(Panjimas.com) -“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Pernah denger kalimat di atas? Pernah dong mestinya. Itu kan bunyi alenia ke-3 Pembukaan UUD 1945. Inget, kan..?
Alhamdulillah, kita ucapkan. Karna apa? Karna dari kalimat itu, kita bisa fahami kalo para pejuang kemerdekaan negara kita waktu itu, khususnya mereka yang menyusun naskah Piagam Djakarta, sadar kalo kemerdekaan Indonesia itu karunia Allah ta’ala sebagai wujud kasih sayangNya kepada penduduk Nusantara yang nota bene Muslim. Loh, kok Piagam Djakarta, apa hubungannya? Hmmm… pada belum tau ya? Pembukaan UUD 1945 tuh awalnya dinamakan Piagam Djakarta atau Djakarta Charter, gitu…
Nenek moyang kita tuh, selama tiga ratus tahun berjuang melawan penjajah sebagai ikhtiar menggapai kemerdekaan ini. Artinya, bangsa Nusantara sebagai hamba Allah ta’ala udah melaksanakan tugas kemanusiaannya yaitu berikhtiar mengusir penjajah. Tentu aja tindakan itu dibarengi doa, dong. Terus, Allah ta’ala-lah yang menentukan hasilnya, yaitu kemerdekaan.
So, kemerdekaan Indonesia adalah nikmat Allah ta’ala buat bangsa Indonesia yang wajib disyukuri. Syukur adalah mendayagunakan nikmatNya sesuai tata aturanNya, nggak semau gue. Nah, sebagai anak muda Muslim Indonesia, kita wajib ngeh sama yang kayak gini, nih.
Hal lain yang juga mesti kita fahami adalah, perjuangan menggapai kemerdekaan tuh melibatkan peran besar banget dari para ulama. Para ulama di zaman perjuangan jadi penggerak utama perjuangan mengusir penjajah karna usaha itu nggak semata cuman dalam rangka bela negara, lebih dari itu adalah demi pertahankan iman, demi membela agama Allah ta’ala!
Kalian tau sejarahnya, kan? Orang-orang Eropa waktu itu datang ke bumi pertiwi nggak cuman buat menjarah sumber daya alam (Gold) dan merebut wilayah Nusantara (Glory), tapi mereka juga punya misi menyebar agama Kristen (Gospel) di tengah kaum Muslim Nusantara.
Salah seorang ulama yang sempat mencecap rasa perjuangan kemerdekaan, Kiai Wahid Hasyim, menegaskan kalo perjuangan para pahlawan tuh nggak cuman demi tanah air, tapi lebih dari itu adalah demi agama. “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”
Perjuangan mengusir penjajah dari bumi pertiwi nyata berupa paduan antara goresan tinta ulama dan kucuran darah syuhada. Salah satu contohnya adalah Syekh Abdul Shamad al-Palimbani (1704-1789). Meski menetap di Makkah, tapi ia peduli banget sama perjuangan Muslim Sumatra dan mendorong mereka berjihad melawan penjajah. Kitab Nashihah al-Muslim wa Tadzkirah al-Mu’minin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah wa Karamah al-Mujahidin fi Sabilillah yang berisi fadhilah jihad, ditulisnya. Kitab itu lalu jadi rujukan utama berbagai tulisan tentang jihad dalam Perang Aceh (1873 sampai awal abad ke-20). Bahkan Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-1629M), misalnya, selain ngajar agama, ia juga jadi panglima perang. Sejarah mencatat ia pernah memimpin sekitar 4.000 pasukan di Jawa Barat. Hebat, kan?
So, kaum muda Muslim Indonesia mesti ngerti sama sejarah kayak gini. Kalo udah ngerti, harapannya mereka bakalan mampu menempatkan diri dengan tepat, bersikap dengan bijak. Ngisi kemerdekaan enggak dengan mengadopsi atau ikut-ikutan gaya hidup materialistik ala Barat yang dampaknya adalah menghancurkan tanah air dan bangsa. Dan tiap bulan Agustus, nggak disibukkan sama kegiatan simblolik yang udah usang: memasang aneka hiasan di jalan dan bikin aneka pertunjukan hiburan. Kaum muda Muslim Indonesia mestinya berfikir kritis dan berkarya yang jauh lebih bermutu ketimbang tradisi usang yang cuman buang-buang uang, tenaga, dan waktu, yang semua itu bakal dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak!
“…. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra’: 36).
Wallahu a’lam. [IB]