JENEWA, (Panjimas.com) — Pemerintah Swiss dikabarkan akan menggelar referendum di wilayah St.Gallen. Referendum ini digelar untuk menentukan pelarangan penggunaan burqa ataupun cadar berwajah di ruang publik St.Gallen.
Undang-undang yang diadopsi Parlemen St.Gallen akhir tahun lalu telah diusulkan untuk disahkan berdasarkan suara publik pada Ahad (23/9).
Dalam undang-undang tersebut tertulis, “Siapa pun yang membuat diri mereka tidak dapat dikenali dengan menutupi wajah mereka di ruang publik, dan dengan demikian membahayakan keamanan publik atau perdamaian sosial serta agama akan didenda,” dikutip dari Al Jazeera News Channel.
Undang-undang itu disahkan parlemen daerah St.Gallen dengan dukungan partai-partai populis. Akan tetapi, Green Party dan Young Socialist telah menuntut agar diselenggarakan referendum mengenai undang-undang pelarangan burqa tersebut
Fredy Fassler, seorang sosialis yang bertanggung jawab atas keamanan dan keadilan di St.Gallen menilai, undang-undang tersebut bermasalah.
Menurutnya, dalam undang-undang itu tak dijelaskan secara spesifik tentang kapan seorang perempuan yang mengenakan burqa dianggap membahayakan publik.
“Saya khawatir sanksi tidak dapat diprediksi dan sewenang-wenang,” tukasnya.
Tahun lalu Pemerintah Swiss menentang prakarsa yang bertujuan menerapkan larangan burqa secara nasional. Setiap daerah harus menentukan sendiri apakah tindakan tersebut tepat dilakukan.
Awal tahun ini, dua koran lokal telah melakukan survei mengenai isu penggunaan burqa. Hasil survei menunjukkan, 76 persen responsden mendukung pelarangan burqa secara efektif. Sementara 20 persen responden lainnya menentang gagasan tersebut.
Swiss sendiri sebenarnya telah menjadi sorotan saat menyetujui larangan pembangunan menara masjid pada 2009 silam.
Burqa Dilarang di Ticino
Sebelumnya, mengenakan burka di tempat umum telah dilarang di daerah kanton Ticino yang berbahasa Italia, di wilayah Swiss Selatan, dilansir oleh Anadolu.
Hukum pelarangan burqa di ranah publik,mulai berlaku sejak Jumat (01/07/2016). Dengan adanya aturan hukum itu, maka setiap Muslimah yang berada di Swiss dilarang mengenakan burqa di toko-toko, restoran, ataupun gedung-gedung publik, apabila tetap bersikukuh maka Muslimah Swiss akan dikenakan denda hingga 10.000 franc Swiss (sekitar $ 10.280 dollar atau 135 juta rupiah).
Menurut laporan media Swiss, seorang wanita Swiss yang telah menjadi mualaf telah memprotes keras larangan Burqa di kota Locarno dan mualaf Swiss itu telah didenda sebanyak 230 franc Swiss ($ 236 atau sekitar 3 juta rupiah).
Parlemen wilayah itu telah menyetujui referendum pada tahun 2013, akan tetapi hingga saat ini referendum itu tidak diberlakukan .
Undang-Undang pelarangan burqa ini datang setelah adanya aturan hukum yang serupa di Perancis, Belanda, dan Belgia.
Untuk diketahui, di Swiss saat ini terdapat sekitar 420.000 Muslim yang mencakup sekitar 5 persen dari total penduduk Swiss, yakni 8,34 juta jiwa.
Kota Ticino di wilayah selatan Swiss, berbatasan langsung dengan Italia. Di kota ini terdapat 350.000 penduduk, atau sekitar 4,2 persen dari total populasi Swiss.
Pada bulan November 2015, Parlemen di Ticino mengeluarkan undang-undang yang melarang pemakaian niqab dan burqa, pakaian tradisional yang biasa dikenakan oleh para muslimah di banyak negara Muslim – sebuah pakaian seperti jubah yang menutupi seluruh tubuh.
Denda atas palanggaran aturan ini berkisar dari 100 franc sampai 10.000 franc ($ 104- $ 10,369).
Sayangnya aturan ini diskrimantif terhadap umat Muslim, Hukum ini hanya berlaku untuk muslimah yang mengenakan cadar dan tidak untuk jenis penutup wajah lainnya, seperti yang dikenakan oleh para hooligan atau demonstran.
Tiap tahunnya terdapat ratusan muslimah dari Arab Saudi yang mengunjungi kota Ticino dan mereka biasanya mengenakan niqab.
Wisatawan dari dunia Arab tiap tahunnya memesan 40.000 pemesanan kamar hotel dan biasanya mengunjungi pada saat musim panas. Hukum Ticino secara eksplisit tidak mengecualikan wisatawan.[IZ]