SOLO, (Panjimas.com) – Mahasiswa sebagai intelektual muda di negeri mayoritas muslim ini telah kehilangan identitasnya. Alih-alih menjadi motor penggerak utama perbaikan masyarakat ke arah Islam, mereka justru terbelenggu oleh berbagai tuntutan akademis, pola pikir pragmatis dan gaya hidup bertentangan dengan Islam. Kaum intelektual mati rasa dan kehilangan kepekaan sosial atas kesengsaraan, ketidakadilan dan kerusakan yang terjadi di masyarakat akibat penerapan sistem kapitalisme.
Lingkungan akademis yang melingkupi kaum intelektual juga patut mendapat sorotan. Mengapa identitas sebagai seorang muslim yang disuarakan mahasiswa untuk #tolakpemimpinkafir dibungkam sementara kampanye perilaku keji LGBT terus diwadahi atas nama kebebasan akademik. Bukan hanya di lingkungan akademis, dalam konteks lebih luas suara intelektual muda untuk menyerukan syariat secara kaffah dianggap radikalisme dan pelakunya dilabeli ekstremis. Sungguh ironis.
Sebagai kontribusi nyata menghadirkan solusi atas persoalan pemuda Muslimah Hizbut Tahrir DPD Solo Ahad, (23/10), menyelenggarakan Kongres Mahasiswi Islam untuk Peradaban (KMIP) 2016. Acara yang diselenggarakan di Gedung Taman Budaya Jawa Tengah tersebut dihadiri 400 peserta yang berasal dari mahasiswa Perguruan Tinggi se Solo dan sekitarnya.
Habibah Bahrun Alhamidi selaku Ketua Panitia kepada wartawan menjelaskan, selain di kota Solo Konggres Mahasiswi Islam untuk Peradaban II juga diselenggarakan di 30 Kota seluruh Indonesia. Sedangkan tema acara yang diambil yaitu “Reaktualisasi Peran Intelektual Muda untuk Mewujudkan Kembali Peradaban Islam”.
“Hasil dari kongres rencananya akan di bawa ke DPRD Kota Surakarta pada Kamis, (27/10)” ujarnya.
Disisi lain Siti Wahyuning dari Muslimah DPD Solo juga mempaparkan, sistem kapitalisme demokrasi telah terbukti menjadi penyebab krisis identitas pemuda muslim, menumbuh suburkan kerusakan moral, dan menjadikan mereka sebagai duta sekulerisme-liberalisme dan jauh dari peran hakikinya sebagai seorang muslim. Lebih dari itu program deradikalisasi dan politik labeling pada penyeru Islam kaffah sebagai ekstemis adalah salah satu upaya semakin menghilangkan identitas pemuda muslim.
Arah pemberdayaan pemuda saat ini yang berorientasi memenuhi tuntutan pasar global hanya akan melanggengkan hegemoni rezim kapitalisme dan menghalangi penerapan sistem islam yang mampu menjadi solusi tuntas.
“Karena itu mengembalikan identitas pemuda muslim yang memahami agamanya secara utuh (kaffah) adalah syarat mutlak lahirnya sumber daya unggul pembangun peradaban Islam. Intelektual muda yang lantang menyerukan kembalinya kehidupan islam adalah para pelopor kebangkitan hakiki.” Ungkapnya.
Hanya sistem khilafah yang berkomitmen penuh untuk menempatkan intelektual dalam posisi terhormatnya di tengah masyarakat. Sistem pendidikan dalam Khilafah akan melahirkan intelektual yang menguasai islam kaffah sekaligus menguasai IPTEK, yang lantang menyuarakan kebenaran dan bervisi besar mewujudkan peradaban islam sebagai mercusuar dunia untuk menyebarkan Islam rahmatan lil alamin. [RN]