(Panjimas.com) – Suatu malam di tepi jalan utama sebuah kota, serombongan anak muda kongkow-kongkow sembari ngobrol dan bercanda. Di depan mereka belasan motor diparkir rapi, kayak lagi dipajang di showroom ngantri dibeli. Tapi bukan motor baru, semua motor usang rakitan dua puluhan tahun silam.
Obrolan nggak jelas terus mengalir. Sampai jalan sepi, belum juga mereka pergi. Terus ngobrol dan bercanda, asap rokok jadi bumbunya.
Apa yang mereka obrolin? Biasa, anak muda. Cewek adalah bahan obrolan yang nggak pernah ada habisnya. Gadget jadi obrolan selingannya. Yang hobi bola, benda bulat itu bikin mata terus kebuka. Dan yang pasti, ada satu topik yang nggak terlupa: benda yang dipajang di depannya, serba-serbi motor tua.
Lalu lintas makin sepi, nggak terasa tengah malam terlewati. Canda tawa masih menggema, rokok kepulkan asap bagai dupa. Apa mereka sudah shalat Isya’? Entah. Emang mereka Muslim? Siapa lagi, bukannya penghuni negeri ini hampir semuanya Muslim? Tapi kayaknya saat terdengar azan Isya’, mereka udah nongkrong di sana. Lalu kapan shalatnya?
Apa yang tersirat di benakmu kebayang peristiwa itu? Adakah kegiatan mereka ngasih pengaruh baik buat kehidupan ini? Apakah kongkow-kongkow kayak gitu pantas jadi kebiasaan anak muda Muslim yang kelak adik-adik dan anak-anaknya bakal menirunya?
Kamu generasi muda Muslim yang nggak asing sama majelis taklim. Kamu sering mendatanginya. Kamu anak muda Muslim yang sering baca buku dan majalah remaja Islam, baca artikel dan meme “islami” yang ditebar di grup WA. Bahkan kamu aktivis dakwah kampus, anak Rohis, remaja masjid. Penulis optimis kamu bakal jawab: enggak!
Nongkrong sama anak-anak geng motor cuma buang-buang waktu aja. Ketimbang nongkrong di pinggir jalan, mending ngaji dapet pahala. Itu yang ada di benakmu, bukan? Bagus dong, karna Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam emang nasihatin kita agar manfaatin masa muda sebaik-baiknya; buat beraktivitas yang berguna.
“Gunakanlah lima masa sebelum datang lima masa: muda sebelum tuamu, sehat sebelum sakitmu, kaya sebelum fakirmu, luang sebelum sibukmu, dan hidup sebelum matimu.” (Hr. Hakim).
Alhamdulillah kalo kamu udah bisa berfikir gitu dan nggak pengin ikut-ikutan nongkrong di pinggir jalan. Tapi… apakah kejelekan anak nongkrong itu mutlak, tetep jelek dipandang dari sisi mana pun juga? Nah, ini yang perlu kita coba, menatap mereka dari sisi yang berbeda. Dari pemandangan berkesan negatif itu, adakah inspirasi positif yang bisa diambil?
Anak muda pehobi motor tua punya kelebihan dari penunggang motor baru. Pemake kendaraan tua dituntut keadaan untuk mau kerja keras, mandiri, kreatif, dan sabar.
Pengguna motor tua mau nggak mau mesti ngasih perhatian lebih pada tunggangannya. Namanya kendaraan yang udah dipake selama dua puluhan tahun, wajar kalo sering rewel, nggak kayak motor baru yang tokcer selalu.
Anak muda pehobi motor tua punya passion di sana. Passion bikin mereka serius merawat tunggangannya. Nyari tau sebabnya saat terjadi masalah, lalu nyari solusinya. Mereka dituntut kerja keras dan mandiri, mengerahkan daya pikirnya, memainkan jemarinya buat mengotak-atik motor sendiri. Dekil-dekil mereka nikmati.
Artinya, motor tua adalah pemantik kreativitas pemiliknya. Daya kreasi akan tumbuh dari tantangan pembenahan kendaraan. Dan proses itu butuh kesabaran. Kadang kala, kerusakan motor tua nggak bisa diperbaiki sesuai pakemnya, karna suku cadang yang langka. Pemiliknya dituntut nyari solusi alternatif, dan dari situlah tumbuh jiwa kreatif. Dan sekali lagi, kerjaan ini butuh kesabaran.
Motor tua bak kiai yang mendidik santri agar berjiwa sabar, tangguh, nggak cengeng, dan out of the box. Ia memantik daya pikir untuk keluar dari keumuman, menempuh jalan sunyi menuju dunia inovasi. Jiwa-jiwa kayak ginilah yang dibutuhkan peradaban Islam dalam menghadapi tantangan zaman!
Sadar atau enggak, sejatinya anak muda pehobi motor tua udah mengamalkan gaya hidup kreatif dan mandiri kayak yang Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam contohkan.
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertutur, “Beliau melakukan seperti apa yang salah seorang dari kalian lakukan saat membantu istrinya. Beliau membenahi sandalnya, menjahit bajunya, dan membawa air dengan bejana.” (Hr. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban 5676).
Inspirasi berikutnya adalah ukhuwah. Berkomunitas, cara itu bikin jaringan persahabatan kian luas. Solidaritas terbangun karna satu sama lain saling nyambung. Mereka tulus berbagi informasi dan bantu temen yang motornya bermasalah. Saling membantu dalam kebaikan adalah perintah Allah ta’ala (Baca: al-Ma’idah: 2).
Nggak cuma itu, kalo mau mengeksplore lebih luas dan dalam lagi, insya Allah masih ada inspirasi-inspirasi positif lain yang bisa kita dapetin dari motor tua dan pemiliknya.
Generasi muda Muslim yang bijak, yang ingat bahwa ayat-ayat Allah ta’ala terhampar di sekujur jagat raya, seyogianya nggak ngerasa cukup dengan menatap sesuatu dari satu sisi aja, karna itu membentuk jiwa jumud; ngerasa paling bener padahal keblinger.
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkannya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.” (al-Baqarah: 164).
Begadang semalaman sampe mengesampingkan shalat emang sebentuk keburukan. Ngobrol ngalor-ngidul sambil mengotori alam dengan asap, puntung, dan bungkus rokok, adalah perbuatan saudara setan (Baca: al-Isra’: 27). Nggak pantas anak muda Muslim melakukannya.
Tapi sekali lagi, ngerasa cukup menatap peristiwa dari satu sisi aja juga bukan tindakan yang pantas dilakukan oleh Muslim, apalagi aktivisnya. Lebih-lebih kalo kemudian memunculkan jurang pemisah antara aktivis dengan awam. Wallahu a’lam. [IB]