(PANJIMAS.COM) — Jelang tahun ajaran baru, siswa sekolah dihadapkan pada sebuah tradisi pendidikan formal, ujian kelulusan dan kenaikan kelas. Lazimnya, setiap siswa, guru, dan wali siswa, berharap besar agar hasil ujian dirinya, muridnya, atau anaknya, memeroleh hasil terbaik. Nah, tulisan ini mengangkat kiat islami dalam berjuang menggapai cita-cita tersebut.
1. Luruskan Niat!
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6).
Pertama-tama wali siswa diharapkan ingat akan pesan ayat ini. Ialah mengondisikan keluarganya, termasuk putra-putrinya yang akan melaksanakan ujian sekolah, agar menjadi diri yang menjauhi perbuatan dosa. Perintah ini juga Allah subhanahu wa ta’ala sampaikan lewat ayat-ayat lain dari al-Qur’an sebagai berikut:
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran.” (al-‘Ashr: 1-3),
“Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (al-Balad: 17-18).
Pesan dan nasihat agar si anak tidak melakukan tindak kecurangan merupakan wujud kasih sayang yang “menembus langit”, bukan semata ekspresi kasih sayang semu yang sangat pragmatis.
2. Dukungan Moral
Dukungan moral dari orang tua dan keluarga sangatlah besar artinya. Nasihat bijak dan motivasi, serta doa yang terbaik sangat penting untuk membekali putra-putri yang hendak menempuh ujian.
”Ridha Rabb terletak pada ridha kedua orang tua, dan murkaNya terletak pada kemurkaan keduanya.” (Hr. Thabarani),
“Ada tiga doa yang mustajab, tanpa keraguan di dalamnya: Doa orang yang terdzalimi, doa seorang musafir, dan doa orang tua untuk anaknya” (Hr. Tirmidzi).
3. Bawa Bekal!
Ketika keluar rumah, jangan lupa berdoa seperti yang Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam ajarkan. Doa ini memuat makna amat dalam. Makna pengakuan bahwa manusia hanya mampu berusaha dengan kemampuan yang sangat terbatas. Maka kepada Allah subhanahu wa ta’ala-lah kita bersandar diri sepenuhnya.
“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah la haula wa la quwata ila billah. (Bismillah, aku bertawakal kepada Allah. Tidak ada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah.)” (Hr. Tirmidzi).
Sejatinya kemudahan itu hadir ketika Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak memberikannya kepada kita. Maka hendaknya kita senantiasa memohon kepadaNya.
“Ya Rabb-ku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah urusanku.” (Thaha: 25).
4. Buang Egoisme!
Mental egois menjadi biang kerusakan kehidupan. Ia harus dijauhi sejauh-jauhnya. Tak pantas bila makhluk sosial hanya berdoa untuk diri sendiri semata. Sebagai peserta ujian, mendoakan teman-temannya sesama peserta adalah perbuatan yang sangat mulia. Dan Allah subhanahu wa ta’ala cinta kepada hamba-hambaNya yang menebar kebajikan kepada sesama, walau cuma dengan doa.
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pernah mendoakan Suhail radhiyallahu ‘anhu dengan,
“Semoga urusanmu dimudahkan.” (Hr. Bukhari).
Terlebih bila bukan hanya doa, tetapi juga motivasi dan pengingat untuk emegang taqwa. Tentu itu jauh lebih mulia.
5. Tenang
Siswa yang sudah paham akan hakikat ujian sekolah dan hakikat kehidupan tentu menjadi minim rasa cemasnya dalam menghadapi soal ujian. Namun begitu, alangkah baiknya bila ia mau memanjatkan doa sebagaimana yang diamalkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah kala mengalami kesulitan dalam memahami persoalan. Doa itu adalah,
“Wahai Yang mengajari Ibrahim, ajarilah aku. Wahai Yang memberi pemahaman kepada Sulaiman, berilah aku pemahaman.” (I’lamul Muwaqqi’in: IV/257, II/410).
Ketenangan berfaedah melancarkan jalan pikiran. Hal ini pun dapat didukung dengan posisi duduk yang nyaman. Maka saat mengerjakan soal, cobalah duduk yang senyaman mungkin. Dengan begitu, ketergesaan insya Allah dapat ditepis, suasana hati menjadi lebih tenang dan damai, mengerjakan soal menjadi terasa nikmat.
“Pelan-tenang dari Allah dan tergesa-gesa dari setan.” (Hr. Abu Ya’la dan Baihaqi).
