(Panjimas.com) – Saban tanggal 28 Oktober bangsa Indonesia memeringati peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi pada 1928. Waktu itu, sejumlah muda-mudi negeri yang terjajah berkumpul menyatakan tekad bersama. Tekad untuk jadi satu bangsa dengan satu bahasa dan satu tanah air, Indonesia. Intinya, kawula muda waktu itu ngajak diri masing-masing kenal jati dirinya. Lalu menegaskan dan memroklamirkannya dalam sebuah naskah yang dibaca bareng, kompak, serempak.
Jati diri itu penting banget lho. Sebenernya ia dimiliki setiap individu. Tapi lucunya, banyak banget orang yang nggak mau tau. Mereka yang nggak kenal dirinya dan nggak punya usaha buat mengenali diri, biasanya cuma jadi bayangan orang lain. Kalo dalam lingkup yang lebih besar ya jadi bayangan komunitas lain atau negara lain. Serasa nggak berharga banget, bukan, kalo hidup cuma jadi bayangan? Padahan Allah subhanahu wa ta’ala udah ngasih bekal tiap makhlukNya potensi diri yang bersifat unik, beda satu dengan yang lain.
So, kalo seorang hamba sampe nggak kenal dirinya dan nggak mau mengenali dirinya sendiri, berarti ia nggak mensyukuri potensi diri yang Allah ta’ala berikan. Betul? Terus, apa kita mau kayak gitu? Enggak banget, dong!
Yup, setiap anak muda Muslim mesti kenal siapa dirinya, kenal potensi dirinya, kenal kekuatan dan kelemahannya, dan punya cita-cita berbasis potensi yang dimilikinya. Gitulah harusnya!
Allah subhanahu wa ta’ala sengaja bikin keberagaman, bukan keseragaman. Tiap individu makhluk atau komunitas makhluk dicipta dengan keunikan tersendiri, karna setiap keunikan itu bermanfaat buat kehidupan secara utuh di alam raya. Islam mendorong umatnya hidup berjama’ah, bersinergi dengan makhluk Allah yang lainnya. Nggak cuma dalam lingkup manusia aja, dengan alam semesta pun kita harus bekerja sama.
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (az-Zukhruf: 32).
Manusia adalah makhluk yang Allah ta’ala desain paling sempurna. So, kita mesti mensyukuri itu dengan cara mengelola (memanfaatkan dan merawat) kehidupan di alam dunia dengan bijaksana. Bukan malah merasa serba bisa dan berkuasa, terus bertindak eksploitatif yang akibatnya alam rusak binasa. Dengan potensi diri yang dimiliki, hendaknya kita ngasih sumbangsih kebaikan dalam kehidupan. Tampil di tengah makhluk yang heterogen sebagai pelopor penegak kebenaran, penebar kebaikan, pencegah kerusakan. Gitulah seharusnya Muslim, bukan malah jadi tukang ikut-ikutan.
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ….” (Ali Imran: 110).
Mental ikut-ikutan adalah tanda lemahnya jiwa yang Allah ta’ala membencinya.
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.” (Ali Imran: 139).
Bahkan kelakuan ikut-kutan tanpa sikap kritis adalah identitas komunitas kafir masa lampau yang kolot.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).’ Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 170).
Ayat senada tentang itu adalah al-Maaidah: 104 dan Luqman: 21. Kayak gitulah potret penentangan kebenaran karna sikap kolot ikut-ikutan.
Akhirnya, kita udah terima pesan berharga dari Hari Sumpah Pemuda: kenal jati diri, pede jadi diri sendiri, dan nggak sudi jadi bayangan pihak lain. Kalo generasi mudanya udah begitu, insya Allah Indonesia yang adalah negeri Muslim terbesar di dunia ini bakal kian berkemajuan, mandiri, nggak dicurangi bangsa asing penganut ideologi keserakahan.
Wahai muda-mudi Muslim Indonesia, ayo sinergikan potensi diri kita untuk bangkit bersama!Wallahu a’lam. [IB]