(Panjimas.com) – Kehidupan ini nggak stagnan, ia dinamis terus alami perubahan. Nama hari terus berputar, angka tahun terus berganti. Sejalan itu, teknologi berkembang tanpa henti.
Tengok masa silam, nampaklah tonggak peralihan teknologi dari primitif ke berkemajuan. Adalah Revolusi Industri, perubahan besar metode kerja di berbagai bidang kehidupan. Pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, telekomunikasi, dan lain lagi. Kereta yang semula ditarik kuda, berganti mesin uap memutar rodanya. Berkirim surat diganti telepon dan telegraf.
Ketika peran otot digantikan mesin, waktu seolah berjalan begitu cepat; jarak jauh serasa dekat. Hajat hidup manusia terpenuhi lebih mudah, berkurang keharusan bersusah payah.
Revolusi Industri terjadi nun jauh di negeri Inggris pada kurun 1750-1850 Masehi. Kini, teknologi yang waktu itu dianggap canggih luar biasa, oleh anak sekarang dianggap ketinggalan zaman. Yup, karena zaman berjalan maju dan teknologi pun begitu.
Perubahan teknologi pada masa itu maupun kini, di samping ngasih keuntungan buat manusia, ia juga mengancam jiwa. Budaya proses yang mendidik hati jadi penyabar dan pejuang, berubah budaya instan yang melemahkan rasa syukur, sabar, dan semangat juang. Alam dunia yang semula bersih penuh keindahan, jadi tercemar dan mengganggu kesehatan. Artinya, perkembangan teknologi nggak melulu berbuah berkah, ia pun hadirkan musibah.
So, teknologi mesti terus dikembangkan dari hari ke hari. Yang udah ada harus terus dievaluasi. Sisi positifnya dikembangkan dan sisi negatifnya dikikis mesti nggak bisa habis.
Inovasi bakal muncul secara alami dengan adanya evaluasi. Ia lahir dari rahim akal-akal brilian yang berdarah perjuangan. Manusia, terlebih para generasi muda jadi harapan dunia untuk terus membangunnya. Dan dalam membangun inovasi, mujahadah (kesungguhan) wajib adanya.
Muslim adalah umat terbaik yang Allah ta’ala pilih sebagai yang terdepan dalam mengambil langkah perbaikan.
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ….” (Ali Imran: 110).
Menurut pakar lingkungan, pemikiran manusia tentang lingkungan hidup mengalami empat tahap. Ekosentris (mengalah pada fenomena alam), transisi (ragu-ragu), antroposentris (menganggap alam harus takluk demi kepentingan manusia), proporsional (faham ideal yang berdasar konsep Islam).
Kerusakan lingkungan dan budaya akibat teknologi yang dikembangkan manusia ditengarai secara dominan disebabkan oleh faham antroposentrisme. Karna ngerasa kalo alam semesta dicipta buat kepentingan manusia, si penganut paham ini bertindak sewenang-wenang demi mengumbar keserakahan. Akibatnya alam dan budaya baik yang ada di zaman salaf dulu terus terkikis, hingga kerusakan alam dan budaya di era modern ini udah dalam taraf menghawatirkan. Pencemaran air, darat, dan udara; kebobrokan moral manusia yang cenderung materialistis dan lupa tujuan hidupnya. Itulah dampak buruk teknologi antriposentris. Obatnya adalah faham ideal berdasar konsep Islam yang mengajarkan bahwa manusia hidup bertugas sebagai khalifah. Khalifah itu sifatnya mengelola, mengayomi; bukan bertindak arogan penuh kezaliman.
Sadar akan hal ini, kita generasi muda Muslim hendaknya bersemangat dalam menggali ayat-ayat Allah ta’ala, baik yang difirmankan maupun ditebar di alam. Generasi muda Muslim yang notabene sadar kalo eksistensinya di dunia adalah buat membangun kehidupan yang beradab sebagai wujud ibadah kepada Allah ta’ala, diharapkan mampu menguasai secara mendalam bidang-bidang kehidupan sesuai minat dan bakat masing-masing. Dengan begitu, inovasi teknologi beradab: berwawasan lingkungan dan bermoralitas tinggi, akan terus tercipta. Dunia yang udah penuh luka ini sangat mengharapkannya. Dunia butuh teknologi penghadir berkah, bukan pengundang musibah. Yuk, kita kerjakan PR ini! Wallahu a’lam. [IB]