6. Sportif
Kecurangan dalam mengerjakan soal ujian acap kali dilakukan oleh siswa yang mendapati kesempatan. Hal ini disebabkan oleh cara pandang yang salah terhadap apa itu ujian, dan lebih mendasar lagi, apa itu kehidupan? Maka yang sangat penting, utama, dan mendesak bagi siswa maupun wali siswa yang akan menghadapi ujian adalah taklim dan tafakkur untuk memahami hakekat ujian sekolah dan hakekat kehidupan. Doa berikut ini baik pula bila dipanjatkan. Ia tak hanya memuat permohonan tetapi sekaligus pemantik perenungan yang dalam.
“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari menyesatkan atau disesatkan, dari menggelincirkan atau digelincirkan, dari menzhalimi atau dizhalimi, dari menjahili atau dijahili.” (Hr. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Sekali lagi, pelaku kecurangan dalam ujian hanyalah mereka yang tak mengerti hakikat ujian sekolah dan hakikat kehidupan. Jika dua hal ini sudah dimengerti dengan baik dan mantab, insya Allah kecurangan tak akan pernah dilakukan oleh si peserta ujian. Karena ia sadar kalau itu sangat memalukan dirinya di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan orang-orang yang paham akan hal inilah yang disebut Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai golongan beliau.
“Barangsiapa yang curang, maka dia bukan termasuk golongan kami.” (Hr. Tirmidzi).
Golongan beliau hanyalah orang-orang hebat yang tak terperdaya oleh sombol-simbol profan (duniawi), yang tak terpana oleh bayangan angka-angka dalam lembar nilai ujian. Mereka sadar bahwa tujuan sekolah adalah untuk memeroleh ilmu, mengerti mana hak dan batil, untuk diejawantahkan dalam kehidupan. Bukan untuk mencari angka, pujian, kebanggaan, dan uang. Mereka tidak tergiur oleh ajakan-ajakan kerjasama dalam tindak kecurangan.
“…. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Maidah: 2).
7. Tawakkal
Allah subhanahu wa ta’ala Mahatahu yang terbaik untuk setiap hambaNya. Tugas manusia hanyalah berusaha melaksanakan aktivitas kehidupan, termasuk bagi siswa melaksanakan ujian sekolah. Bila kita sudah berusaha seoptimal mungkin dalam menempuhnya, dalam arti sudah berusaha seseportif mungkin dan setawakkal mungkin, maka terimalah hasilnya dengan lapang dada, apa pun itu. Sekali lagi, Allah subhanahu wa ta’ala tahu yang terbaik bagi setiap hambaNya.
“Dan jika sesuatu menimpamu, jangan katakan, ‘Seandainya aku melakukan ini dan itu, tentu akan begini dan begitu.’ Tapi katakan, ‘Taqdir Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena ucapan ‘seandainya’ bisa membuka tipu daya setan.” (Hr. Muslim).
Sesungguhnya orang beruntung bukanlah yang tujuan hidupnya dan aktivitas hidupnya –termasuk siswa dalam melaksanakan ujian sekolah– demi memeroleh simbol-simbol profan sebagaimana disebut di atas. Orang beruntung adalah ia yang Allah subhanahu wa ta’ala ridha kepadanya dan tidak memurkainya.
“Maka, barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan surga, maka dialah orang yang beruntung.” (Ali Imran: 185).
8. Barakallah!
Siswa yang mampu melakasanakan ujian sekolah dengan memegang erat prinsip-prinsip di atas, insya Allah akan tumbuh menjadi Mukmin yang kuat.
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah. Masing-masing ada kebaikannya tersendiri. Bersemangatlah dalam mengerjakan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (Hr. Muslim).
Ulama menafsirkan kekuatan di sini yang paling dominan adalah kekuatan ruhiyah. Mukmin yang paling kuat adalah yang paling mengerti makna hidup, dalam kata lain yang paling lurus ilmunya dan paling mantab iman-taqwanya. Dalam konteks siswa sekolah, ia adalah yang paling sportif dalam menjalani ujian sekolah oleh karena paham akan hakekat dari agenda tersebut. Yakni, sesungguhnya ujian sekolah adalah alat ukur kemampuan diri, bukan tujuan dari aktivitas belajar! Tujuan pendidikan di sekolah bulanlah untuk dapat menjawab dengan benar semua soal ujian dan mendapatkan angka terbaik.
Tujuan pendidikan di sekolah adalah untuk mencetak siswa menjadi insan yang beradab, yang layak diandalkan guna membangun peradaban yang gilang-gemilang. Yang mana peradaban gilang-gemilang tak dapat dicapai dengan angka-angka profan, terlebih yang manipulafit; ia hanya dapat dicapai dengan kejujuran akan ilmu yang benar yang dimiliki oleh sebuah bangsa. Artinya, ilmu tersebut bersumber dari Wahyu Allah subhanahu wa ta’ala dan dipahami secara benar, lalu diterapkan dalam kehidupan nyata! Wallahu a’lam. []