(Panjimas.com) – Musim hujan membayang, gerimis datang kadang-kadang. Rumput kering tepi jalan hadirkan warna lain kuatkan kesan kesegaran. Hijau-hijau menepis pandangan silau.
Dedaun muda ingatkan kita akan realitas tanah air Indonesia. Negeri agraris, kata bapak ibu guru di depan para muridnya. Tapi mengapa banyak anak muda cuek padanya? Ada yang nggak beres rupanya.
Kawula muda Indonesia selalu bersih jemarinya. Hanya gadget dikenalnya. Bilapun boleh belepotan, hanya saus yang diizinkan. Jajan bareng temen-temen sambil ngobrolin produk impor teranyar sampe lupa dari mana asal-usul makanan yang ditelan. Sebuah realitas kekinian.
“Sebenernya saya maunya arsitektur. Tapi bapak nggak ngizinin saya kuliah di swasta. Dia penginnya saya di negeri. Dan di sana keterimanya di pertanian,” kata seorang mahasiswa saat penulis ngobrol sama dia. Sebuah gambaran kalo bertani adalah pekerjaan yang sangat nggak menarik di mata anak Indonesia. Termasuk penulis, waktu remaja dulu sama sekali nggak kepikiran pengin jadi petani kayak ortu, karna menganggap bertani itu nggak ada kerennya sama sekali. Barulah setelah belajar dan belajar, akhirnya sadar kalo pekerjaan petani di negeri ini sejatinya mulia. Walau saat ini penulis belum terjun beneran ke dunia pertanian karna kendala jarak tempuh dari tempat tinggal ke lahan ortu, tapi menanam dan merawat sedikit tanaman sebagai hobi udah enjoy dilakukan di halaman.
Btw, itu terjadi sebab dorongan kesadaran. Sadar kalo realitas geografis negeri kita adalah kesuburan. Tanah subur adalah karunia sangat besar dari Allah ta’ala yang wajib kita respon dengan syukur. Syukur yang jujur, yang mewujud sebagai tindakan, aksi nyata, nggak cuma kata.
Penulis melihat kawula muda (Muslim) negeri ini lucu sekali. Mereka suka jajan aneka makanan, tapi ngerasa alergi sama tanah dan tanaman. Dan lebih lucunya lagi, banyak orang melihat itu sebagai realitas yang baik-baik aja, no problem, nggak dosa. Yah, mungkin aja otak orang-orang itu lagi “bobok”. Kalo orang otaknya melek, jalan, ia pasti memandang kenyataan kayak gini sebagai persoalan besar kehidupan. Kamu termasuk yang mana, nih?
Yuk, kita coba pikirin. Kalo kita para generasi muda negeri agraris ini nggak mau tau soal pertanian, bukankah selamanya bangsa ini nggak bakal punya kemandirian? Apa-apa impor, padahal utang negara banyak. Kedelai aja impor, padahal kita bisa nanem sendiri. Impor gandum besar banget, sementara kita nggak kenal sama yang namanya uwi, gembili, suweg, ganyong, yang itu semua umbi-umbian lokal yang kaya manfaat. Astaghfirullahal ‘adziim… Apa kita mau ngaku udah bersyukur kalo kenyataannya kayak gini? Kita mesti segera tobat!
Mental bangsa tuh dibangun dari bawah. Kalo anak mudanya aja dikit-dikit jajan padahal motornya cicilan, ya wajar kalo negaranya dikit-dikit impor padahal utangnya selangit.
Udah saatnya kita sadar diri, bartobat dari menganggap petani sebagai kaum rendahan, terbelakang. Bertobat dari menganggap dunia pertanian sebagai ranah orang-orang bodoh nggak kenal sekolahan. Kita mesti kritik anggapan itu. Kita harus tegaskan kalo sebenernya anak Indonesia yang nggak mau tau soal pertanianlah yang bodoh dan terbelakang secara intelektual, emosional, maupun spiritual!
Bertani dan menanam adalah pekerjaan utama dalam kehidupan. Coba bayangin, kalo nggak ada petani, kita mau makan apa? Makan smartphone? Hahaha… Bahkan saking pentingnya pekerjaan menanam, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda pake bahasa yang amat dalam.
“Sekiranya hari kiamat sudah akan terjadi, sedang di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma, apabila ia mampu menanam sebelum terjadi kiamat itu, hendaklah ia menanamnya!” (Hr. Ahmad, ath-Thayalisi, dan Bukhari).
Mudahnya gini aja. Kita kaum Muslim Indonesia ini udah dikaruniai sama Allah ta’ala nikmat yang besar banget, yaitu wilayah yang cucok banget buat bertani. So, yuk kita syukuri nikmat ini. Okey?!
Wallahu a’lam. [IB]