(Panjimas.com) – Sob, udah beli baju baru, belum…? Hehehe… Belum-belum udah nanya gitu ya. Hmm…
Pada edisi ini masih tetap kayak kemarin, kita akan ngebahas soal tradisi masyarakat seputar Ramadhan. Dan bahasan kali ini adalah baju lebaran.
Hari raya Idul Fithri atau yang jamak juga disebut lebaran, selalu identik dengan baju baru. Betul? Di sepertiga terakhir bulan Ramadhan, toko-toko pakaian disesaki para pengunjung, baik yang mau belanja pakaian baru, atau cuma nonton orang pada belanja (karna nggak dapet THR, hehehe…).
Nah, sebagai Muslim yang baik, tentu yang mesti kita perhatiin adalah gimana pandangan Islam tentang hal ini? Mau tau? Yuuk, lanjutin bacanya…!
Ada hadits Rasulillah SAW yang mengisyaratkan kalo pada masa beliau, tradisi berpakaian baru di hari raya emang udah ada. Dan Rasul SAW ternyata nggak memermasalahkannya. Coba kita simak hadits dan perkataan ulama berikut ini bareng-bareng ya…
Dalam Kitab Shahih Bukhori no. 948 dan Shahih Muslim no. 2068 disebutkan bahwa, dari Abdullah bin Umar RA, beliau berkata, “Umar mengambil jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar. Beliau mengambil dan menyerahkannya kepada Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, belilah ini. Berhiaslah dengannya untuk hari raya dan (menerima) tamu utusan.’
Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya,
إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لا خَلاقَ لَهُ
“Sesungguhnya ini pakaian orang yang tidak mendapatkan bagian (di akhirat).”
Maksudnya gini, Sob. Rasul SAW tuh bukannya nolak berhias di hari raya pakai jubah baru, tapi beliau ngasih tahu kalo pakai jubah yang itu haram bagi kaum pria, karena bahannya dari sutera. Gituuu…
Ulama pun angkat bicara soal ini. As-Sindi, dalam Kitab Hasyiyah (penjelasan) Sunan Nasa’i, 3/181 berkata, “Dengan demikian dapat diketahui bahwa berhias pada hari raya adalah termasuk budaya yang telah dikenal di tengah meraka. Nabi SAW tidak mengingkarinya. Maka berarti diketahui bahwa itu merupakan ketetapan beliau.”
Sejalan dengan As-Sindi, Imam Syafi’i berkata, “Aku lebih menyukai seseorang memakai pakaian terbaik yang dimilikinya pada hari-hari raya, yakni, hari Jum’at, dua hari raya (Idul Adha dan Idul Fithri), dan tempat diadakan majlis (majlis ilmu, dzikir, juga pernikahan). Di sana hendaklah kita memakai baju yang bersih dan memakai wangi-wangian.” (Kitab Al-Umm).
Al-Hafidz Ibnu Jarir berkata, “Diriwayatkan dari Ibnu Abu Dunya dan Baihaqi dengan sanad shahih sampai ke Umar, bahwa beliau memakai baju yang terbaik pada dua hari raya (Idul Fithri dan Idul Adha).”
Para ulama kontemporer turut berpendapat senada. Syaikh Ibnu Jibrin menjelaskan, “Untuk menghadiri Shalat Id terdapat (amalan) sunnah dan anjuran yang banyak. Diantaranya, berhias dan memakai pakaian yang terbaik. Umar pernah menawarkan kepada Nabi SAW pakaian dari sutera untuk berhias di hari raya dan menerima tamu utusan. Tetapi beliau menolaknya, karena ia terbuat dari sutera. Beliau mempunyai jubah khusus yang dipakai untuk hari raya dan hari Jum’at.” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 59/44).
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Disunnahkan bagi laki-laki pada hari raya untuk berhias dan memakai pakaian yang terbaik.” (Majmu Fatawa Wa Rosail Ibnu Utsaimin, 13/2461).
Okay, jadi udah mantab, kan? Udah kita dapetin satu suara dari ulama kalo pakai baju baru saat lebaran tuh baik-baik aja. Tapiii… masih ada tapinya lhooo…. Apakah itu? Emm… Sebelum ngebahasnya, yuk kita baca sejarah singkat tradisi baju lebaran di negeri kita…
Sejarah mencatat bahwa sejak tahun 1596 (Abad ke-16, Sob), tradisi pakai baju baru saat lebaran udah ada di Tanah Air. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto bilang, ketika menyambut lebaran, mayoritas penduduk Kerajaan Banten sibuk menyiapkan baju baru. Cuma, dulu dan kini ada bedanya. Di zaman itu, sedikit aja orang yang beli baju baru, hanya kalangan bangsawan aja, Sob. Untuk masyarakat biasa, baju lebarannya dibikin sendiri. Mereka menjahit sendiri pakaian baru untuk keluarga. Emang sih, hasilnya seadanya, namanya juga jahit manual pakai jarum tanpa mesin. Tapi, kreativitas mereka ini yang mesti kita jadiin catatan tersendiri. Inspiratif, nggak? Pernahkah kalian bikin baju sendiri? Hadewh… (garuk-garuk kepala nih)
Menjelang lebaran, di Banten waktu itu terdapat perubahan aktivitas masyarakat yang cukup unik. Gimaa nggak unik, orang mereka yang sedianya adalah petani, seolah-olah rame-rame pada beralih profesi jadi tukang jahit dadakan. Hehehe… asyik, kan, ngebayanginnya?
