dikasih pewangi, dijemur, disetrika, dilipat, dimasukkan lemari.
Demi menjaga kemuliaan panji Rasulullah ini, seorang Mush’ab bin Umair telah rela mengorbankan nyawa. Dalam Perang Uhud, beliau mempertahankan agar bendera tauhid tidak jatuh ke tanah hingga tangan kanannya putus tertebas pedang lawan. Lalu ia ambil dengan tangan kiri hingga ditebas oleh pasukan kafir. Kemudian menelungkupkan bendera itu di dada dan lehernya. Hingga beliau menemui syahid.
Lha hari ini… Ada yang ngaku menjaga kalimat tauhid tapi dengan membakar bendera yang bertuliskan kalimat tauhid. Duuh.. Jaka Sembung naik troli. Nggak nyambung sama sekali.
Alih-alih menuai tepuk tangan kaum Muslimin, ulah sekelompok “oknum” ini justru berbuah kemarahan umat. Dalam sebuah tayangan video, pemuka ponpes Nurul Huda Garut menyatakan sangat kecewa dan marah terhadap pembakaran bendera tauhid apapun alasannya. Kata beliau, “yang jelas yang dibakar adalah laa ilaha ilallah Muhammadurrasulullah. Pembakaran ini akan menyakiti umat Islam di seluruh dunia.” Nah lho…
Bukankah kita hidup dengan kalimat ini, dan akan mati dengannya? Bahkan kain penutup keranda jenazah di Indonesia biasanya juga bertuliskan kalimat tauhid ini. Lantas, mereka hidup saat ini dan kelak mati dengan kalimat apa?
Gemes, boleh. Geram, silakan. Tapi jangan meninggalkan kebencian. Sadarilah! Sebagaimana kita, mereka pun korban. Korban adu domba. Upaya pecah-belah umat Islam. Strategi pengkotakkan sekaligus pembenturan kelompok yang dinamai Islam fundamentalis dengan Islam tradisionalis.
Cuma bedanya. Kita “ngeh” jika tengah diadu. Sedang mereka nggak nyadar juga dari dulu. Kasihan kan. Jadi, nggak usah ada caci maki, dikatain kasar, dido’ain jelek. Meski asli telah bikin sesek di hati.
Semoga pihak berwajib segera memproses kriminalisasi simbol Islam ini. Sebagaimana sigapnya polisi di Nganjuk Juni lalu saat menetapkan tiga tersangka pembakaran bendera NU.
So, jika Allah mudahkan, semoga ada jalan untuk kita menunjukkan dan bergandengan. Kelak, mudah-mudahan mereka pun merasakan rasanya “lelah berpisah, mari berjama’ah.”
Salam tauhid, Salam ukhuwah.
Penulis, Puspita Satyawati