(Panjimas.com) – Di sebuah kota yang konon jadi pusat kelahiran gerakan-gerakan Islam, yang semangat juangnya masih aja berapi-api sampe kini, nggak cuma sekali, dalam pemilihan kepala pemerintahan, calon dari kubu Islamis kalah. Dan saat ini nih, kota itu dipimpin seorang Katholik.
Kabar teranyar yang baru aja beredar, sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkemuka di negeri mayoritas Muslim ini, dalam pemilihan Presiden BEM, calon dari kubu Islamis kalah. Jabatan strategis ini pun jatuh ke tangan seorang Kristen.
Kita kaum muda Muslim tentu harus ambil hikmah dari kejadian ini. Cobalah kita cari apa sebab yang bikin ini terjadi. Bukankah mayoritas penduduk kota itu Muslim? Iya. Bukankah mayoritas mahasiswa universitas itu Muslim? Iya. Lalu kenapa gini kenyataannya?
Orang-orang rame ngomongin ini. Mereka meniliknya dari kacamata politik, dari kacamata statistik. Di sini, kita bakal nyoba ngebikin kabar ini jadi bahan introspeksi. Kita tilik kekurangan apa yang ada pada diri, yang ada pada kaum Muslim, terkhusus kaum mudanya kini. Secara umum aja, nggak men-judge pihak tertentu.
Penulis nggak sedikit bergaul sama mahasiswa. Dari sana, penulis menyaksikan gimana sikap mental kebanyakan mereka. Berinteraksi dengan dosen juga iya. Dan dari sana, terbaca juga gimana sikap mental mereka. Yang ternyata, ada dinding yang memisahkan antara “kaum intelektual” (dalam tanda petik ya) ini sama aktivitas yang dianggap oleh mereka sebagai pekerjaan sepele dan rendahan.
“Kaum intelektual” emang pinter berteori. Aktivis mahasiswa Muslim kita akui lincah berorasi. Pegiat dakwah kampus rajin bikin event “islami” (tanda petik lagi ya). Tapi mereka alergi melakukan aktivitas yang mereka anggap sepele dan rendahan. So, apa-apa yang mereka lontarkan itu nggak terejawantahkan di lapangan. Teori dan simbol doang! Dosennya pun nggak beda. Demi keperluan sertifikasi, mereka harus bikin kegiatan pengabdian masyarakat. Tapi apa bentuknya? Ternyata cuma formalitas aja. Nggak ada manfaatnya, yang penting ada yang bisa dilaporkan.
Contoh aja dalam sebuah diskusi ringan yang ada penulis di sana. Seorang mahasiswa diminta mengajukan konsep sebuah taman kota. Dibeberkanlah olehnya gambaran sebuah taman futuristik yang entah di mana itu adanya. Lalu apa tindakan dia? Ya cuman presentasi aja. Rupanya, besar dana dan dampak sosial-ekologis, serta dampak-dampak lainnya luput dari perhatiannya. Andai aja si mahasiswa mengusung konsep sangat sederhana dan ia mau turun tangan untuk memulainya: mencangkul, membuang sampah dan brangkalan, dan memanfaatkan benda-benda buangan untuk dibikin komponen taman, penulis yakin bakal jauh lebih besar kemungkinan terlaksananya.
Rupanya kaum Muslim dan terlebih kaum mudanya butuh diingat-ingatkan lagi kalo yang dibutuhkan masyarakat adalah bukti nyata, bukan janji utopis yang nggak pernah ada wujudnya. Mimpi tinggi sih boleh banget, bahkan harus. Tapi itu kan capaian jangka sangat panjang. Kita mesti sadar bahwa untuk mencapainya diperlukan proses yang nggak sederhana. Dakwah juga gitu, diperlukan proses yang lama banget, bahkan turun temurun. Kita yang bekerja, baru cicit kita yang menuai hasilnya. Kini kita bisa saksikan kaum Muslim mendominasi Nusantara, padahal dahulunya wilayah ini dikuasai kaum musyrik. Apakah perubahan ini terjadi dalam sekejap? Ah, enggak bangetlah. Perubahan ini butuh proses berabad-abad!
Kaum muda Muslim saat ini harus sadar diri bahwa kita nggak bakalan maju pake cara mengabaikan proses: nggak mau turun tangan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sekilas tampak sepele dan rendahan. Andai aja para aktivis mahasiswa Muslim di sebuah perguruan tinggi mau melakukan pekerjaan-pekerjaan “rendahan” dalam kerangka bijak nyampah, bijak jajan, bijak bertransportasi, bijak energi, dan sangat menjaga kebersihan lingkungannya, penulis yakin masyarakat kampus dan masyarakat luas akan memilihnya jadi pemimpin. Ingat, semua pelaksanaan bijak-bijak itu berbentuk aktivitas-aktivitas yang sering dianggap sepele dan rendahan.
Ingat, dunia butuh peran perbaikan, bukan teori dan orasi tanpa bukti di lapangan. Dan ingat juga, sejatinya kitalah yang seharusnya tampil terdepan melakukannya di tengah hiruk pikuk kehidupan.
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. (Karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah …” (Ali ‘Imran: 110).
Wallahu a’lam. [IB]