Nggak cuma di Banten aja ternyata, kondisi serupa juga bisa dijumpai di kerajaan Mataram (Yogyakarta). Menjelang Bakda (lebaran), masyarakat Mataram sibuk bikin pakaian baru buat dipakai untuk Bakdan (merayakan lebaran).
Yeah… begitulah tradisi baju lebaran. Ternyata sejak zaman dahulu kala emang udah ada. Kalo kita pikir secara logika, emang sangat pas bila memakai baju baru kita awali ketika hari raya Idul Fithri. Karna kalo kita gemar menghayati apa-apa yang terjadi, maka pakaian baru yang kita kenakan itu bisa jadi satu pengingat bahwa Idul Fithri adalah saat di mana jiwa setiap Muslim dalam kondisi fresh, setelah sebulan penuh di”detoks”, diluruhkan “toksin-toksin” dosanya dari jiwa. Setelah sebulan penuh didisiplinkan buat berlatih diri untuk berolahjiwa, menahan diri dari keberlebihan dan ketergesaan.
Nah, sekarang udah masuk ke pembahasan tapi-tapian.
Yup, artinya, kalo baju baru yang kita pakai saat lebaran bisa mengingatkan akan hal itu, alhamdulillah, ini tanda prestasi ibadah Ramadhan kita tinggi. Namun kalo yang terjadi sebaliknya, kesibukan kita menyiapkan baju lebaran malah bikin ibadah Ramadhan kita terganggu, terpinggirkan, serta Idul Fithri kita jadi kotor oleh kesombongan dan riya’, maka itu tanda bahwa kita belum mengerti makna Ramadhan, Idul Fithri, baju lebaran, dan juga makna kehidupan. Dan tandanya prestasi ibadah Ramadhan kita dipertanyakan. Astaghfirullah, kasihan bangeeet… Tentu Sobat Panjimas nggak mau kayak gitu, kan?
Maka ayolah kita lebih banyak mawas diri dan beristighfar di ujung Ramadhan ini. Juga kita coba tingkatkan perenungan dan penghayatannya.
Dan perhatikan juga yang ini, Sob. Kalo baju lebaran kita kaum Muslim adalah produk kaum Kapitalis, bahkan Zionis, yang kita tahu mereka selalu saja, nggak henti-hentinya menyerang dan bertujuan merobohkan panji-panji Islam, maka ini adalah musibah besar. Maka bila demikian, baju lebaran bukan lagi simbol kesuksesan ibadah Ramadhan, melainkan kesuksesan mereka, musuh-musuh Islam dalam memerdaya kaum Muslim sehingga panji Islam pun goyang, kehilangan kekokohan.
Sobat Panjimas yang shalih dan shalihah, apakah kita mau menjadi generasi muda Muslim yang rapuh, yang begitu mudah diperdaya oleh musuh? Kalo itu yang terjadi, di mana wajah kita harus ditaruh? Mari renungi dengan hati nan jernih…
Bagaimana perjuangan para Nabi, shahabat, dan para ulama kita dahulu, kita tau. Mereka korbankan harta dan nyawa demi membangun peradaban Islam yang jaya. Kita kini hanya melanjutkan aja, hanya kebagian merawat dan mengembangkannya. Ingat, itu tugas kita. Maka bila kita lengah, sementara buldozer mereka siap menggempur hancur bangunan peradaban Islam hasil karya mereka. Apa yang mau kita katakan di hadapan Allah SWT kelak, Sob? Jawab!
Sobatku yang cerdas, yuk kita berbaju baru saat lebaran, namun hanya bila mampu membelinya, kalo emang kebutuhan yang lebih penting udah tunai semua. Ingat, zakat jelas paling penting. Maka, Sobat, jangan sampai setelah menatap baju bagus di gerai toko, kita lalu lupa bahwa di emperan toko masih ada gelandangan berbaju rombeng, terbuang dari keluarga, hidup terlunta-lunta. Apa kita tega menyaksikannya? Di mana hati kita, Sob? Apa hasil ibadah kita, Soob?!
Bukan sikap Muslim yang berprestasi ibadah Ramadhannya jika baju baru nan mahal lebih penting dari uluran tangan buat mereka. Bukan sikap Muslim yang beradab bila berbaju baru tanpa memikirkan gimana solusi atas persoalan mereka.
Sobatku, nggak hanya itu, mari perhatiin juga yang ini… Sobat Panjimas yang anti penjajahan, coba pikirkanlah ketika menatap baju baru nan menarik di depan mata kalian. Pikirkanlah siapa yang akan berjaya kalo baju itu kita beli? Kaum Kalpitaliskah, atau saudara-saudara kita kaum Muslim yang mengais rizqi dengan berbisnis fashion?
Sobatku yang lembut hati, mari kita ingat dan yakini bahwa Allah SWT Mahateliti. Skala prioritas adalah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan kaum Muslim. Strategi muamalah yang cerdas dan bijak sangat urgen dalam hidup di era global.
Sudah. Selamat merenung dan membagikan tulisan ini kepada sobat-sobat kita yang lain. Wallahu a’lam. [IB]