(Panjimas.com) – Sobat Panjimas yang cerdas berkualitas, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu. Bagaimana Antum punya kabar hari ini? Semoga sehat segar penuh semangat semuanya ya. Aamiin…
Alhamdulillah, sampai detik ini kita masih diberi karunia yang teramat besar oleh Allah SWT. Karunia apa itu, Sob? Istiqamah. Ya, ketika kita masih dan tetap istiqamah di jalanNya, itu adalah karunia yang teramat sangat besar sekali.
Makanya, Sob, mari kita syukuri karunia agung itu dengan berusaha lebih padat lagi dalam mengisi umur kita dengan amal shalih. Yang mana, salah satu dari wujudnya adalah dengan membelanjakan rizqi yang Allah bagikan ke kita buat kemanfaatan, bukan kemudharatan.
Nah, sebagaimana udah disampaikan sebelumnya, di edisi kali ini kita masih bakal membahas perihal rokok. Kalo kemarin kita udah membahas dampak buruk rokok buat kesehatan badan dan kelestarian alam, di edisi ini, sesuai dengan muqadimah di atas, kita bakal membicarakan rokok dari segi ekonomi.
Sobat, masyarakat dunia ini terdiri dari kumpulan keluarga-keluarga yang banyak banget jumlahnya. Dan pembangunan budaya, mental, dan pendidikan pertama adalah di keluarga. Makanya di sini kita bakal menyoroti dampak rokok bagi perekonomian keluarga.
Kebiasaan merokok jelas berdampak buruk bagi perekonomian keluarga. Kalo seseorang keluar uang rata-rata 20 ribu rupiah per hari buat beli rokok, berarti dalam sebulan udah habis 600-an ribu rupiah. Coba kita renungkan, uang segitu hanya buat merusak badan dan lingkungan? Apakah itu namanya mensyukuri nikmat Allah SWT? Ah, enggak banget, kan?
Lalu coba kita pikir lagi, Sob. Secara logika, kalo orang tersebut mulai suatu ketika memutuskan buat berhenti aja merokoknya, maka per bulan ia bisa menghemat uang berapa? Enam ratusan ribu rupiah juga, kan? Nah, kalo ia sejak itu sengaja tetap menyisihkan uang 20 ribu per hari, maka uang simpanan 600 ribu didapatnya dalam sebulan.
Sejak itu, karena udah nggak merokok, kesehatan yang lebih berkualitas ia dapat, sampah rokok pun nggak ditimbulkan, dan dapat uang 600 ribu. Jadinya kan hidup di bulan itu jelas sangat terasa keberkahannya. Iya, kan?
Menurut data Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2007, 69 persen keluarga di Indonesia, minimal salah satu anggota keluarganya menjadi perokok aktif. So, kalo mereka pada sadar diri untuk bertaubat dari merokok, bukankah laju kesejahteraan masyarakat negara kita bakal meningkat pesat?
Tapi mungkin Sobat Panjimas pada berpikir lain ya? Berpikir tentang tenaga kerja pabrik rokok, pedagang rokok eceran, seles rokok, sampai petani tembakau. Kalo nggak ada orang doyan rokok lagi, terus mereka dapat duit dari mana dan mau makan apa? Apakah Antum masih berpikir begitu? Astaghfirullahal adziim…
Bukankah itu cara berpikir orang yang hanya memandang hidup ini berdasar apa-apa yang kasat mata, dengan perhitungan matematika aja? Bukankan itu juga cara berpikirnya orang-orang nggak kreatif dan inovatif, orang-orang yang hanya ikut-ikutan apa yang ada dan nggak mau mencipta hal-hal baru yang manfaatnya nyata?
Kita adalah orang beriman, Sob. Dan salah satu ciri Mukmin adalah beriman pada hal yang ghaib. Maka kita nggak akan memandang dunia hanya sebatas perihal materi dan menghitungnya hanya dengan matematika. Kita harus. Yakin bahwa Allah SWT nggak pernah kekurangan jalan dalam memberi rizqi buat hambaNya.
Kita juga hamba-hamba Allah yang selalu berusaha mensyukuri nikmatNya. Artinya, mau mengerahkan daya kreasi kita buat mencari dan menggali altrnatif-alternatif baru yang lebih bermanfaat dalam kehidupan..
Sobat Panjimas yang berwawasan luas, bukankah Antum tahu kalo tembakau nggak cuma bisa dibikin rokok? Tanaman itu bisa dijadikan bahan obat hama tanaman, bisa juga sebagai bahan pembersih kaca, bisa sebagai pelindung anti gigitan serangga dan lintah, serta untuk kemaslahatan lain dalam kehidupan.
Bayangkan kalo tembakau kita gunakan buat itu semua, kesehatan dan kelestarian alam jadi lebih terjaga, karena artinya kita meninggalkan bahan-bahan kimia dan menggantikannya dengan bahan alami yakni tembakau. Dan secara ekonomi, petani tembakau masih bisa tetap membudidayakannya dengan hasil yang tentunya lebih barakah, karena kemanfaatannya nyata.
Lalu gimana dengan pabrik rokok? Kalo budaya masyarakat udah berubah, nggak jadi pecandu rokok lagi, pasti Allah SWT akan menunjukkan peluang-peluang usaha lain bagi pengusaha rokok yang yakin akan ke-Mahakuasa-an Allah SWT. Kalo pabrik rokok dialihfungsikan menjadi pabrik jamu, dan kampanye minum jamu disuarakan oleh berbagai pilak lewat iklan-iklan yang unik dan kreatif, insya Allah masyarakat akan membudayakan minum jamu dan pabrik itu tetap bisa hidup dan berkembang. Setuju?!
Memang segalanya nggak serta-merta akan berubah frontal, Sob. Tentu butuh proses panjang yang banyak menemui rintangan. Emang gitu kalo kita mau realistis. Tapi kalo Allah SWT berkehendak memudahkan semuanya, nggak ada orang yang bisa menolak, kan?
Singkatnya, secara prinsip begini, adanya rokok, kesejahteraan masyarakat secara global nggak akan lebih baik daripada kalo nggak ada rokok. Karena kesemua pendapatan bisnis rokok, nggak akan sanggup membayar kerusakan yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok. Baik kerusakan kesehatan, lingkungan, dan terlebih lagi budaya. Dan kerusakan yang terakhir ini yang jadi persoalan sangat mendasar. Kerena kalo budaya pemborosan dan pendzaliman dianggap hal biasa, dianggap bukan kemungkaran, maka keberkahan hidup akan menjadi sesuatu yang jauh untuk bisa diperoleh. Ngeri, kan?
Demikianlah, Sobat. Ayo kita lanjutkan perenungannya, dan insya Allah di edisi depan kita bakal membahas pandangan syar’inya.
Wallahu a’lam bishshawwab. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu. [IB]