(Panjimas.com) – Pada berbagai peringatan pasti memiliki makna tersendiri bagi yang memperingatinya, begitupula dengan peringatan international women’s day yang jatuh pada tanggal 8 maret. Sebelum menginjak tanggal ditetapkannya hari tersebut mengadakan aksi women’s march untuk menyambut hari penting tersebut. Aksi tersebut tidak hanya dilakukan di Indonesia namun juga hampir di seluruh dunia. Women’s march selalu diwarnai oleh para wanita yang menuntut hak-haknya dipenuhi atas nama keadilan, tak lepas dari itu isu “feminisme” menjadi pokok pembahasan dalam aksi tersebut. Feminisme yang menjajikan kesataran bagi perempuan seolah menjadi tuntutan para wanita dan dunia harus mampu mewujudkannya.
Feminisme tengah menjadi bayang-bayang bagi para wanita hari ini. Perbedaan jenis, perbedaan fisik, perbedaan hak dan kewajiban, serta perbedaan anggapan masyarakat terhadap keduanya akhirnya membawa permasalahan besar. Ada tuntutan-tuntutan sederhana yang diminta oleh para wanita yang mengambil paham ini agar dunia tidak menjadikan laki-laki seperti anak emas sedangkan perempuan seperti anak tiri. Jika pria boleh melakukan suatu hal maka wanitapun juga boleh melakukan hal tersebut. Dalam pemahaman feminisme pria dan wanita seharusnya punya hak yang sama, jika tidak diperlakukan sama maka butuhlah yang namanya kesetaraan. Kesetaraan gender selalu digaungkan karena dianggap dengan adanya kesetaraan tersebut laki-laki dan perempuan dapat hidup harmonis karena tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih kuat dan tidak ada yang lebih lemah semuanya sama dan ditempatkan pada “lahan yang sejajar”.
Feminisme dalam Realita
Berdasarkan tuntutan yang besar untuk diberikan “kewenangan” yang sama tersebut pada faktanya para feminis atau penganut paham feminis tak selalu meminta persamaan dalam tanggung jawabnya. Saat laki-laki dianggap kuat melaksanakan aktivitas fisik, kaum feminis tak mau kalah juga ingin memiliki predikat tersebut misalnya dengan menjadi atlet olahraga, bisa mengangkat besi dan lain sebagainya. Namun dengan kekuatannya tersebut jika kaum feminis dituntut menjadi seorang kuli bangunan untuk menafkahi keluarganya apakah dia mau melakukannya? Inilah yang disebut meminta “kewenangan” tetapi tidak mau menerima tanggung jawab yang lain sebagai konsekuensinya. Bukankah itu akan menjadi sebuah ketidakadilan bagi dirinya sendiri, jika tetap mau setara dengan laki-laki?
Pada perkara yang lain kaum feminisme juga mengungkit masalah pemberdayaan perempuan yang akan memberikan keadilan dan mewakili suara wanita untuk mendapatkan hak-hak nya dalam kekuasan. Mereka beranggapan bahwa dengan tidak adanya wanita dalam posisi kekuasan akhirnya tidak dapat mewakili apa yang para wanita butuhkan. Jika wanita kurang diberdayakan kaum feminis mengatakan bahwa kaum laki-laki akan terus mendominsai pengambilan keputusan demi kehancuran wanita (Fawcettsociety.org.uk). Pada faktanya benarkah saat wanita berkuasa dia mampu adil secara sepenuhnya untuk wanita yang lain? Pokok permasalahannya bukanlah disitu, tetapi siapakah yang menjamin keadilan itu sebenarnya. Karena baik wanita ataupun laki-laki jika hendak membuat aturan tentu tidak lepas dari perasaannya (apa yang diinginkannya).
