(Panjimas.com) – Assalamu’alaikum, Sobat Panjimas yang inspiratif. Semakin bersemangat ya shaumnya? Alhamdulillah… Harus gitu dong. Kan kian hari kian terasah ibadahnya, makanya jadi makin meninggi aja semangatnya.
Eh, Sob, karena masih dalam suasana Ramadhan, maka di edisi ini kita tetep bertahan buat ngebahas seputaran bulan mulia ini ya? Oke?!
Yups! Kali ini kita mau ngebahas sebuah tradisi menjelang waktu berbuka. Apakah itu? Pasti udah pada tau istilahnya, khan? Iya dong, Sobat Panjimas kan anak gaul semua. Hehe… Yak, tradisi itu lazim dinamain Ngabuburit.
Kalo istilahnya sih emang udah pada tau, tapi masalahnya banyak yang belum pada tau apa makna darinya. Sobat Panjimas pun kayaknya ada yang belum tau juga deh. Betul? Hehehe… Nggak papa deh. Karena setelah baca tulisan ini ampe tuntas, insya Allah bakalan paham, gak gagal paham lagi tentang Ngabuburit.
Sob, kalian tau kenapa kegiatan jelang berbuka dinamain Ngabuburit? Gini nih, ceritanya…
Pada mulanya Ngabuburit adalah tradisi orang Sunda. Maka istilah itu pun asalnya juga dari Bahasa Sunda, yakni dari kata Burit. Burit artinya sore. Nah, kalo Ngabuburit, artinya kegiatan pada waktu sore. Ini makna secara bahasa. Kalo secara istilah, Ngabuburit dimaknai sebagai kegiatan di sore hari buat ngisi waktu menunggu saat berbuka puasa di bulan Ramadhan.
Istilah Ngaburburit pun udah jadi bahasa baku dalam Bahasa Indonesia. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Ngabuburit artinya menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadhan. Di sana ada keterangan (sd) sebagai penanda kata serapan dari Bahasa Sunda.
Nah, karena ngabuburit itu mulanya adalah tradisi Sunda, maka tempo doeloe yang kenal Ngabuburit juga cuma orang Sunda aja. Nggak kayak sekarang, udah menasional.
Dulu, di daerah Pasundan, Ngabuburit diisi dengan kerja bikin tikar yang bahannya dari daun pandan yang diolah jadi pita. Mereka menganyam pita-pita itu menjadi tikar sembari asyik bercengkerama dengan keluarga di halaman rumah.
Bagi anak-anak, waktu Ngabuburit diisi dengan nyiapin diri buat pergi ke surau untuk shalat Maghrib dan mengaji. Mereka segera mandi setelah asyik bermain bersama. Lalu memakai pakaian bersih dan rapi, nyiapin mushaf Al-Qur’an, dan berangkat menuju surau.
Begitulah potret tradisi Ngabuburit pada mulanya. Lalu lambat laun Ngabuburit dikenal masyarakat luar Sunda, dan saat ini sampai menasional dan jadi tradisi bangsa Indonesia. Tapi, apakah “Nagabuburit” saat ini masih sesuai dengan makna asal mulanya? Sebelum kita lihat fenomena “Ngabuburit” masa kini, baiknya kita kupas dan ambil pesan tersirat dari potret orang Sunda dalam Ngabuburit mereka.
Pesan pertama adalah sabar. Pekerjaan menganyam tikar tentu membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Dari sini bisa kita ambil pelajaran bahwa kalo kita ingin menggapai tujuan, harus mau ngejalanin prosesnya dengan penuh kesabaran, ketelatenan, dan keistiqamahan.
Kedua adalah produktifitas. Waktu menanti berbuka baiknya kita pakai buat berkegiatan yang bermanfaat, yang menghasilkan sesuatu. Dan tentu sesuatu itu nggak melulu berupa materi, namun yang lebih utama dalam bulan Ramadhan adalah pembangunan ruhiyah. Kita usahakan waktu jelang berbuka berisi kegiatan-kegiatan positif dan produktif seperti taklim, tadarus, baca buku, ngebersihin masjid, rumah, atau menyiram tanaman. Atau mungkin nyiapin takjil buat dibagiin ke masyarakat.
Ketiganya yakni membina ukhuwah. Orang Sunda menganyam pandan sambil ngobrol dengan keluarga. Hal ini menjadi cara memererat ukhuwah islamiyah. Kalo dalam konteks sekarang, kita bisa wujudkan dengan acara buber dengan teman-teman sekomunitas, sembari ngobrolin hal-hal positif dan menyusun program ke depan.
Nah, itu dia makna dari Ngabuburit yang sesungguhnya. Yang mana di dalamnya memuat pesan-pesan kebajikan. Nah, sekarang coba kita lihat fenomena Ngabuburit masa kini di sekitar kita. Udah sesuaikah dengan makna mulanya?
Hmm… kalo saat ini ada aktivitas Ngabuburit kok ternyata isinya berupa hal-hal yang bersifat sia-sia, yang negatif-negatif, berarti mereka yang ngelakuin mungkin aja belum paham apa itu Ngabuburit. Hanya ikut-ikutan aja tanpa dasar yang benar. Hadeh…
Tapi alhamdulillah, belakangan ini mulai tumbuh juga kegiatan Ngabuburit yang baik. Ada pengajian, buber yang dikelola dengan baik, dan lain sebagainya. Dan ini semua berkah kreativitas dan kerja keras para aktivis dakwah saat ini. Bahagia ya? Dan moga aja Sobat Panjimas bisa masuk ke dalam barisan aktivis kreatif itu. Sesuai bidang dan kapasitas masing-masing. Siap? Insya Allah ya.
Kalo emang masih nggak sedikit dari Muslimin, utamanya para remaja dan kawula mudanya masih suka “Ngabuburit Abal-abal” (yang isinya negatif), ya ini amanah dakwah. Dakwah emang butuh proses kayak menganyam pita pandan menjadi tikar. Moga aja kian waktu kian banyak yang sadar bahwa nggak bener kalo waktu jelang berbuka hanya dipakai buat beraktifitas yang sia-sia, apalagi maksiat. Karena kalo demikian, pelakunya bisa bernasip kayak yang disabdakan Rasulullah SAW ini:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَش
”Betapa banyak orang puasa, bagian dari puasanya (hanya) lapar dan dahaga”. (HR. Ahmad, hadist hasan shahih).
Orang bisa begini kalo Shaumnya cuma nggak makan minum aja, tanpa ninggalin kelakuan-kelakuan yang nggak baik (sia-sia dan maksiat).
Dan yang terpenting adalah, Sobat Panjimas semua siap jadi pelopor pelurusan makna Ngabuburit yang sebenarnya. Yang artinya siap berusaha mengisi waktu jelang berbuka dengan kegiatan-kegiatan positif dan produktif. Siap? Selamat berdjoeang! Wallahu a’lam. [IB]