(Panjimas.com) – Alangkah beruntung orang yang kaya akan ilmu. Pun, alangkah bahagianya mestinya mereka. Karna apa? Karna kemuliaan tersemat pada siapa yang ngedapetin anugerah bernama ilmu. Tapi, yang pasti doi harus beriman dulu. Kalo nggak punya iman, meski nguasain berbagai macam teori ilmu pengetahuan umum, bahkan agama, tetap aja nggak mulia. Karena, pengetahuan itu malah berpotensi ngejerumusin si empunya kepada kesombongan dan kezaliman, juga kesesatan berpikir.
“…. Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujadalah: 11)
Quraisy Syihab dalam Tafsir al-Misbah ngejelasin, “Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat, yakni lebih tinggi daripada sekadar beriman saja. Tidak disebutnya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu. Tentu saja yang dimaksud dengan alladzȋnaûtû al-‘ilmu (yang diberi pengetahuan) adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman dalam dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal shalih, dan yang kedua beriman dan beramal shalih, serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal pengajarannya kepada pihak lain secara lisan, tulisan, maupun keteladanan. Ilmu yang di maksud ayat di atas bukan hanya ilmu agama, tetapi ilmu apa pun yang bermanfaat. Dalam Qs. Fathir: 27-28. Allah swt meguraikan sekian banyak mahluk Ilahi dan fenomena alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada Allah dari hamba-hambanya hanyalah ulama. Ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan al-Qur’an bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain juga menujukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah (rasa takut dan kagum kepada Allah swt), yang pada gilirannya mendorong orang yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkan untuk kepentingan makhluk. Rasulullah saw sering kali berdoa, “Aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”
Nah, dari penjelasan di atas, kita dapetin pelajaran bahwa ilmu yang mesti dikuasain oleh kita, Muslim, yang nantinya bakal bikin kita mulia di hadapan Allah swt, nggak cuman ilmu agama aja. Ilmu sains, bahasa, sosial, budaya, dll-pun mesti kita ngerti juga. Tapi, bukan berarti tiap individu kita mesti nguasain semuanya, karna kemampuan masing-masing orang kan beda-beda. Lagian minat dan bakatnya juga nggak sama semua. So, kita mesti berbagi dengan sodara-sodara Muslim yang lain. Ada yang pinter ilmu tajwid, pinter sejarah, pinter masak, pinter nulis, dll, kalo semua itu dipakai buat kebaikan, buat sarana berjuang di jalan Allah swt, buat nolongin sesama, insya Allah bakal nganterin kita menuju keridhaanNya, dan di hadapanNya kita dianggap makhluk yang mulia. Dan, jangan lupa, kita mesti bersinergi satu sama lain, sehingga saling jadi pelengkap antara satu dengan lainnya.
Lebih mendasar dari itu, pentingnya kita nguasain ilmu, terlebih ilmu agama, ialah agar kita mampu ngebedain mana yang haq dan mana yang batil. Mana kebajikan dan mana kejahatan. Yup, ini penting banget, apalagi di era informasi saat ini. Di mana saat ini tersebar fitnah syubhat yang dilontarin oleh orang-orang kebelinger. Oleh mereka yang emang sengaja musuhin Islam, maupun sodara Muslim kita sendiri yang terpengaruh kesesatan berpikirnya orang-orang kafir dan munafiq. Propaganda dan penyesatan opini lewat media massa dan jejaring sosial sengaja dilakuin sebagai wujud perang pemikiran (ghazwul fikr). Nah, makanya kita mesti hati-hati dan jeli nerima teori-teori yang belum jelas sumbernya. Dalam iklim demikian, orang berilmu akan lebih selamat ketimbang yang kurang ilmunya, terutama ilmu dasar keislaman.
“Katakanlah, apakah sama antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (az-Zumar: 9)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, dalam Taisiri al-Karim ar-Rahman (1/720), ngejelasin, “Katakanlah apakah sama orang-orang yang mengetahui Rabb mereka dan mengetahui ajaran agamanya yang syar’i dan pembalasannya, serta rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah di dalamnya, dengan orang-orang yang tidak mengetahuinya sama sekali? Maka tidaklah sama antara mereka (yang tahu) dengan mereka (yang tidak tahu), sebagaimana tidak samanya antara malam dan siang, antara terang dan gelap, antara air dan api. Hanya saja, yang mau mengambil pelajaran jika diingatkan adalah mereka yang “ulul albab”, yaitu mereka yang mempunyai akal yang bersih dan cerdas. Yang lebih mengutamakan sesuatu yang tinggi daripada sesuatu yang rendah. Mereka lebih mengutamakan ilmu daripada kebodohan. Mengutamakan taat kepada Allah swt daripada bermaksiat kepadaNya. Hal itu karena mereka mempunyai akal yang menunjukkan agar mereka melihat akibat dari segala sesuatu. Berbeda dengan orang yang tidak mempunyai kecerdasan dan akal, maka dia akan menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan.”
Udah jelas, bukan? Ilmu, dengannya kita bisa kenal banyak hal, dan pelajaran dari itu semua dapat kita ambil. Dengan perumpamaan-perumpamaan yang Allah swt sebutkan dalam ayat-ayatNya pun, orang berilmu akan lebih mudah ngefahamin dan ngaitin itu semua dengan fenomena alam maupun peristiwa-peristiwa yang terjadi sehari-hari.
“Dan tidak ada yang mengetahuinya (perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah) melainkan orang-orang yang berilmu.” (al-Ankabut: 43)
Ibnu Katsir ra ngejelasin dalam tafsirnya (6/279), “Yaitu tidak ada yang bisa memahami permisalan-permisalan tersebut dan bisa merenunginya, kecuali orang-orang yang kuat ilmu mereka, dan sangat menguasainya.”
Sebagai ekspresi riil dari ketaatan hamba kepada Rabb-nya ialah kelakuan/perbuatan/amal. Dan ilmu merupakan pemimpin dari ucapan dan perbuatan. Yup, dengan ilmu, tindak-tanduk orang bakal terarah, karna tau mana arah yang benar dan mana arah yang salah. Disampaiin oleh Imam Bukhari ra dalam kitab Shahih-nya (1/24), “Ilmu dulu sebelum ucapan dan perbuatan.”
Lebih lanjut, Hasan Bashri ra bilang, “Orang yang beramal tanpa ilmu, seperti orang yang meniti di luar jalan. Orang yang beramal tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada memerbaiki. Maka tuntutlah ilmu dengan tidak merusak ibadah, dan beribadahlah dengan tidak merusak ilmu. Karena sesungguhnya terdapat suatu kaum yang beribadah tetapi meninggalkan ilmu, sehingga mereka keluar dengan pedang-pedang mereka untuk memerangi umat Muhammad saw. Seandainya mereka mau menuntut ilmu, maka ilmu tersebut tak akan menunjukkan kepada perbuatan tersebut.
Tuh, kan… dari uraian di atas, udah jelaslah kalo ilmu merupakan karunia Allah swt yang sangat penting sekali buat bekal hidup ini. So, kita sebagai Muslim hendaknya selalu rindu akan ilmu. Kita cari dan cari di mana ia ada, dengan berbagai cara yang beradab. Sehingga ilmu yang udah kita raih bakal bermanfaat bagi diri dan sesama, saat ini dan di kemudian hari, insya Allah. Wallahu a’lam. [IB]