(Panjimas.com) – 9 maret terkabarkan akan terjadi gerhana matahari total, sebagai umat muslim ini bukanlah hanya sebatas fenomena alam, akan tetapi gerhana matahari merupakan suatu tanda keagungan Allah ta’ala. Ketika gerhana matahari adapula ibadah yang berkaitan akan hal ini, apakah itu? Pernah mendengar istilah ‘Shalat Kusuf’? atau belum tau sama sekali? Baik, agar kita tahu lebih lanjut mari kita simak penjelasan tentang shalat kusuf dibawah ini :
Pengertian
- Secara bahasa “الكسوف” bermakna :
فَهُوَذَهَابُضَوْءِأَحَدِالنَّيِّرَيْنِ ( الشَّمْسِ،وَالْقَمَرِ ) أَوْبَعْضِهِ،وَتَغَيُّرُهُإِلَىسَوَادٍ
“Hilangnya cahaya dari salah satu diantara matahari atau bulan, secara penuh (total) atau hanya sebagiannya, dan kemudianberubah menjadi gelap.
Menurut tatanan bahasa arab jika dikatakan “صلاة الكسوف” maka biasanya ini dipakai untuk shalat yang dilaksanakan karena sebab gerhana matahari. Dan jika dikatakan “الخسوف” maka maknanya gerhana bulan.
- Secara istilah, shalat kusuf berarti :
صَلاةٌتُؤَدَّىبِكَيْفِيَّةٍمَخْصُوصَةٍ،عِنْدَظُلْمَةِأَحَدِالنَّيِّرَيْنِأَوْبَعْضِهِمَا
“Shalat yang dilaksanakan dengan tatacara khusus, ketika terjadi gerhana matahari/ bulan total atau gerhana sebagian.”
Hukumnya :
Para ulama berpendapat hukum melaksanakan shalat kusuf adalah sunnah muakkadah. Hal ini seperti hukum shalat ‘id, yang artinya sunnah yang ditekankan pelaksanaannya.
Bahkan sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyyah menghukuminya wajib.
Hal ini berdasarkan hadits dari Rasulullah SAW bahwasanya Rasul bersabda :
إِنَّالشَّمْسَوَالْقَمَرَآيَتَانِمِنْآيَاتِاللَّهِ،لايَنْكَسِفَانِلِمَوْتِأَحَدٍ،وَلالِحَيَاتِهِ،فَإِذَارَأَيْتُمُوهُمَافَادْعُوااللَّهَ،وَصَلُّواحَتَّىيَنْجَلِيَ
“Matahari dan Bulan merupakan dua pertanda dari banyaknya tanda-tanda Allah, tidaklah ia terjadi karena kematian seseorang, dan tidak pula karena kelahiran seseorang, maka jika kalian menyaksikannya berdo’alah kepada Allah dan shalatlah sampai ia muncul kembali.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan yang menghukuminya sunnah mereka berpendapat dikarenakan tidak ada kewajiban bagi seorang muslim kecuali shalat yang lima, maka shalat selain dari pada itu hukumnya sunnah.
Juga karena shalat kusuf pelaksanaannya seperti shalat sunnah lainnya yang tidak memerlukan kumandang adzan dan iqamah.
Waktu Pelaksanaan :
Waktu pelaksanaan shalat kusuf adalah dari waktu terjadinya gerhana sampai selesai. Hal ini berdasar hadits Rasulullah SAW :
فَإِذَارَأَيْتُمُوهُمَافَادْعُوااللَّهَ،وَصَلُّواحَتَّىيَنْجَلِيَ
“Maka jika kalian melihatnya berdo’alah kepada Allah dan shalatlah sampai ia nampak kembali.” (HR. Bukharidan Muslim)
Salah satu sebab di syari’atkannya shalat kusuf adalah karena mengharap agar kiranya Allah ta’ala mengembalikan nikmatnya berupa cahaya matahari/ bulan yang sempat menghilang, maka jika maksudnya telah tercapai, tercapai pula makna daripada shalat kusuf/ khusuf tersebut.
