(Panjimas.com) – Saban hari, anak Indonesia disuguhi pemandangan sampah terserak di mana-mana. Kalo aja itu daun-daun kering yang gugur dari ranting, indahnya bisa diterima. Ia karya seni alami yang wajib disyukuri adanya. Karna, itu bagian dari rangkaian rantai makanan. Dedaunan yang jatuh ke tanah lama-lama bakal terurai oleh bakteri lalu menyuburkan tumbuhan.
Tapi nyatanya bukan itu. Wajah kota-kota di Indonesia kian berkurang pepohonannya, berganti pabrik-pabrik dan pertokoan. Yang terserak nggak keruan bukan lagi dedaun kuning yang tanggal dari reranting, melainkan benda-benda asing hasil rekayasa teknologi yang asalnya dari pabrik-pabrik dan pertokoan itu.
Apakah sampah nggak alami itu bakalan bikin tanah jadi subur kayak halnya dedaunan yang gugur? Tentu aja enggak! Sampah anorganik itu bakal berperan sebagai racun ekosistem.
Di kawasan tepian urban, sampah rumah tangga belum tersentuh tangan dinas yang berwenang. Padahal gaya hidup mereka meniscayakan membludaknya sampah industri dan perdagangan: sampah anorganik yang nggak bakalan bisa terurai dalam hitungan bulan. Penduduk yang nyaris semuanya belum faham ilmu lingkungan, nggak ngeh soal dampak negatif sampah plastik, styrofoam, spon, dan sebagainya, terhadap keselamatan masa depan; nyoba berinisiatif sendiri. Bahasa klise yang bertengger di benak mereka adalah: “Yang penting sampah gue udah nggak lagi ada di rumah!” Mereka mengekspresikan “jargon” itu dengan membuang sampah ke mana suka asalkan nggak lagi berada di lingkungan rumahnya. Di pinggir sawah, tepi jalan, dilempar ke sungai dari atas jembatan.
Apakah Antum, anak muda Muslim Indonesia, nganggep fenomena ini sebagai kewajaran yang baik-baik aja? Kayaknya sih iya. Mana ada remaja masjid yang mau menyingsingkan lengan baju, ambil langkah maju menindak tegas kelakuan nggak beradab itu? Yang ada dan banyak sih remaja masjid yang berkelakuan sama kayak mereka! Astaghfirullah…
Yuk kita renungi hadits di bawah ini. Imam Muslim meriwayatkan:
“Seseorang melewati dahan pohon yang melintang di atas jalan, lalu ia berkata, ‘Demi Allah, sungguh, aku akan menyingkirkan dahan ini dari jalan kaum Muslim agar tidak mengganggu mereka.’ (Berkah amalan sederhana itu) orang ini pun lantas dimasukkan ke dalam surga. (Hr. Muslim).
Dalam Islam, menebang pohon, bahkan memangkas dahan sekalipun, ada adabnya. Kita nggak boleh sembarangan merusak atau membinasakan tumbuhan. Pemotongan mesti dimaksudkan untuk tujuan yang berguna, dan salah satu alasan pembolehan memotong dahan adalah karna tuh dahan udah merintangi jalan.
Nah, kalo dahan pohon aja, yang sebenernya bermanfaat buat kehidupan –minimal sebagai penghasil oksigen buat bernafas makluk hidup, boleh dibinasakan biar nggak mengganggu lalulintas, gimana dengan sampah hasil ulah tangan manusia? Tentu Islam sangat menekankan untuk mengelolanya dengan baik biar nggak mengganggu kepentingan umum apalagi merusak alam yang Allah ta’ala anugerahkan buat hamba-hambaNya di dunia!
Sampah yang dibuang sembarangan nggak cuman ganggu lalulintas, tapi juga merusak keindahan pemandangan –padahal Allah ta’ala Mahaindah dan cinta akan keindahan. Sampah anorganik yang dibuang sembarangan juga bisa terhanyut air hujan lalu menyumbat selokan. Akibatnya aliran air tersendat dan terjadilah genangai air kotor. Dan kalo sampah terhanyut dan masuk ke perairan –sungai, danau, waduk, maupun laut; ia bakalan jadi racun mematikan buat spesies perairan yang banyak banget macemnya. Dan kalo sampah anorganik dibakar, ia bakal jadi racun udara yang merugikan kesehatan manusia, hewan, maupun tumbuhan yang menghirupnya.
Jadi artinya, persoalan sampah nggak boleh dipandang remeh. Udah semestinya anak muda Muslim melakukan gerakan amar ma’ruf nahi munkar dalam hal persampahan dan kebersihan lingkungan. Kita mesti faham kalo amar ma’ruf nahi munkar nggak cuman menyentuh dunia minuman keras dan pelacuran. Nyampah seenaknya pun merupakan maksiat kepada Allah ta’ala yang sangat menghancurkan masa depan. Jangan dilewatkan!
Wallahu a’lam. [IB]