(Panjimas.com) – Assalamu’alaikum, Sobat Panjimas. Alhamdulillah, Allah masih kasih kita umur, hingga bisa ketemu lagi di Rubrik Remaja edisi kali ini. Dan bersyukurnya lagi, tinggal beberapa hari aja bulan Sya’ban berakhir, yang artinya Ramadhan ‘kan tiba, Insya Allah. Hayo, siapa yang masih punya utang puasa? Cepet-cepet diberesiiin… Dan buat semua aja, ayo kita siapin diri secara fisik dan ruhiyah biar bisa ber-Ramadhan dengan seoptimal mungkin. Baiknya kita berharap besar, moga-moga amalan Ramadhan kita kali ini lebih baik dari yang dulu-dulu. Emang idealnya gitu, karna kan tambah dewasa. Betul?
Kita pun mesti sadar bahwa banyak hal yang mesti diperhatiin juga hal yang mesti diwaspadai, seputar ibadah Ramadhan maupun kondisi sosial masyarakat kita menjelang, saat, dan usai bulan Ramadhan. Kita sebagai remaja Muslim baiknya dan idealnya ngerti, biar bisa posisiin diri dengan bijak, dan nggak salah tempat. Iya dong. Hmm… nggak dikit lho, Sob, hal-hal yang jadi kebiasaan masyarakat dalam menyambut Ramadhan, yang ternyata nggak bener, atau paling enggak ya kurang okelah, hehehe…
Yup, kali ini kita mau ngebahas soal tradisi jelang Ramadhan yang ada di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Yang ternyata, walau nggak sama namanya, tapi ada juga tradisi serupa di beberapa daerah lain di Tanah Air. Yeah, tradisi itu namanya Padusan.
Padusan tuh Bahasa Jawa. Kata dasarnya “adus” yang artinya mandi. Nah, kalo Padusan adalah, mandi jinabat yang dilakukan secara berbarengan di suatu tempat pemandian umum, pada sehari sebelum tiba tanggal satu Ramadhan.
Konon kabarnya, tradisi ini hasil karya tokoh penyebar Islam di Jawa yang sohor, yakni Sunan Kalijaga. Ya, memang beliau terkenal sebagai da’i kreatif pada zamannya. Beliau mendakwahkan Islam bukan secara frontal, melainkan dengan taktik ngesisipin nilai-nilai dan ritual peribadatan Islam ke dalam kegiatan kemasyarakatan dan seni budaya yang diminati oleh masyarakat setempat.
Tradisi Padusan Sunan dipakai buat ngajakin masyarakat Jawa melaksanakan sunnah Mandi Jinabat sebelum ngelakuin fardhu Siyam Ramadhan. Dan ternyata kegiatan kayak gitu dapat antusiasme besar dari masyarakat.
Selain sebagai cara penanaman sunnah mandi jinabat, Sunan Kalijaga dan para ulama penerus beliau pun, dengan itu nyoba nancepin nilai-nilai Islam yang lain, yakni kebersihan, dan kebersamaan. Masyarakat tak diajak mandi jinabat di sembarang tempat. Namun memilih tempat-tempat dengan air yang berkualitas bagus. Misalnya di kolam masjid dan di sumber mata air, atau orang Jawa nyebutnya “umbul”.
Dari segi penanaman adab Islam, padusan pada waktu itu hanya diikuti oleh kaum lelaki, dengan masih mengenakan kain, buat ngejaga aurat. Dan buat kaum perempuan, mereka nggak diajak mandi di tempat umum yang terbuka.
Di Yogyakarta, tradisi Padusan mulai dilaksanakan sejak pemerintahan Hamengkubuwono I. Kemudian seiring bergantinya waktu, hingga sejak tahun 1950-an, tradisi padusan mulai surut peminatnya. Namun hal ini bukan tetanda kemunduran dakwah. Sebaliknya, gejala ini merupakan bukti kemajuan dakwah Islam di Jawa. Ya, karena sejak itu kaum Muslim mulai paham bahwa mandi jinabat jelang Ramadhan nggak mesti dilakuin bareng-bareng yang dikemas dalam sebuah tradisi bernama Padusan. Kaum Muslim pun udah mulai ngelakuin sunnah Mandi Jinabat ini di tempat tinggal masing-masing.
Namun perjalanan dakwah nggak selalu mulus. Selalu aja ada tantangannya. Sejak beberapa dekade belakangan, tradisi Padusan mengalami pergeseran makna dan tujuan. Di mana yang pada mulanya Padusan merupakan sebuah metode kultural buat nanemin ibadah sunnah, adab, dan ukhuwah, belakangan ini nilai-nilai itu dicemari, bahkan tujuannya dibelokin oleh musuh Islam dari Barat.
Kaum Orientalis dan Zionis sengaja bermaksud ngelemahin generasi muda Muslim dengan tiga F yang dijadiin umpannya. Yakni, Food, Fashion, and Fun. Ya, dan tradisi Padusan pun digeserkan makna dan tujuannya biar kaum muda Muslim ngelahap umpan itu. Padusan yang dilakuin sebagian kaum muda Muslim belakangan ini adalah rekreasi di objek wisata pemandian. Dengan pakaian yang nggak syar’i, dengan jajanan yang hedonis, yang nggak thoyyib dan nyisain sampah-sampah non organik dalam jumlah besar. Dan pastinya, dengan hubungan sangat bebas antar lawan jenis.
Ya, yang terjadi saat ini adalah pergeseran makna dan tujuan tradisi Padusan yang udah bertolak seratus delapan puluh derajat dari awal mula dikreasi oleh Kanjeng Sunan Kalijaga.
Maka itu wahai Remaja Muslim, sadarlah, ayo buka mata, telinga, hati, dan juga pikiran kita! Apa kita rela kelakuan busuk Barat ini terus berkelanjutan? Apa kita nggak malu di hadapan Allah SWT jika kitalah segelintir dari kaum muda Muslim yang jadi korban pembohongan Barat? Pun apa kita nggak takut adzabNya jika kita ngerti tapi nggak berbuat apa-apa? Segitu lemahkah kita? Enggak! Kita harus lawan! Saatnya kita sadarin kembali saudara-saudara kita, teman-teman kita. Kita ingatkan mereka bahwa Padusan sejatinya adalah metode dakwah para ulama dahulu kala. Mereka pakai cara itu setelah ngecermatin gimana kondisi sosial, psikologi, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Jika memang saat ini dirasa masih dibutuhkan, kita lanjutin tradisi Padusan. Namun kalo ternyata dakwah dengan metode lain lebih efektif dan efisien, maka seyogyanya kita tempuh cara itu. Ya, kita harus meneladani betapa kreatifnya Sunan Kalijaga dan para ulama pendahulu kita di Jawa. Kita teladani mereka dengan mencipta kreatifitas dakwah yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat, di mana pun itu.
Ingat, kita harus bijak menilai segala hal. Janganlah kita mencela tradisi Padusan hasil kreasi Sunan Kalijaga. Namun yang mesti kita lawan adalah langkah Barat dalam ngebelokin tradisi itu kepada makna dan tujuan yang sesat. Ingat, Barat kepengin ngehancurin jiwa-raga kaum muda Muslim. Maka kita nggak boleh diam, kita mesti lawan dengan taktik yang cerdas, yang kreatif, seperti Sunan Kalijaga pada masa beliau ada. Wallahu a’lam. [IB]