Shalat di Waktu yang Dilarang
Lalu bagaimana jika waktu pelaksanaan shalat kusuf ini bertepatan dengan waktu-waktu terlarang untuk shalat?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat hukumnya tetap tidak boleh shalat diwaktu-waktu terlarang, dan ada yang berpendapat bahwa boleh melaksanakannya walaupun tengah terjadi diwaktu-waktu terlarang.
- Mazhab Al-Hanafiyyah, berpendapat jika shalat kusuf terjadi diwaktu-waktu terlarang, maka tidak boleh shalat diwaktu itu, seperti halnya dengan shalat-shalat yang lain. Maka sebagai gantinya karena tidak boleh dilaksanakan shalat pada waktu-waktu ini, maka cukup diganti dengan bacaan tasbih, tahlil dan istighfar.
- Alasannya mengapa tidak diperbolehkan shalat diwaktu-waktu ini, dikarenakan jika hukum shalat ini sunnah, maka melaksanakan shalat sunnah diwaktu-waktu terlarang hukumnya makruh, walaupun shalat sunnah ini ada sebab musababnya, dalam artina bukan shalat sunnah mutlaq (tak ada sebab). Dan apabila hukum shalat ini wajib, maka melaksanakan shalat wajib diwaktu-waktu terlarang juga makruh hukumnya.
- Sedangkan ulama Mazhab Asy-Syafi’iyyah dan riwayat dari Imam Malik, juga riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwasanya shalat kusuf boleh dilaksanakan disemua waktu, dikiyaskan dengan shalat qadha’, shalat istisqa’ dan shalat sunnah wudhu, juga seperti halnya shalat tahiyyatul masjid yang pelaksanaannya tidak berbatas waktu.
- Sedangkan pendapat yan ketiga adalah riwayat dari Imam Malik yang mengatakan : jika fenomena ini terjadi disaat atahari terbenam maka tidak boleh shalat sunnah kusuf.
Tata cara Shalat Kusuf
Para ulama telah bersepakat bahwasanya shalat kusuf terdiri dari 2 rakaat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang bagaimana tata cara melaksanakan shalat kusuf.
- Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat, bahwasanya shalat ini terdiri dari 2 rakaat, dan disetiap rakaat ada dua kali berdiri, dua kali membaca surat al-quran, dua kali ruku’, dan dua kali sujud.
Mazhab ini berpendapat berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata :
كَسَفَتِالشَّمْسُعَلَىعَهْدِرَسُولِاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَصَلَّىالرَّسُولُصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَوَالنَّاسُمَعَهُ،فَقَامَقِيَامًاطَوِيلانَحْوًامِنْسُورَةِالْبَقَرَةِ،ثُمَّرَكَعَرُكُوعًاطَوِيلا،ثُمَّقَامَقِيَامًاطَوِيلاوَهُوَدُونَالْقِيَامِالأَوَّلِ،ثُمَّرَكَعَرُكُوعًاطَوِيلا،وَهُوَدُونَالرُّكُوعِالأَوَّلِ
“Suatu ketika di zaman Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, maka kemudian Rasulullah shalat kusuf bersama dengan jama’ah, beliau berdiri dalam shalatnya selama bacaan satu surat Al-Baqarah, kemudian ruku’ dengan ruku’ yang panjang, lalu kemudian beliau berdiri lagi dalam waktu yang lama, kemudian beliau ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, dan berdirinya Rasulullah dan ruku’nya yang kedua lain dengan berdirinya dan ruku’nya yang pertama.” (HR. Bukhari)
Perbedaaan pendapat diantara mereka ini terjadi diseputar hal kesempurnaan tata cara shalatnya saja bukan tentang keabsahannya. Maka kemudian tercetus adanya minimal kesempurnaan shalat kusuf. Yaitu, cukup dilaksanakan dengan 2 rakaat, disetiap rakaat takbiratul ihram dengan niat shalat kusuf kemudian membaca alfatihah kemudian ruku’ kemudian berdiri lagi dan tuma’ninah didalamnya kemudian ruku’ yang kedua, kemudian berdiri i’tidal, kemudian sujud, duduk diantara dua sujud, kemudian sujud dan kembali berdiri untuk rakaat yang kedua yang pelaksanaannya sama dengan rakaat yang pertama.
