(Panjimas.com) – Ide dan kreatifitas tak akan berhenti seiring berdetaknya jantung manusia. Ia selalu ada sebab didorong oleh keinginan memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri. Makan tidak hanya sekedar makan, mencari variasi jenis makanan, memilih makanan yang memenuhi nutrisi, harga yang bersahabat, dll.
Ide dan kreatifitas berjalan menuju kebahagiaan. Pun begitu dengan sepasang remaja belia asal Bantaeng, Makassar yang melakukan nikah muda. Berharap kebahagiaan pula, mereka melangsungkan pernikahan dengan dihadiri tetangga dan sanak keluarga. Karena KUA belum memberi izin, dengan dibantu orang tua mereka mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama setempat. Walau prosesnya agak panjang niat mereka akhirnya terkabulkan. (www.inews.id).
Berbeda dengan Giselle, gadis asal Amerika yang berusia 19 tahun melelang keperawanannya dengan harga 39 milyar, dengan alasan mengikuti tren emansipasi wanita, ingin bersekolah, memiliki rumah, dan traveling mengelilingi dunia kapanpun (news.detik.com).
Menikah di usia muda maupun lelang keperawanan adalah jalan meraih kebahagiaan. Bedanya, nikah muda mencari kebahagiaan hakiki sedangkan berzina mencari kebahagiaan semu.
Kebebasan di Barat memberi vasilitas individu untuk bebas melakukan apapun, termasuk berzina dengan melakukan lelang keperawanan. Situs yang berkaitan berkembang pesat sebab diminati banyak orang. Segala efek buruk yang timbul tidak mereka hiraukan asal mendatangkan uang berlimpah.
Sungguh pola pikir yang sempit yang ada di benak para gadis pelelang keperawanan. Bagaimana jika pembeli adalah pengidap penyakit Aids sehingga dirinya tertular. Dapatkah merasakan kebahagiaan dengan berlimpah kekayaan sedangkan tubuhnya digerogoti virus HIV/AIDS ? Bagaimana jika dorongan seksualnya muncul sedangkan ia tidak punya suami ?
Memburu kebahagiaan dengan mengikuti gaya hidup barat semacam lelang keperawanan adalah salah. Dapat mendatangkan penyakit, sekaligus mengancam eksistensi dan populasi manusia. Negara jangan memberi peluang sekecil apapun bagi individu ataupun komunitas yang mempraktekkan bisnis amoral ini.
Kebahagiaan itu sangat sederhana. Memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri sesuai dengan tuntunan Islam. Cara pemenuhan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan tentunya membawa ketenangan, itulah kebahagiaan. Menikah di usia muda adalah jalan pemenuhan kebutuhan naluri yang logis.
Negara sebagai pemelihara urusan umat patutlah mempermudah jalan kebaikan. Memberi edukasi tentang tujuan pernikahan. Bahwa menikah tidak hanya sekedar menyalurkan kebutuhan seksual, tetapi ada unsur tanggung jawab moral. Lebih – lebih tanggung jawab kepada Allah SWT.
Menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif dengan menempatkan posisi suami dan istri sesuai dengan proporsinya. Dengannya mampu mencetak generasi sholih yang cerdas dan berwibawa. Dengan kultur amar ma’ruf dan nahi munkar yang ada di masyarakat menjadikan individu muslim peka terhadap segala bentuk pemikiran, gaya hidup, dan kebudayaan asing yang merusak.
Islam sangatlah kompeten untuk mengatur roda kehidupan masyarakat Indonesia. Negara jangan berhenti dipersimpangan jalan dengan mempersulit pasangan muda untuk menikah lalu mengakomodasi pemikiran dan gaya hidup asing demi globalisasi. Buang jauh – jauh Kapitalisme Sekulerisme, terapkan Syariat Islam Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghafur akan nyata adanya. [RN]
Penulis, Aulia Rahmah
Pemerhati sosial remaja, tinggal di Gresik