JENEWA, (Panjimas.com) — Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB menegaskan bahwa larangan untuk mengenakan burqa, niqab, dan cadar di Prancis merupakan bentuk pelanggaran HAM. Oleh karena itu, Komite HAM PBB mendesak Prancis untuk meninjau kembali undang-undang dan memberi waktu 180 hari untuk melaporkan hasil peninjauan, Selasa (23/10).
“Secara khusus, Komite tidak termakan oleh klaim Prancis bahwa larangan menutupi wajah itu diperlukan dan sebanding dari sudut pandang keamanan atau untuk mencapai tujuan bersama dalam masyarakat,” jelas Komite HAM PBB.
Sebanyak 18 pakar independen ditugaskan untuk mengawasi Prancis bersama dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pelaksanaan keputusan ini tidak wajib, akan tetapi berada di bawah protokol opsional dari perjanjian, Prancis memiliki kewajiban hukum internasional untuk mematuhinya dengan itikad baik.
Sementara itu, menanggapi putusan Komite HAM PBB, juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan, undang-undang larangan itu sah, penting, dan menghormati kebebasan beragama. Larangan hanya berlaku jika wajah seseorang disembunyikan, bukan pada jenis pakaian yang menjadi simbol keagamaan.
Juru bicara Pemerintah Prancis juga menunjukkan, baik pengadilan Konstitusi Prancis dan pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa yang putusannya mengikat, telah menjunjung larangan pemakaian burqa dengan wajah penuh. Menurutnya, hal itu tidak melanggar kebebasan beragama.
Namun Komite HAM PBB tidak setuju dengan pernyataan pemerintah Prancis itu. Komite HAM mengatakan larangan tersebut secara tidak proporsional merugikan hak perempuan untuk memanifestasikan keyakinan agama mereka dan dapat menyebabkan mereka terkurung di rumah, lalu terpinggirkan.
Komite HAM PBB mendapatkan keluhan dari dua perempuan Perancis yang dihukum pada tahun 2012 lalu berdasarkan undang-undang 2010.
Undang-undang itu menetapkan, “Tidak seorang pun boleh, di ruang publik, memakai setiap pakaian yang dimaksudkan untuk menutupi wajah”.
Dalam temuannya, Komite HAM PBB meminta Prancis untuk membayar kompensasi kepada dua perempuan itu. Di bawah larangan Pemerintah Prancis, siapa pun yang mengenakan cadar di depan umum dapat dikenakan denda sebesar 170 dolar AS atau mendapatkan pelajaran kewarganegaraan Prancis.
Menurut media Metronews, 223 denda telah diberikan kepada perempuan yang mengenakan cadar wajah penuh di depan umum pada 2015 lalu.
Negara-negara di Eropa lainnya pun telah mengesahkan undang-undang yang mengatur pakaian tertentu.
Misalnya, Parlemen Denmark yang memberlakukan larangan mengenakan cadar di depan umum pada Mei lalu.
Belgia, Belanda, Bulgaria, dan negara bagian Bavaria di Jerman juga memberlakukan pembatasan terhadap penggunaan cadar di ruang-ruang publik.
Untuk diketahui, Perancis memiliki minoritas Muslim terbesar di Eropa, yang diperkirakan berjumlah 5 juta atau bahakn lebih dari total populasi sebesar 67 juta jiwa. Simbol agama dan tempat ibadah agama dapat menjadi masalah kontroversi di negara yang mengklaim sekuler itu.
Komite HAM PBB memiliki kesimpulan serupa pada kasus 2008 dari seorang perempuan yang dipecat karena mengenakan cadar. Pada September, seorang hakim terkemuka Prancisx dikutip oleh surat kabar Le Monde, mengatakan meski tidak mengikat, keputusan komite mungkin masih mempengaruhi hukum Prancis.[IZ]