Sedangkan maksimal kesempurnaan tatacara pelaksanaan shalatnya adalah, terdiri dari 2 rakaat. Dirakaat yang pertama bertakbiratul ihram dengan niat shalat kusuf, kemudian membaca do’a iftitah, kemudian membaca al-fatihah, kemudian membaca surat Al-Baqarah atau sejenisnya yang sama panjangnya, kemudia ruku’ dengan ruku’ yang panjang sebanyak membaca 100 kali tasbih, kemudian berdiri lagi membaca Al-Fatihah setelah itu membaca surat Ali ‘Imran atau sejenisnya yang sama panjangnya, kemudian ruku’ dengan ruku’ yang panjang, kemudian i’tidal, kemudian sujud dengan sujud yang panjang, kemudian duduk diantara dua sujud, dan sunnahnya tidak berlama-lama dalam duduk, kemudain sujud yang kedua dengan sujud yang panjang. Lalu berdiri untuk rakaat yang kedua, pelaksanaannya sama dengan rakaat yang pertama akan tetapi bacaan suratnya pilih yang tidak lebih panjang dari bacaan di rakaat pertama, kemudia tasyahhud akhir dan salam seperti shalat sunnah lainnya.Ini adalah tatacara pelaksanaan maksimal shalat kusuf.
- Sedangkan Mazhab Al-Hanafiyyah berpendapat, bahwa shalat kusuf terdiri dari 2 rakaat, dan pelaksanaannya seperti shalat sunnah lainnya, yang disetiap rakaat hanya ada 1 kali berdiri, 1 kali ruku’ dan 2 kali sujud.
Mazhab ini berdalil dengan keumuman hadits Abi Bakrah yang bunyinya :
خَسَفَتْالشَّمْسُعَلَىعَهْدِرَسُولِاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَخَرَجَيَجُرُّرِدَاءَهُحَتَّىانْتَهَىإِلَىالْمَسْجِدِوَثَابَالنَّاسُإِلَيْهِفَصَلَّىبِهِمْرَكْعَتَيْنِ
“Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW, maka kemudian beliau keluar rumah sembari menyeret selendangnya hingga sampai di masjid, lalu manusia pada mendatangi beliau, dan kemudian beliau shalat dua rakaat bersama mereka.” (HR. Bukhari)
Disebutkan dalam hadits diatas “فَصَلَّىبِهِمْرَكْعَتَيْنِ” yang menunjukkan bahwa Nabi SAW shalat 2 rakaat. Maka mutlaknya lafadz ini menjadi sandaran bahwa shalat ini dilaksanakan sebanyak 2 rakaat dan dilaksanakan sama seperti shalat sunnah pada umumnya.
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
فَصَلَّىرَكْعَتَيْنِكَمَايُصَلُّونَ
“Kemudian Nabi SAW shalat 2 rakaat seperti mereka shalat biasanya.” (HR. An-Nasa’i)
Bacaannya Jahr atau Sirr?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, ada pendapat yang mengatakan jika shalatnya gerhana bulan maka bacaannya jahr, hal ini berdasar riwayat dari ‘Aisyah RA yang berbunyi :
جهرالنبيصلىاللهعليهوسلمفيصلاةالخسوفبقراءته
“Nabi Saw mengeraska bacaannya ketika melaksanakan shalat khusuf (gerhana bulan)” (HR. Bukhari)
Dan apabila shalatnya adalah shalat kusuf (gerhana matahari) maka beliau tidak mengeraskan bacaannya (sirr). Hal ini berdasar hadits riwayat Ibnu ‘Abbas yang ketika itu shalat dibelakang Rasulullah SAW, beliau mengatakan dalam haditsnya :
صَلَّيْتُخَلْفَالنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَصَلاةَالْخُسُوفِفَلَمْأَسْمَعْمِنْهُفِيهَاحَرْفًاوَاحِدًا
“Aku shalat dibelakang Rasulullah SAW dan tidaklah aku mendengar beliau mengeraskan bacaannya walau satu huruf.” (HR. Ahmad)
Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Abu Hanifah, kalangan dari mazhab Asy-Syafi’iyyah, dan Al-Malikiyyah.
