(Panjimas.com) – Saat ini perputaran tuntutan hidup kapitalis memelintir akses perempuan di ranah publik dalam kehidupan sosial dan ekonominya. Komodifikasi perempuan menjadi hal yang tidak tetelakkan. Tentunya hal ini tidak bisa dipungkiri, sangat terkait dengan kondisi-kondisi berikut: Pertama, pinjaman Berbasis Bunga. Perekonomian berbasis bunga telah melumpuhkan ekonomi kita. Sebagian besar pendapatan negara terserap hanya untuk membayar bunga utang, sehingga negara tidak memiliki dana memadai untuk membiayai pembangunan, melayani pemenuhan kebutuhan mendasar rakyatnya, dan mencari pemecahan dengan berutang kembali. Dengan cara seperti ini, mustahil Indonesia bisa melunasi utang sampai kapan pun. Kecuali Indonesia membuat lompatan besar dalam merevolusi perekonomiannya.
Kedua, Privatisasi Sumber Daya Alam. Di bawah kebebasan kepemilikan dan ekonomi pasar bebas, sumber daya utama seperti minyak, gas, listrik, mineral, dan bahkan air yang merupakan kebutuhan vital bagi orang-orang dari negara manapun, boleh diprivatisasi dan diberikan kepemilikan pribadi. Ini menyebabkan orang dari dunia muslim terkena tindakan korporasi rakus yang memeras kebutuhan dasar masyarakat, seperti listrik, gas, bahan bakar, bahkan air. Ketiga, Liberalisasi Perdagangan. Liberalisasi perdagangan dan perjanjian perdagangan bertujuan untuk menghilangkan hambatan dan batasan perdagangan internasional, sehingga membuka pasar di negara berkembang untuk produk dan investasi dari negara-negara asing. Kebijakan ini telah menyebabkan pasar lokal dibanjiri dengan produk murah dari negara-negara luar, sehingga bisnis lokal dan petani kalah bersaing dari sisi harga, yang mengarah ke kehancuran perdagangan lokal dan pedagang. Lalu apa relasinya dengan eksploitasi perempuan?
Di era globalisasi peningkatan jumlah perempuan yang mencari nafkah dalam berbagai bidang cukup fantastis. Di berbagai media yang ada perempuan menjadi ikon iklan di bawah prinsip ekonomi pasar. Segala sesuatu dari tubuh perempuan dapat dijual,di ekspose seperti barang di etalase termasuk tubuh, darah, organ dan kemampuan reproduktif, lingkungan alam yang tidak dimiliki oleh siapapun, pendidikan, informasi, riset ilmiah, agama, kesenian dan khususnya seksualitas perempuan “sebagai produk” dan yang memetik keuntungan terbesar. Dan ini mengeksploitir perempuan di jagat kehidupan. Penggunaan perempuan dalam iklan menjadi pilihan jitu dalam memasarkan apa pun dan tentunya ini cukup menguntungkan bagi produser atau perusahaan periklanan. Dan periatiwa ini bukan hoaks tapi fakta, nyata dan disuka. Daya tarik seksual (utamanya fitur tubuh perempuan) telah menjadi salah satu strategi yang ampuh dalam mengkomunikasikan suatu produk. Betapa banyak media cukup representatif, karena mampu menciptakan imajinasi sekaligus ketertarikan dalam waktu yang hampir bersamaan meng audio dan visualkan berbagai kepentingan komersial yang finally perempuan ‘dimanfaatkan’ sebagai sarana untuk mengejar keuntungan dalam meraih pangsa pasar besar.
Pada akhirnya muncullah permasalahan gender, di mana sering dibicarakan dengan menempatkan perempuan sebagai subyek pusat perhatian. Permasalahan gender biasa dilihat sebagai kisah malang perempuan yang termarjinalkan. Karena proses komodifikasi yang digerakkan oleh kapitalisme pada hakekatnya bersifat patriarkhi. Komodifikasi perempuan berlangsung di ruang publik, diangkat sebagai informasi media. Mengeksploitasi tubuh perempuan sebagai komoditas terjadi secara tidak langsung dengan menjadikan perempuan sebagai teks dalam proses pasar media, bahkan pada produk yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan fitur tubuh perempuan sekalipun. Begitu karibnya komodifikasi perempuan dengan eksploitasi perempuan. Komodifikasi menjadi sangat eksploitatif dan menjerat. Lalu masihkah kita berharap pada penjerat yang sudah melibas norma kemuliaan yang terdefinisi dlm hidup perempuan seperti dalam pandangan Islam, di mana Islam telah menyemat kuat martabat hebat dalam diri perempuan dan Islam pun menuntun perempuan mulia dengan berbagai posisi yang ada pada dirinya.
Perempuan mulia karena taqwa
Bagaimana karena taqwanya maka Allah muliakan laki laki dan perempuan. Perhatikan ini ada dalam ajaran Islam dimana Allah memuliakan kedua jenis makhluk manusia.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang memeluk Islam, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang taat (kepada Allah), laki-laki dan perempuan yang (berbuat) benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah , bagi mereka, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 35).
“Mulianya anak perempuan dalam Islam”
Ini hanya terjadi dalam ajaran Islam setelah sebelumnya pada masa jahiliyah setiap orang tua yang melahirkan anak perempuan akan membunuh anaknya hidup-hidup.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh “ (QS : At Takwir, ayat 8-9 ).
Kemudian Islam datang dan menggantikan dengan ketinggian nilai bagi perempuan. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar dalam menghadapinya, serta memberikan pakaian kepadanya dari hasil usahanya, maka anak-anak itu akan menjadi dinding pemisah baginya dari siksa Neraka.” [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adaabul Mufrad dan hadits ini shahih]
Posisi istri dimuliakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang beriman yang paling mulia keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik sikapnya pada istrinya.” (HR. At-Turmudzi)
Mulianya status ibu
Dalam sebuah hadits, seorang sahabat bertanya tentang orang yang paling berhak untuk mendapatkan perlakuan baik, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya? Rasulullah menjawab ; ‘Ibumu’, kemudian siapa? ‘Ibumu’, jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, kemudian siapa? ‘Ibumu’, kemudian siapa, tanya orang itu lagi, ‘kemudian ayahmu’, jawab beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maukah kita mengembalikan arah pandang ini kepada arah pandang yang memberikan solusi terbaik tanpa mengaruskan komodifikasi dan eksploitasi kita sebagai perempuan. Jawabannya tentunya iya. Agar perempuan hanya muncul sebagai penyangga peradaban cemerlang, bukan lagi terkomodifikasi di ranah eksploitasi yang menjerat hidup perempuan. [RN]
Penulis, Ir. Sri Rahayu Lesmanawaty, MA
Aktifis Pendidik Peduli Perempuan dan Generasi