Feminisme Akibat sistem kapitalisme
Feminisme muncul akibat fakta buruk yang menimpa para wanita. Kehidupan yang sempit, kemiskinan merajalela, serta kekerasan sejatinya bukanlah terjadi karena wanita dan perempuan tidak setara. Melainkan ada akibat penerapan sistem kapitalisme dengan asasnya sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Dalam kubangan sistem kapitalis masyarakat dituntut untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, beriringan dengan hal itu tekanan dari segala aspekpun terus menimpa. Sistem kapitalisme yang menyuguhkan solusi dengan ide liberalism rupanya malah menjadi akar masalah. Karena keterhimpitan dari aspek ekonomi laki-laki akhirnya tak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya secara menyeluruh, akibat serba mahal (pendidikan, kesehatan, pangan, dll) dan kurangnya peluang pekerjaan. Saat seorang suami tak mampu memenuhi kebutuhannya, istri terpaksa turut ikut mencari nafkah dan keluar rumah. Ancaman besar pun terjadi, wanita bahkan sampai menjadi TKW untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pada sisi yang lain kapitalisme telah menjadikan feminisme sebagai alat untuk membanjak potensi wanita yang sebenarnya. Dalam sistem kapitalis perempuan ditempatkan tak lebih dari sekedar komoditas. Perempuan dihargai bila bisa memberi nilai materi atau keuntungan yang secara kumulatif akan menyumbang pendapatan negara dan seterusnya. Perempuan seolah diberi kesempatan berkiprah dalam berbagai bidang, harus dilepaskan dari keterkungkungan tugas domestic agar bisa menggapai kebahagiaan. Pada faktanya, perempuan diperas keringatnya, dieksploitasi potensinya dan dihilangkan fitrah keibuannya bahkan auratnya dijual agar bisa menghasilkan materi iInilah yang semestinya disadari oleh semua kaum wanita.
Kedudukan wanita
Secara fitrah laki-laki dan wanita telah diciptakan dalam bentuk yang berbeda tentu aka nada perbedaan diantara keduanya jika melaksanakan kehidupan. Ibarat magnet dengan dua kutub yang berbeda, ia akan menyatu dan saling menguatkan jika dua kutub yang berbeda disatukan tetapi jika dua kutub yang sama (negatif dengan negatif misalnya) disatukan dia akan saling berlawanan dan saling berjauhan, dipaksapun tidak akan pernah menyatu. Jika bertukar tempatpun malah akan menimbulkan penyiksaan terhadap diri mereka sendiri. Dan bukankah itu ketidakadilan yang sesungguhnya jika memaksakan sesuatu yang tidan semestinya?. Maka jelaslah “feminisme” tidak mampu memberikan solusi, bahkan menambah masalah.
Wanita mulia dengan Islam
Sejatinya Allah swt telah menciptakan wanita dan laki-laki dengan tujuan yang sama yakni untuk beribadah kepada-Nya (Ad-Dzariyat : 56). Dengan tujuan tersebut alah tidak membedakan keduanya bahkan sampai muncul kata “islam mendiskriminasi wanita” dengan aturannya. Dalam islam kebahagian bagi wanita jika ia tengah mampu mendapatkan ridho Allah swt, dan hal itu tentu akan mendapat balasan yang sangatlah besar. Kemuliaan wanita bahkan Allah swt sematkan 3 kali lebih besar dibandingkan laki-laki, jika ia telah menjadi seorang ibu. Islampun mampu menjadikan wanita terbebas dari kekangan yang hari ini terjadi dengan tatanan keluarga yang harmonis dan saling melengkapi. Namun mirisnya sekalipun islam mampu menjadi problem solver cukup susah jika kita masih hidup dalam sistem kapitalisme. Karena sistem ini yg menjadi masalah besar yang sesungguhnya. Sehingga kita harus menyingkirkan sistem kapitalisme ini dan kembali pada fitrah manusia yakni penerapan sistem islam yang menyeluruh dalam naungan khilafah rosyidah. [RN]
Penulis, Ita Triesna Ariy
Aktivis Mahasiswa tinggal di Malang