Sedang kan riwayat dari Imam Ahmad dan Abu Yusuf berpendapat bahwasanya bacaan pada shalat kusuf adalah jahr. Beliau berpendapat berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ali dan Aisyah RA yang bunyinya :
أَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَصَلَّىصَلَاةَالكُسُوفِوَجَهَرَبِالقِرَاءَةِفِيهَا
“Nabi Shallallahu ‘alaihiwasallam shalat kusuf dan mengeraskan bacaannya.” (HR. Tirmidzi)
Selain hadits diatas, para sahabat pun pernah melaksanakan shalat kusuf dengan mengeraskan bacaan didalamnya, hal ini pernah dilakukan oleh sahabat Abdullah bin Zaid, yang dihadiri oleh Al-Barra’ bin ‘AzibdanZaid bin Arqam, artinya mereka setuju dan tidak menyelisihi perbuatan Abdullah bin Zaid.
Juga dikarenakan shalat kusuf adalah shalat sunnah yang disyari’atkan pelaksanaannya dilakukan secara berjama’ah, maka begitu pula hokum mengeraskan bacaan didalamnya, seperti halnya shalat istisqa’ dan shalat ‘id.
Khutbah pada Shalat Gerhana Matahari
Ulama berbeda pendapat mengenai khutbah shalatgerhana. Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa tidak ada khutbah pada rangkaian pelaksanaan shalat gerhana.
Dikarenakan dalam masalah sebelumnya beliau berpendapat bahwasanya shalat gerhana dilaksanakan secara munfarid dan bukan secara berjama’ah, maka tidak ada pula sunnah khutbah disini.
Juga berdasarkan keumuman dalil hadits Rasulullah SAW diatas yang menyatakan :
فَإِذَارَأَيْتُمْذَلِكَفَادْعُوااللَّهَوَكَبِّرُواوَصَلُّواوَتَصَدَّقُوا
“Maka jika kalian menyaksikannya berdo’alahkepada Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits diatas tidak ada perintah berkhutbah, akan tetapi dzikir, shalat, istighfar dan bersedekah saja.
Sedangkan kalangan MazhabAsy-Syafi’iyyah mengatakan khutbah hukumnya sunnah, dan pelaksanaannya setelah usai shalat, seperti halnya pada shalat ‘id.
Hal ini berdasarkan hadits tentang gerhana yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA, yang menyatakan :
أن النبي صلى الله عليه وسلم لما فرغ من الصلاة قام وخطبالناسفحمداللهوأثنىعليهثمقالإنالشمسوالقمرآيتانمنآياتاللهلايخسفانلموتأحدولالحياتهفإذارأيتمذلكفادعوااللهوكبرواوصلواوتصدقوا
“Bahwasanya Nabi SAW ketika usai melaksanakan shalatnya beliau kemudian berdiri menghadap kepada hadirin, dan memuji Allah kemudian beliauberkata : Matahari dan Bulan merupakan dua pertanda dari banyaknyat anda-tanda Allah, tidaklah ia terjadi karena kematian seseorang, dan tidak pula karena kelahiran seseorang, maka jika kalian menyaksikannya berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari). Wallahua’lambishshawwab
Sumber : Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz. 27, Bab. Kusuf