(Panjimas.com) – Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan kabar seorang remaja yang bunuh diri karena dimarahi ibunya lantaran nilai ujiannya jelek. Ini sungguh perkara yang memrihatinkan banget, dan generasi muda Muslim perlu nyoba memahami keapa hal itu sampai terjadi?
Kejadian ini jadi bukti nyata kalo prestasi simbolik berupa nilai ujian masih diposisikan sebagai hal utama di dunia pendidikan. Ia jadi tujuan belajar siswa, jadi motivasi orang tua menyekolahkan anaknya. Apakah Islam mengajarkan pemahaman kayak gini, mengajarkan prestasi simbolik sebagai tujuan belajar?
Yang ada adalah Islam mewajibkan umatnya menimba ilmu sedalam-dalamnya.
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim (laki-laki dan perempuan).” (Hr. Ibnu Majah).
Ilmulah yang bermanfaat buat membangun peradaban umat manusia. Ia jadi bekal hamba Allah ta’ala dalam menunaikan tugasnya sebagai khalifah di alam dunia, mengelola sumber daya yang Allah sediakan di alam semesta agar dapat didayagunakan dengan tepat sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan berkelanjutan, lingkungan yang lestari. Karena sebegitu pentingnya ilmu dalam kehidupan, pantaslah kalo Allah ta’ala ngasih kemuliaan buat para ahli ilmu.
“…. Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujadalah: 11).
Sejarah udah bilang dan akal sehat menerima, kalo segala sesuatu yang baik cuma bisa diraih secara optimal kalo ikhtiarnya pakai ilmu yang benar.
“Barang siapa menginginkan dunia, hendaklah dengan ilmu.Barang siapa menginginkan akhirat, hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan keduanya, hendaklah dengan ilmu.” (Hr. Muslim).
Di mata Allah subhanahu wa ta’ala, orang berilmu jauh lebih berharga ketimbang orang yang rajin melakukan ritual ibadah.
“Kelebihan seorang alim (ahli ilmu) daripada seorang abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama dengan seluruh bintang.” (Hr. Abu Dawud).
Pantaslah, karena suatu ibadah kalo nggak sesuai dengan tata cara yang benar, berisiko bakal nggak diterima oleh Allah ta’ala.
Orang yang berilmu juga lebih mudah memahami berbagai persoalan. Ia bisa mengorelasikan satu hal dengan hal lainnya, dan dari itu bisa menemukan jalan keluar dari persoalan yang ada.
“Dan tidak ada yang mengetahuinya (perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah) melainkan orang-orang yang berilmu.” (al-Ankabut: 43).
Sejatinya prestasi simbolik yang berupa nilai ujian itu semata-mata cuma indikator pengukur tingkat kefahaman siswa atas ilmu yang udah dikasih di sekolah. Sedangkan ujian sekolah adalah instrumen yang dipakai dalam mendiaknosa. Makanya itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam nggak nyuruh umatnya ngejar prestasi simbolik. Beliau memerintahkan kita buat nyari ilmu semaksimal mungkin. Beliau menasihatkan hal ini ke para shahabat dengan bahasa metafor yang menyentuh.
“Apabila kamu melewati taman-taman surga, minumlah hingga puas. Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa yang engkau maksud taman-taman surga?’ Nabi menjawab, ‘Majelis-majelis taklim.'” (Hr. Thabrani).
So, kita generasi muda Muslim perlu meninjau kembali motovasi dan orientasi belajar masing-masing. Apakah ilmu yang jadi capaian, ataukah prestasi simbolik yang dicari? Kalo masih cenderung menjurus pada prestasi simbolik, wajiblah untuk bertaubat segera.
Sebagai penutup, hadits berikut ini layak kita jadikan renungan. Di dalamnya terdapat gelitikan bagi kaum Muslim -terlebih anak mudanya- yang malas mengais ilmu, dan kalo pun bersemangat belajar, tujuannya hanya prestasi simbolik semata.
“Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan tunjukkan baginya salah satu jalan dari jalan-jalan menuju ke surga… Sesungguhnya malaikat meletakan sayap-sayap mereka sebagai bentuk keridhaan terhadap penuntut ilmu. Sesungguhnya semua yang ada di langit dan di bumi meminta ampun untuk seorang yang berilmu, terasuk ikan yang ada di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah sebagaimana keutamaan bulan purnama terhadap semua bintang. Dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya mereka tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil bagian ilmu, maka sungguh dia telah mengambil bagian yang berharga.” (Hr. Abu Dawud).
Wallahu a’lam. [IB]